Konten dari Pengguna

Matahachi

Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
3 Oktober 2021 14:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay.com (Neymark195)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay.com (Neymark195)
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah kisah cerita, tokoh utama selalu menjadi pusat perhatian pembaca. Sementara, tokoh sampingan selalu berada di tepi atau pinggiran cerita.
ADVERTISEMENT
Mereka umumnya hanya dianggap sebagai pelengkap dan penghias dari rangkaian kisah sang tokoh utama. Oleh karenanya, tak banyak yang melirik dan melihat peran penting mereka dalam bangunan plot sebuah cerita.
Tapi rumusan ini sepertinya tidak berlaku untuk Honiden Matahachi. Seorang tokoh dalam manga Vagabond, karya Takahashi Inoue.
Vagabond, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1998, adalah sebuah manga yang mengangkat kisah tentang perjalanan hidup Miyamoto Musashi. Seorang samurai terkenal yang hidup pada abad ke-16 di Jepang.
Ada satu hal yang membuat manga Vagabond ini sedikit berbeda dengan manga yang lain. Bilamana pendekatan naratif yang digunakan oleh pengarang pada manga lain menggunakan sudut pandang orang pertama agar tokoh utama menjadi fokus dari pembaca.
ADVERTISEMENT
Inoue menggunakan gaya pendekatan yang sebaliknya. Ia menggambarkan dan mengisahkan perjalanan tokoh utama (Miyamoto Musashi) melalui sudut pandang orang ketiga, dengan menggunakan tokoh lain. Dan tokoh tersebut adalah Honiden Matahachi. Yang tidak lain, adalah sahabat masa kecil dari Musashi.
Dikisahkan dalam awal cerita, Musashi dan Matahachi adalah sepasang sahabat yang berasal dari desa yang sama. Seperti layaknya para pemuda pada umumnya saat itu, mereka memiliki cita-cita dan ambisi untuk menjadi seorang samurai. Menjadi yang terkuat dan terhebat agar nama mereka dikenal di seantero negeri.
Tujuan itu rupanya, disambut oleh takdir. Jepang sedang menghadapi perang antara dua faksi, timur melawan barat, yang diwakili oleh dua daimyo besar: Tokugawa Ieyasu vs Toyotomi Hideyoshi. Dan siapa yang akan menguasai seluruh daratan jepang akan ditentukan oleh satu perang pamungkas: Perang Sekigahara.
ADVERTISEMENT
Bagi kedua pemuda desa tersebut, perang ini adalah momentum awal untuk meraih ambisi mereka. Untuk Musashi, pilihan pergi meninggalkan desa dan pergi menuju perang adalah pilihan yang mudah. Sejak awal ia adalah orang yang dibenci dan ditakuti oleh penduduk desa karena sifat brutal dan liarnya.
Namun bagi Matahachi, pilihannya tidak semudah itu. Ia bukan tipe orang liar seperti Musashi, lahir dalam keluarga yang terpandang, serta dimaksudkan untuk menjadi kepala keluarga sepeninggal ibunya kelak. Kenyamanan ini awalnya membuat dirinya ragu. Haruskah ia meninggalkan semuanya dan pergi mengejar mimpinya?
Jawaban akhir Matahachi sudah bulat. Ia tinggalkan desa bersama Musashi dan berangkat menuju Padang Sekigahara tanpa menengok lagi ke belakang.
Namun nahas, jalan kedua pemuda ini pasca perang bertolak belakang satu sama lain. Musashi secara meyakinkan mampu berkembang menjadi seorang samurai hebat dengan berduel dan mengalahkan samurai dari perguruan-perguruan lain. Ia tidak pernah kalah dan namanya semakin terkenal di seluruh negeri.
ADVERTISEMENT
Matahachi di sisi lain, hidup dalam kondisi yang terseok-seok. Kombinasi dari ketakutan, kegagalan, serta godaan perempuan dan sake. Membuat Matahachi menjadi jatuh miskin. Kemampuan bela dirinya pun tidak berkembang secara signifikan sejak pergi dari desa. Pemuda desa yang awalnya dipenuhi gelora ambisi, berubah menjadi orang yang kemudian mengutuk diri sendiri.
Ia kemudian menutupi kegagalannya dengan kebohongan-kebohongan. Salah satunya, berpura-pura menjadi orang lain. Dengan bermodal sertifikat keahlian pedang yang ia pungut dari orang yang sudah mati. Ia mengaku dirinya sebagai samurai dengan nama alias "Sasaki Kojiro". Identitas yang tentunya, dibentuk oleh kepalsuan dan kebohongan.
Pada titik ini, Vagabond seolah-olah ingin mengatakan kepada pembaca, bagaimana kehidupan tidak selalu diisi oleh kisah-kisah tentang kebahagian saja. Tetapi juga diiringi oleh kegagalan-kegagalan yang pahit. Beginilah dua sisi dari sebuah koin bernama kehidupan.
ADVERTISEMENT
Betapa banyak kita melihat orang yang bermimpi dan berambisi untuk dapat berdiri di puncak seperti Musashi, namun akhirnya berakhir seperti Matahachi.
Kegagalan, memang seringkali menakutkan. Ketika ia datang, orang-orang lebih memilih untuk lari dan sembunyi darinya. Bahkan kalau bisa, disangkal dan ditutupi dengan rapat-rapat.
Amat sedikit orang yang berani mengakui ketakutan, kelemahan, dan kekurangan dari dirinya sendiri. Orang seringkali menganggap kegagalan sebagai hal yang memalukan. Juga sebuah aib yang mesti dihilangkan.
Oleh karenanya, tidak sedikit kemudian yang terjebak dalam ambisinya. Menghalalkan tipuan dan manipulasi untuk tetap bisa sampai pada tujuannya. Tanpa sadar, bahwa berpegang pada tujuan secara mutlak, pelan-pelan justru menghancurkan diri mereka sendiri.
Agaknya, hal inilah yang disadari oleh Matahachi di pertengahan cerita. Ia sadar bahwa dirinya tidak akan mencapai posisi dan menjadi Musashi. Bila Musashi seseorang yang kuat dan pemberani. Matahachi adalah kebalikan dari semua itu: lemah serta penakut.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah adegan, ketika Matahachi kembali berjumpa dengan keluarga yang telah berkeliling negeri untuk mencarinya, ia ceritakan kebohongan-kebohongan tentang keberhasilannya. Mereka tersenyum, dan Matahachi sumringah. Tapi ia tak tahu, kalau senyum itu hanya kepura-puraan untuk menanggapi kisah palsu yang telah mereka ketahui.
Pada saat paling putus asanya, Matahachi berdiri di tepi jurang. Bersiap untuk melompat sambil menggendong ibunya yang sedang sekarat serta bergumam: "Apa yang tersisa untuk kita sekarang selain untuk pulang"?
Tapi di saat terakhir ia tetap tak bisa melakukannya. Ia tak bisa mengalahkan ketakutannya. Namun pada saat itulah Matahachi justru menyadari kesalahannya selama ini: kekuatan dan kearifan itu bukan ketika kita tak memiliki kelemahan, tetapi saat kita mengakui dan menerima kelemahan kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Bila ada ungkapan bahwa kisah dan sejarah hanya diceritakan dari perspektif pemenang dan mereka yang berkuasa, Vagabond tidak mengikuti pakem itu. Kali ini, kisah diceritakan dari mereka yang dipersepsikan sebagai orang yang gagal serta berada dalam posisi terbawah.
Tapi justru oleh karena itulah mengapa kisah Matahachi begitu bergema bagi para pembaca. Saat kisah tidak dituturkan dari mereka yang begitu digdaya dan perkasa, yang seringkali terasa jauh dan asing dari kenyataan sehari-hari.
Melainkan digambarkan dalam representasi mereka yang lemah, tersisihkan, dan tidak punya tempat dalam roda kehidupan. Serta, menunjukkan bagaimana sesuatu bernama kegagalan, tidak mesti harus selalu dibenci dan ditutup-tutupi. Tetapi juga dapat dinikmati dan bahkan dirayakan sebagai sebuah momen untuk bertransformasi.
ADVERTISEMENT
Sepertinya, bukan kebetulan juga bila kisah manga ini belum selesai hingga sekarang. Layaknya Matahachi, nasib manusia, serta masa depan. Ia selamanya bukan sesuatu yang dapat dirumuskan secara baku dan bersifat final.