Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Di Hong Kong, Minta Maaf Ada Regulasinya
17 Juni 2024 10:26 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rahmat Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Meminta maaf merupakan tindakan yang dilakukan untuk menyampaikan penyesalan atas kesalahan yang diperbuat. Tindakan ini lazim dalam kegiatan sehari – hari dan merupakan hal normal yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Namun demikian, Pemerintah Hong Kong memiliki pandangan yang berbeda. Tindakan permintaan maaf dipandang memiliki dampak yang luas dalam kehidupan masyarakat Hong Kong sehingga perlu diregulasi secara baik dan komperhensif.
ADVERTISEMENT
Hong Kong merupakan negara pertama di Asia yang memberlakukan regulasi terkait permintaan maaf. Pada tahun 2017, Undang – Undang (UU) tentang Permintaan atau Apology Law diberlakukan di Hong Kong.
Situasi ini memunculkan pertanyaan: Hal apa yang mendasari Hong Kong untuk memberlakukan UU tersebut?; Apa tujuannya?; Bagaimana awal mulanya?; dan Apakah hal serupa juga diterapkan di sistem hukum Indonesia?
Menurut Hong Kong Department of Justice, salah satu hal yang mendasari pemberlakuan UU tersebut terkait dengan efek permintaan maaf dalam konteks asuransi. Kebijakan asuransi di Hong Kong sempat melarang agar pemilik asuransi meminta maaf kepada orang lain yang dirugikan atas perbuatannya tanpa izin dari perusahaan asuransi.
Alasan dari larangan tersebut karena berpotensi dianggap sebagai bentuk sikap mengakui kesalahan dan siap bertanggung jawab serta memberikan ganti rugi atau kompensasi sehingga akan merugikan perusahan asuransi. Kondisi ini menciptakan keresahan di masyarakat yang selama ini telah terbiasa menganggap tindakan meminta maaf merupakan sikap sederhana yang konstan dilakukan, terlepas apakah si peminta maaf memang bersalah atau tidak.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini yang mendasari diberlakukannya UU Permintaan Maaf, dengan tujuan utama di antaranya untuk mereformasi implikasi hukum dari tindakan permintaan maaf baik yang disampaikan secara lisan dan tulisan. Melalui UU tersebut, tindakan permintaan maaf tidak bisa dianggap sebagai bentuk pengakuan atas kesalahan atau pertanggungjawaban dan kesediaan memberikan ganti rugi atau kompensasi.
Selain itu, tindakan permintaan maaf juga tidak dapat dianggap sebagai bukti yang memberatkan pihak yang menyampaikan permintaan maaf dalam suatu persidangan pengadilan. Secara tidak langsung, UU Permintaan Maaf ini mendorong masyarakat Hong Kong untuk tidak khawatir dalam menyampaikan permintaan maaf
khususnya dalam konteks terjadi sengketa. Dengan menyampaikan permintaan maaf, diharapkan terbuka kemungkinan bagi para pihak yang sedang bersengketa untuk memilih jalur damai melalui mediasi.
ADVERTISEMENT
Terkait awal mula, regulasi terkait permintaan maaf merupakan praktik yang sudah diperkenalkan di sistem hukum common law. Sebagai informasi, common law merupakan sistem hukum yang berasal dari Inggris dan berkembang di beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia.
Karateristik common law di antaranya menggunakan putusan hukum sebelumnya (yurisprudensi) sebagai sumber hukum utama. Legislasi terkait permintaan maaf pertama kali dikenal di Massachusetts, AS pada tahun 1986. Tujuannya untuk memastikan permintaan maaf tidak dapat dijadikan bukti dalam perkara hukum. Hingga saat ini, regulasi permintaan maaf telah diterapkan dihampir 50 negara yang menganut sistem hukum common law.
Sementara itu, regulasi permintaan maaf ini tidak ditemukan di sistem hukum civil law. Sebagai informasi, civil law adalah sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa dan diterapkan di berbagai wilayah di dunia termasuk Indonesia. Karateristik dari sistem hukum ini di antaranya penggunaan sistem kodifikasi aturan seperti kitab undang-undang hukum pidana dalam kasus Indonesia. Dalam sistem civil law, permintaan maaf tidak dapat dijadikan bukti atau penentu utama dalam proses hukum atau penyelesaian sengketa.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalam sistem hukum ini, putusan atas suatu perkara hukum dibebankan kepada hakim profesional yang sangat jarang terpengaruh dengan bentuk bukti seperti permintaan maaf dan pengakuan salah dari pelaku. Sebagai perbandingan, dalam sistem common law berlaku sidang juri di mana suatu kasus diputuskan oleh beberapa juri yang dipilih secara acak dari elemen masyarakat dengan berbagai latar belakang status dan pendidikan. Oleh karena itu, adanya permintaan maaf sebagai bentuk pengakuan salah dapat mempengaruhi putusan para juri dalam suatu kasus.
Dalam konteks Indonesia, hingga saat ini tercatat belum ada aturan khusus terkait permintaan maaf seperti di Hong Kong. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang telah memperkenalkan asas judicial pardon. Namun, asas ini digunakan dalam konteks hakim memberikan ampunan atau maaf kepada seseorang karena telah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan. Dengan kata lain, asas tersebut intinya terkait dengan keringanan yang diberikan hakim dan tidak terkait tindakan permintaan maaf.
ADVERTISEMENT
Perlukah Indonesia menerapkan regulasi permintaan maaf? Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan penerapan regulasi permintaan maaf ini. Dengan lebih terbuka untuk meminta maaf, proses penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan lebih cooperative dan dapat mengarah ke jalur damai seperti melalui mediasi.
Penelitian American Medical News pada tahun 2000 menunjukkan dampak positif dari regulasi permintaan maaf yakni mengurangi jumlah tuntutan hukum pada sengketa layanan kesehatan di tahun 2000 di Amerika Serikat. Mengutip Profesor Hukum Wannes Vandenbussche, regulasi ini juga dapat memperbaiki persepsi ‘lebih baik tidak meminta maaf’.