Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Masih Relevankah Pepatah Banyak Anak Banyak Rezeki?
12 Februari 2023 20:58 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam pepatah masyarakat Jawa, ada ungkapan populer yang berbunyi: Banyak anak , banyak rezeki. Yap, ucapan ini biasanya sering dipakai sebagai pendorong bagi orang yang baru saja menikah agar segera memiliki anak. Juga kadang-kadang diucapkan sebagai motivasi untuk mereka yang masih lajang agar tidak takut untuk segera menikah.
ADVERTISEMENT
Ngomong-ngomong soal pepatah ini, bila dipikir-pikir kembali, sebenarnya ada konteks tertentu yang melatarbelakangi kenapa pepatah itu bisa muncul dan mengapa anak dianggap sebagai rezeki . Mengingat, ada kemungkinan pandangan tersebut bergeser karena perubahan konteks zaman.
Di masyarakat Jawa, mayoritas penduduk hidup dalam pola ekonomi agraris. Dalam pola ekonomi ini, menjadi petani merupakan profesi utama yang digeluti oleh masyarakat untuk mencari nafkah.
Pada pola ekonomi agraris, ada dua modal utama yang menjadi syarat penting untuk menggerakkan produksi ekonomi: yang pertama adalah tanah atau lahan, dan yang kedua adalah sumber daya manusia atau pekerja.
Dengan memakai sudut pandang yang sederhana ini, maka kehadiran anak bagi petani secara harfiah memang dapat dianggap sebagai modal, yaitu dalam bentuk sumber daya manusia atau pekerja. Semakin banyak anak yang dimiliki oleh suatu keluarga, maka semakin banyak pula pekerja yang bisa membantu untuk mengerjakan kegiatan produksi di sawah.
ADVERTISEMENT
Di sini, jumlah anak diasumsikan berbanding lurus dengan potensi tingkat produksi yang bisa dihasilkan dari hasil kegiatan produksi di sawah. Oleh karena itu, sangat masuk akal apabila muncul anggapan banyak anak akan otomatis menjamin banyak rezeki di masyarakat agraris zaman dulu.
Tetapi, ada perubahan konteks yang terjadi di masa sekarang seiring dengan berubahnya pola ekonomi pada masyarakat Jawa. Profesi petani bagi mayoritas masyarakat kini bukan lagi sumber utama dalam mencari nafkah. Menurunnya jumlah petani pada masyarakat ini salah satunya dipengaruhi oleh berubahnya pola ekonomi agraris ke pola ekonomi industrial.
Untuk masuk sebagai pekerja dalam ekonomi industrial, seseorang perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus yang spesifik. Spesialisasi adalah syarat utama untuk memasuki dunia kerja dalam ekonomi industrial. Untuk mendapatkan hal tersebut, anak-anak harus menempuh pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Implikasi yang muncul akibat perubahan ini kemudian berdampak pada biaya pengasuhan anak yang perlu dikeluarkan oleh keluarga. Selain habis untuk kebutuhan pokok sehari-hari seperti makanan dan pakaian, biaya pengasuhan anak juga semakin bertambah tinggi karena adanya kewajiban untuk menyekolahkan mereka melalui pendidikan formal.
Akses kepada pendidikan menjadi kebutuhan pokok yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan ekonomi anak di masa depan. Maka dari itu semakin banyak anak, maka biaya ekonomi yang perlu dikeluarkan oleh suatu keluarga juga akan semakin besar.
Perubahan pola ekonomi ini juga mempengaruhi batas usia anak untuk dapat masuk ke dunia kerja. Pada pola ekonomi industrial, jangka waktu untuk membentuk satu tenaga kerja menjadi jauh lebih lama.
ADVERTISEMENT
Bila dirata-rata, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pendidikan dari tingkat dasar (SD) hingga pendidikan tinggi (universitas) minimal membutuhkan waktu sekitar 16 tahun (12 tahun pendidikan dasar plus empat tahun pendidikan tinggi). Dalam jangka waktu tersebut, keluarga harus membiayai semua pengeluaran kebutuhan anak yang tentu jumlahnya tidak sedikit.
Hal ini tentu berbeda dengan pola ekonomi agraris, di mana anak bisa masuk ke dunia kerja dalam usia yang relatif singkat tanpa perlu memiliki dasar pendidikan yang tinggi. Kebutuhan pendidikan bukan merupakan sesuatu yang wajib dan hanya bersifat opsional.
Anak bahkan dapat masuk ke dalam pasar tenaga kerja sebelum menginjak usia dewasa. Perbedaan batasan ini terjadi karena pekerjaan dalam sektor agraris tidak mensyaratkan perlunya pengetahuan atau keterampilan khusus tertentu. Selain tentu adanya tanah/lahan untuk digarap.
ADVERTISEMENT
Perbedaan dari kedua pola ekonomi ini mungkin bisa kita lihat bentuk nyatanya dari preferensi orang dalam menentukan berapa rencana jumlah anak yang akan dimiliki dalam suatu keluarga. Untuk masyarakat perkotaan, rata-rata anak yang dimiliki adalah 1-3 orang. Ini tentu jauh berbeda dengan preferensi masyarakat yang tinggal di desa, yang umumnya dapat memiliki lebih dari empat orang anak dalam satu keluarga.
Bahkan, khusus masyarakat perkotaan, dalam beberapa tahun terakhir, wacana mengenai pernikahan tanpa adanya anak (childfree) mulai ramai dibicarakan. Munculnya wacana itu salah satunya dapat dijelaskan jika kita melihatnya melalui perspektif pola ekonomi yang berbeda ini.
Sebab, bagi masyarakat perkotaan, jumlah biaya yang diperlukan untuk mengasuh anak sekarang semakin mahal. Alih-alih menjadi rezeki, anak bisa jadi justru dianggap sebagai beban untuk keluarga. Dan tidak mengherankan juga apabila ada kecenderungan masyarakat untuk menunda dan menghindari agar cepat-cepat memiliki anak.
ADVERTISEMENT
Jika konteksnya berubah, maka pola pikir dan perilaku pada masyarakat juga akan ikut berubah. Mengingat adanya perubahan tersebut, maka sepertinya masuk akal juga bila orang saat ini mulai bertanya: Apakah benar pepatah banyak anak banyak rezeki itu masih relevan di zaman sekarang?