Konten dari Pengguna

Melihat Naturalisasi Pemain Timnas dengan Lebih Objektif

Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
23 September 2024 9:03 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Timnas Indonesia U20 saat menghadapi timnas Thailand U20 di Stadion Gelora Bung Karno. Sumber foto: Shutterstock (Ratno Prasetyo)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Indonesia U20 saat menghadapi timnas Thailand U20 di Stadion Gelora Bung Karno. Sumber foto: Shutterstock (Ratno Prasetyo)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Proses naturalisasi pemain sepakbola timnas Indonesia belakangan ini kembali ramai dibahas. Penyebabnya adalah karena adanya cuplikan video dari Rocky Gerung yang menyebut bahwa naturalisasi adalah penipuan karena euforia kemenangan/kesuksesan timnas bukanlah berasal dari pemain-pemain asli Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kalau melihat dari komentar-komentar soal video itu, terdapat beberapa alasan dan argumen yang menarik seputar isi naturalisasi ini. Ada yang menyebutkan bahwa naturalisasi sebenarnya merupakan hal yang biasa dan banyak dilakukan timnas negara lain. Salah satu contoh yang sering dijadikan contoh adalah timnas Prancis yang mayoritas pemainnya diisi oleh pemain keturunan imigran berkulit hitam.
Setelah melihat komentar-komentar di atas, sepertinya menarik juga untuk melihat lebih dalam bagaimana sebenarnya isu soal naturalisasi dan kewarganegaraan ini dipraktekkan dalam dunia sepakbola. Secara prinsip, seseorang dapat memperoleh status warga negara itu dengan 2 cara: berdasarkan tempat kelahiran (ius soli) dan/atau berdasarkan keturunan (ius sanguinis).
Sebagai contoh, Indonesia menganut asas ius sanguinis dimana kewarganegaraan anak ditentukan dari kewarganegaraan orang tuanya. Meskipun seseorang terlahir di luar negeri, ia tetap memiliki klaim sebagai warga negara Indonesia apabila salah satu atau kedua orangtuanya memiliki status sebagai warga negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Demikian pula jika kasus yang terjadi adalah kebalikannya. Apabila ada seseorang yang lahir di Indonesia tetapi kedua orang tuanya bukan berstatus sebagai warga negara Indonesia, maka orang tersebut tidak memiliki klaim atas kewarganegaraan Indonesia.
Selain asas ius sanguinis dan ius soli terdapat dua asas lagi yang juga penting dalam menentukan kewarganegaraan, yaitu asas kewarganegaraan tunggal dan asas kewarganegaraan ganda. Sesuai namanya, asas ini mengatur berapa batas kewarganegaraan yang dapat dimiliki oleh seseorang.
Apabila negara menganut asas kewarganegaraan tunggal, maka orang hanya dapat memiliki satu kewarganegaraan saja. Seperti di Indonesia, ketika seseorang ingin melakukan naturalisasi menjadi warga negara Indonesia, maka ia harus melepaskan status kewarganegaraan yang dimiliki sebelumnya.
Tetapi terdapat beberapa negara yang menganut asas kewarganegaraan ganda seperti negara-negara di benua eropa dan banyak pemain sepakbola yang kedua orang tuanya memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Pertanyaannya kemudian adalah di negara manakah pemain bola tersebut harus bermain?. Disinilah kemudian peran regulasi FIFA mengatur soal kewarganegaraan ganda ini.
ADVERTISEMENT
Dalam regulasi FIFA, seorang pemain diperbolehkan untuk memilih dan berganti timnas selama pemain tersebut belum pernah bermain mewakili timnas senior dalam pertandingan resmi FIFA (piala dunia, piala eropa, piala asia, dsb dengan pengecualian kualifikasi turnamen) sebanyak lebih dari 3 pertandingan sebelum berumur 21 tahun. Ini berarti bahwa pemain yang pernah mewakili timnas di level umur tertentu (U-17, U-19, U-21, dsb) boleh berganti timnas/kewarganegaraan di level senior.
Salah satu contoh kasus pemain yang menerapkan regulasi di atas adalah Jamal Musiala. Sebelumnya ia pernah membela timnas inggris di tingkat U-15 hingga U-21. Tetapi di timnas senior ia memilih untuk tidak bermain di timnas Inggris dan memutuskan untuk pindah bermain ke timnas Jerman.
Jamal Musiala saat bermain untuk timnas Jerman. Sumber foto: Shutterstock (ph.FAB)
Di lapangan, praktek pindah timnas ini banyak dimanfaatkan oleh pemain untuk memperoleh kesempatan tampil di kompetisi negara. Seperti yang terjadi pada pemain-pemain naturalisasi Indonesia yang sama sekali belum pernah dipanggil oleh timnas Belanda.
ADVERTISEMENT
Karena peluang untuk bermain di timnas Belanda dirasa kecil maka mereka memutuskan untuk berpindah kewarganegaraan dan bermain untuk timnas Indonesia guna mendapat kesempatan untuk bisa tampil di level kompetisi negara seperti piala dunia.
Tetapi bentuk naturalisasi di atas tidak persis sama terjadi di setiap negara. Salah satu contohnya seperti di timnas Prancis yang sering dijadikan contoh oleh beberapa kelompok sebagai negara yang menerapkan skema naturalisasi pemain.
Memang betul bahwa beberapa pemain timnas senior Prancis seperti Mbappe, Kante, Pogba, Dembele, Upamecano, dll memiliki darah imigran afrika dari orang tua mereka. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa ketika mereka lahir orang tua mereka sudah berstatus sebagai warga negara Prancis dan secara otomatis mereka pun memiliki kewarganegaraan yang sama sejak awal. Mereka tidak melakukan proses naturalisasi atau perpindahan kewarganegaraan seperti yang dilakukan di timnas Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
Poin lain yang membedakan proses naturalisasi pemain di Indonesia dan timnas Prancis adalah rekam jejak akademi sepakbola dan riwayat bermain mereka. Pemain-pemain Prancis yang telah disebutkan diatas memulai pembelajaran di akademi-akademi sepakbola yang terdapat di negara Prancis dan memulai karirnya di klub-klub Ligue 1 Prancis.
Berbeda dengan pemain-pemain naturalisasi di Indonesia yang sama sekali tidak memiliki riwayat sebagai alumni akademi-akademi sepakbola di Indonesia dan juga tidak pernah bermain untuk klub-klub di liga Indonesia. Kebanyakan dari mereka merupakan hasil didikan akademi-akademi sepakbola dan klub-klub di liga Belanda.
Skuad timnas Prancis saat menghadapi timnas Portugal di semifinal EURO 2024. Sumber foto: Shutterstock (Vasiljevic Dimitrije)
Jadi, rasanya kurang tepat apabila kita menyamakan proses naturalisasi yang terjadi di Prancis dengan yang terjadi di Indonesia. Pada kasus yang pertama, negara masih memiliki peran dalam mencetak dan melatih pemain timnasnya. Sedangkan pada kasus yang kedua, negara tidak berperan banyak dalam mencetak pemain timnasnya dan semata-mata hanya mengambil pemain-pemain yang sudah jadi.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya bila dilihat secara proporsional, kelompok-kelompok yang cenderung menolak dan anti terhadap naturalisasi perlu menerima kenyataan bahwa adanya pemain-pemain naturalisasi telah terbukti mampu meningkatkan performa timnas Indonesia. Bila tidak ada mereka belum tentu timnas Indonesia dapat melaju pertama kalinya hingga babak ketiga kualifikasi piala dunia zona Asia.
Sedangkan di sisi lain, kelompok-kelompok yang mendukung adanya naturalisasi juga setidaknya perlu mendengar kritik yang disampaikan mereka yang kontra bahwa apabila timnas Indonesia hanya fokus untuk mengandalkan pemain-pemain naturalisasi saja maka keberhasilan timnas bisa saja hanya menjadi euforia sesaat karena tidak ada proses pembinaan, regenerasi, dan perbaikan liga untuk menghasilkan pemain-pemain timnas dari dalam negeri di masa depan.
Mungkin akan lebih baik apabila kita melihat persoalan naturalisasi ini bukan dalam kerangka benar atau salah. Tetapi melihatnya hanya sebagai salah satu bentuk strategi dalam meningkatkan kualitas sepakbola di Indonesia. Karena dilihat sebagai strategi maka patokan evaluasi yang perlu diperhatikan oleh seluruh pihak yang terlibat adalah apakah strategi tersebut dapat mencapai target yang dituju, apakah dapat berkelanjutan, dan bagaimana langkah strategi jangka panjang lainnya untuk meningkatkan kualitas sepakbola Indonesia?.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian percakapan mengenai naturalisasi ini dapat berlangsung secara lebih produktif dan tidak terjebak pada sentimen nasionalisme dan anti asing yang berlebihan.