Konten dari Pengguna

Transformasi Digital Media dan Pengaruhnya terhadap Literasi Masyarakat

Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
25 Agustus 2024 14:19 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay.com (kalhh)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay.com (kalhh)
ADVERTISEMENT
Karena perubahan zaman yang serba digital, sekarang kita sudah sangat jarang melihat ada perusahaan koran/media yang menjual produknya dalam versi cetak/fisik. Kebanyakan perusahaan media saat ini lebih banyak memilih untuk menyediakan layanan informasi dan berita ke dalam website atau aplikasi khusus milik mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Selain pertimbangan perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin digital, salah satu pertimbangan yang mendorong peralihan ini adalah karena alasan ekonomi. Penghasilan perusahaan media yang paling utama sangat bergantung kepada dua sumber: seberapa banyak jumlah produk cetak yang terjual serta banyaknya tawaran kerjasama iklan.
Berhubung sekarang perusahaan media sudah banyak yang beralih ke versi digital, maka skema penghasilan mereka juga ikut berubah. Dari yang awalnya indikator pengukurnya adalah seberapa banyak jumlah produk cetak yang terjual menjadi seberapa banyak views dan klik yang bisa didapat dari pembaca di website atau aplikasi.
Adanya perubahan ini kemudian mendorong munculnya banyak perusahaan media yang baru. Tidak seperti dulu dimana untuk mendirikan perusahaan media membutuhkan sumber daya yang banyak seperti adanya mesin cetak, adanya gedung kantor, atau adanya agen pemasaran untuk mendistribusikan koran cetak ke pelanggan.
ADVERTISEMENT
Sekarang orang dapat mendirikan perusahaan media dengan modal yang sangat murah, yaitu hanya dengan memiliki website saja. Karena jumlah media digital semakin banyak, maka persaingan antar media juga semakin hari semakin ketat karena jumlah pembaca dan jatah iklan menjadi sangat tersebar sehingga pemasukan perusahaan media tidak sebanyak saat versi cetak masih populer.
Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini mulai banyak perusahaan media yang menggunakan model berlangganan sebagai cara untuk menambah pemasukan. Skemanya adalah dengan membatasi konten berita/informasi yang dapat diakses secara gratis. Untuk mendapat akses secara penuh, pembaca harus mendaftar untuk berlangganan dan diwajibkan untuk membayar biaya tertentu secara rutin per bulan atau per tahun.
New York Times adalah salah satu contoh perusahaan media yang pertama kali dan berhasil menerapkan model berlangganan seperti ini. Sampai tahun 2024 ini, jumlah pembaca yang berlangganan New York Times sudah mencapai angka 10 juta orang.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, beberapa perusahan media seperti Harian Kompas, Tempo, dan Jakarta Post juga sudah mulai menerapkan skema berlangganan seperti ini. Meskipun sampai saat ini jumlah pembaca yang berlangganan belum mencapai angka 1 juta orang. Harian Kompas contohnya, pada tahun 2022 tercatat baru memiliki sekitar 600 ribu pelanggan digital.
Bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penduduk di Amerika atau Indonesia, angka pelanggan tersebut terhitung masih kecil. Jumlah penduduk di Amerika Serikat ada 330 juta sementara di Indonesia penduduknya 270 juta. Ini berarti hanya ada kurang dari 1% total jumlah penduduk yang berlangganan media digital dan memiliki akses penuh untuk membaca berita.
Pertanyaan menarik yang muncul kemudian adalah dari mana sisa penduduk lainnya mendapatkan sumber informasi sehari-hari?. Jika melihat survey yang dilakukan oleh lembaga We Are Social, di tahun 2024 terdapat 193 juta pengguna media sosial di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk dalam ksehariannya mengandalkan media sosial sebagai sumber utama dalam mendapatkan informasi.
ADVERTISEMENT
Tetapi mengandalkan media sosial sebagai sumber informasi jelas memiliki kekurangan. Konten-konten di media sosial sekarang umumnya menyukai bentuk artikel atau video-video pendek yang durasinya tidak lebih dari 2 menit. Selain mudah dan cepat untuk dibuat, konten-konten seperti itu didesain agar pengguna dapat dengan mudah memahami isinya serta menghabiskan waktu lebih lama di media sosial.
Dengan model konten-konten pendek seperti itu, tentu sulit untuk mengharapkan bahwa isi pembahasan di dalamnya bisa mendalam, terverifikasi, serta mengandung data yang akurat. Konten-konten seperti itu lebih cocok ditempatkan sebagai hiburan saja. Atau sekurang-kurangnya sebagai pengantar sekilas untuk memahami suatu topik tertentu dan bukan digunakan sebagai sumber informasi primer.
Masalah yang sama juga dialami oleh media-media digital. Karena sumber penghasilan ditentukan dari views dan klik pembaca, maka mereka umumnya lebih fokus untuk menghasilkan berita yang banyak secara cepat namun dengan kedalaman dan kualitas isi berita yang buruk. Media sejenis Tribunnews adalah contoh media yang menerapkan skema pragmatis seperti ini.
ADVERTISEMENT
Sedangkan media-media yang menyediakan berita yang berkualitas dengan riset yang lebih mendalam biasanya menerapkan skema biaya berlangganan untuk mengakses konten-kontennya. Karena di Indonesia masyarakat sepertinya masih jarang yang menganggap akses terhadap sumber informasi yang bermutu itu penting, maka sedikit yang kemudian mau mengeluarkan uang untuk media berbayar dan pada akhirnya masih mengandalkan media sosial sebagai sumber informasi primernya.
Menariknya, ada satu riset yang dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2018 yang menyebutkan bahwa 55% masyarakat di Indonesia mengalami fenomena yang disebut sebagai buta huruf fungsional (functional illiteracy). Beberapa ciri yang menandakan seseorang mengalami buta huruf fungsional antara lain:
ADVERTISEMENT
Dari beberapa ciri di atas, sepertinya cukup dipahami mengapa di masyarakat fenomena seperti penyebaran hoax dan informasi yang keliru masih banyak terjadi. Penyebab yang pertama adalah karena tidak kredibelnya sumber informasi yang dijadikan rujukan oleh masyarakat dan yang kedua adalah masih rendahnya kemampuan literasi fungsional yang dimiliki oleh masyarakat.
Hanya dengan bermodalkan menonton video dan artikel pendek orang-orang dapat terkena ilusi bahwa dirinya memahami dan bisa berpendapat terhadap suatu isu, meskipun sebenarnya bisa saja sumber informasi yang ia dapat tidak mencerminkan keseluruhan persoalan dan pengetahuan yang ia miliki hanya sebatas permukaan saja.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, fenomena ini tidak cuma terjadi di kalangan masyarakat awam, tetapi juga terjadi di lingkungan pendidikan. Dengan semakin luasnya penerapan kecerdasan buatan di dunia pendidikan maka diharapkan hal tersebut dapat membantu para pelajar Indonesia semakin terdidik. Tetapi yang terjadi kemudian adalah justru lahirnya praktik kecurangan berupa plagiasi dan joki yang difasilitasi oleh kecerdasan buatan. Dunia pendidikan yang semestinya mencetak para ahli dan orang-orang berilmu secara ironis justru menghasilkan para penipu palsu.
ADVERTISEMENT
Melihat fenomena seperti ini, maka sudah sepatutnya kita mengambil pelajaran bahwa akses informasi yang semakin banyak tidak secara otomatis menjamin bahwa masyarakat akan semakin terdidik. Apabila kemampuan literasi masyarakat masih rendah maka akses informasi berlimpah bisa jadi justru berbalik membawa dampak negatif dengan memfasilitasi masifnya penyebaran informasi yang salah dan keliru oleh para penggunanya.
Oleh karena itu di zaman dengan akses informasi berlimpah seperti sekarang ini, hal utama yang barangkali perlu diperhatikan semua orang adalah meningkatkan kemampuan literasi dan berpikir kritis masyarakat kita. Mengetahui langkah-langkah bagaimana berhati-hati dalam memilih, memilah, serta menanggapi informasi. Membiasakan untuk membaca buku, jurnal, atau majalah yang kredibel serta selalu melihat suatu topik dari berbagai sumber referensi agar mempunyai pemahaman yang lebih menyeluruh
ADVERTISEMENT
Memang hal tersebut terlihat sepele, tetapi tanpa kemampuan sederhana tersebut, masyarakat Indonesia akan termasuk golongan orang-orang yang terseret dan akan tenggelam di tengah arus informasi yang semakin deras ini. Ibarat sebuah pepatah: "it's all about men behind the gun". Informasi itu hanyalah sebuat alat semata. Baik atau buruknya alat tersebut ditentukan dari keahlian dan bagaimana orang tersebut menggunakannya.