Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Apakah Sistem Hukum Kita Sudah Inklusif untuk Penyandang Disabilitas?
13 Januari 2025 10:11 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rahmawaty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Maraknya kasus tindak pidana yang rentan terjadi kepada penyandang disabilitas menjadi hal yang mengkhawatirkan. Seperti pada kasus tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi terhadap korban penyandang disabilitas hingga hamil yang dilakukan lebih dari satu pria di Ciumbuleuit, Kota Bandung dimana pelaku berjumlah lebih dari satu orang dan korban di bawah umur. Mengungkapkan celah besar dalam sistem hukum kita. Keadilan hukum seharusnya dapat dirasakan oleh semua orang tanpa terkecuali, termasuk penyandang disabilitas. Namun dalam praktiknya, penyandang disabilitas sering kali menghadapi hambatan sistemik, baik sebagai korban maupun pelaku tindak pidana. Artikel ini akan mengulas sejauh mana hukum Indonesia sudah inklusif terhadap penyandang disabilitas, sekaligus menawarkan pandangan sebagai mahasiswa hukum pidana.
ADVERTISEMENT
Hambatan yang Dihadapi Penyandang Disabilitas sebagai Korban
Sulitnya akses untuk melapor karena minimnya fasilitas yang ramah disabilitas di institusi penegak hukum.
Pada beberapa kasus, penyandang disabilitas memiliki hambatan akses untuk melapor sebagai korban di institusi penegak hukum, hal ini menyebabkan para korban enggan untuk membuat laporan karena tak jarang mendapat tindakan diskriminasi oleh beberapa oknum aparat penegak hukum. Menurut data dari Badan Pusat Statistik tahun 2023, terdapat sekitar 22,97 juta jiwa penyandang disabilitas di Indonesia, namun hanya sebagian kecil yang mampu mengakses fasilitas hukum. Laporan Komnas Perempuan juga menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual penyandang disabilitas sering kali menghadapi diskriminasi ganda.
Kurangnya pelatihan aparat hukum dalam berinteraksi dengan korban disabilitas, termasuk dalam memberikan pendampingan psikologis.
Salah satu hambatan lain yang dihadapi oleh penyandang disabilitas saat menjadi korban tindak pidana, yaitu kurangnya pelatihan aparat hukum untuk memahami kebutuhan khusus mereka. Ini mencakup kesulitan dalam memberikan pendampingan psikologis yang sesuai. Penyandang disabilitas membutuhkan pendekatan yang lebih sensitif, baik dalam proses wawancara maupun selama penyelidikan, untuk memastikan mereka merasa aman dan didengar tanpa diskriminasi. Hambatan ini mencerminkan tantangan sistemik dalam sistem hukum Indonesia, di mana pelatihan khusus sering kali diabaikan. Hal ini bisa berdampak pada kualitas proses hukum yang tidak adil atau bahkan menyulitkan korban dalam menyampaikan kebenaran. Dengan kata lain, ketidaksiapan aparat hukum dapat memperparah trauma korban dan mengurangi peluang mereka mendapatkan keadilan yang semestinya. Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa sistem hukum perlu dirancang lebih inklusif, baik dalam prosedur penegakan hukum maupun perlindungan korban.
ADVERTISEMENT
Tantangan untuk Penyandang Disabilitas sebagai Pelaku
Stigma masyarakat yang sering kali memperburuk posisi penyandang disabilitas dalam kasus hukum.
Selain hambatan oleh para penegak hukum, para penyandang disabilitas juga mendapat stigma buruk oleh masyarakat, khususnya penyandang disabilitas yang menjadi pelaku perkara hukum. Penyandang disabilitas yang menjadi pelaku sering kali tidak dipandang sebagai individu dengan kebutuhan khusus yang memerlukan pendekatan berbeda, seperti rehabilitasi atau penilaian kondisi mental. Persepsi masyarakat cenderung menggeneralisasi pelaku tanpa mempertimbangkan keterbatasan mereka, sehingga mereka lebih rentan terhadap vonis yang tidak adil.
Kurangnya mekanisme peradilan yang mempertimbangkan kondisi fisik atau mental pelaku.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas dijelaskan dalam pemenuhan hak-hak bagi para penyandang disabilitas, salah satunya mengenai pemenuhan kebutuhan khusus, namun setelah undang-undang tersebut di sahkan, masih minimnya implementasi hukum yang sesuai. "Sistem peradilan pidana kita belum sepenuhnya ramah terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas. Ini adalah pekerjaan rumah besar bagi penegak hukum," kata Dr. Andi Prasetyo, Direktur Pusat Studi Disabilitas Universitas Indonesia, dalam diskusi publik tentang aksesibilitas hukum yang diselenggarakan oleh LBH Jakarta pada 15 November 2024.
ADVERTISEMENT
Apakah sistem rehabilitasi dan penahanan kita sudah inklusif dan manusiawi bagi penyandang disabilitas?
Kebijakan dan Kerangka Hukum yang Ada
UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mewajibkan pemerintah untuk menyediakan aksesibilitas, termasuk di sektor hukum. Namun, hingga saat ini, pelaksanaannya masih jauh dari optimal. Sebagai contoh, fasilitas ramah disabilitas di kantor polisi dan pengadilan masih sangat minim.
Banyak aparat penegak hukum tidak memiliki pelatihan khusus dalam menangani penyandang disabilitas, sehingga pendekatan yang dilakukan sering kali tidak sensitif atau malah diskriminatif. Penyandang disabilitas juga sering menghadapi hambatan komunikasi, seperti tidak adanya penerjemah bahasa isyarat dalam proses peradilan, yang dapat menghalangi mereka untuk memberikan keterangan secara efektif.
Sistem hukum kita masih perlu banyak perbaikan agar benar-benar inklusif bagi penyandang disabilitas. Hal ini mencakup pelatihan aparat hukum, penyediaan fasilitas yang ramah disabilitas, serta pengembangan kebijakan yang lebih berpihak pada kelompok rentan. Kasus ini juga menegaskan pentingnya pendidikan masyarakat untuk mengurangi stigma terhadap korban penyandang disabilitas. Kurangnya penerapan yang sesuai dengan UU Nomor 8 tahun 2016 menjadi tugas penting bagi para penegak hukum agar implementasi hukum berjalan dengan pasti guna menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Indonesia. Sebagai mahasiswa hukum pidana, saya percaya bahwa keadilan yang inklusif bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat luas untuk mendukung penerapannya.
ADVERTISEMENT
Live Update
Gedung Glodok Plaza yang terletak di Jalan Mangga Besar II Glodok Plaza, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, terbakar, pada Rabu (15/1) malam. Kebakaran dilaporkan terjadi pada pukul 21.30 WIB. Api diduga bersumber dari lantai 7.
Updated 16 Januari 2025, 12:19 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini