news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Investasi/Hegemoni? Persaingan Jepang-Tiongkok dalam Proyek Kereta Cepat di Asia

Raihan Adrian
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya
6 Maret 2025 10:50 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Adrian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bernama Whoosh. Sumber: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bernama Whoosh. Sumber: shutterstock
ADVERTISEMENT
Persaingan antara Jepang-Tiongkok dalam proyek kereta cepat di Asia mencerminkan pertarungan dua model investasi dan strategi geopolitik yang berbeda. Artikel ini membahas isu persaingan ini dengan berfokus kepada unsur hegemoni ekonomi-politik. Kedua negara ini menawarkan skema investasi yang berbeda, namun di balik investasi tersebut ada kepentingan strategis yang lebih luas. Penulis berpandangan bahwa proyek-proyek ini bukan sekadar pembangunan infrastruktur melainkan alat geopolitik untuk memperkuat dominasi ekonomi dan politik di kawasan.
ADVERTISEMENT
Strategi Jepang vs. Tiongkok: Investasi atau Dominasi
Jepang dan Tiongkok bersaing dalam proyek kereta cepat bukan hanya sekadar investasi tetapi juga mencerminkan strategi ekonomi-politik yang lebih luas. Jepang telah lama dikenal sebagai pemimpin dalam teknologi kereta cepat dengan sistem Shinkansen-nya yang canggih. Model investasi Jepang cenderung berbasis kemitraan jangka panjang dengan pendanaan yang transparan dan persyaratan ketat terkait transfer teknologi serta keberlanjutan proyek. Namun pendekatan ini sering kali lebih mahal dan membutuhkan waktu lebih lama untuk direalisasikan. Sebaliknya, Tiongkok menawarkan skema investasi yang lebih cepat dengan biaya yang tampak lebih rendah melalui Belt and Road Initiative.
Dengan mekanisme pinjaman lunak dan kemudahan pembiayaan, Tiongkok menjanjikan proyek yang cepat terealisasi tanpa birokrasi yang rumit. Namun di balik fleksibilitas tersebut terdapat banyak negara penerima justru terjebak dalam utang besar yang sulit dibayar kembali yang memberikan Tiongkok leverage politik yang kuat. Pendekatan Jepang dalam proyek infrastruktur lebih mengedepankan prinsip keberlanjutan jangka panjang dan keterlibatan lokal yang lebih besar. Di sisi lain, strategi Tiongkok sering kali membuat negara penerima kehilangan kendali atas aset strategis mereka. Dengan mengandalkan tenaga kerja dan bahan baku dari Tiongkok maka proyek ini tidak hanya memperkuat ketergantungan ekonomi tetapi juga mengikis kedaulatan negara mitra.
ADVERTISEMENT
Strategi ini menunjukkan bagaimana investasi dapat berfungsi sebagai alat hegemoni dan bukan sekadar pembangunan infrastruktur. Dengan menciptakan pola ketergantungan, Tiongkok memiliki daya tawar yang lebih besar dalam berbagai aspek mulai dari kebijakan perdagangan hingga perjanjian bilateral yang menguntungkan kepentingan geopolitiknya.
Debt-Trap Diplomacy dalam Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung menjadi contoh nyata bagaimana diplomasi jebakan utang bekerja. Awalnya Jepang sempat menjadi kandidat utama untuk proyek ini namun pemerintah Indonesia akhirnya memilih proposal Tiongkok yang menjanjikan pembiayaan tanpa jaminan dari APBN. Kenyataannya proyek ini justru mengalami pembengkakan biaya yang signifikan dengan utang yang terus meningkat.
PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) harus menghadapi tekanan finansial karena skema pembiayaan yang ternyata membebani Indonesia lebih dari yang diperkirakan. Dengan dominasi kontraktor dan tenaga kerja dari Tiongkok, manfaat ekonomi bagi tenaga kerja lokal juga minim. Bahkan sebagian besar teknologi dan bahan baku yang digunakan dalam proyek ini berasal dari Tiongkok yang mempersempit ruang bagi industri lokal untuk berkembang.
ADVERTISEMENT
Selain itu bunga pinjaman yang lebih tinggi dari perkiraan awal semakin memperparah kondisi keuangan Indonesia. Ketergantungan terhadap dana tambahan dari Tiongkok membuat posisi negosiasi Indonesia semakin lemah yang membuka celah bagi Beijing untuk menekan kebijakan ekonomi dan perdagangan yang menguntungkannya. Pola yang sama terlihat di berbagai negara penerima investasi Tiongkok di mana proyek infrastruktur yang tampak menguntungkan pada awalnya justru berujung pada ketergantungan ekonomi dan politik jangka panjang.
Alasan Hegemoni Ekonomi-Politik Berbahaya
Dari perspektif ekonomi politik internasional, proyek seperti ini bukan hanya soal infrastruktur tetapi juga alat geopolitik. Tiongkok menggunakan proyek kereta cepat sebagai instrumen untuk mengamankan pengaruhnya di kawasan. Dengan menciptakan ketergantungan finansial, negara penerima kehilangan daya tawar mereka yang memungkinkan Beijing mendikte kebijakan ekonomi maupun politik mereka. Salah satu implikasi utama dari ketergantungan finansial ini adalah hilangnya kemandirian dalam pengambilan keputusan strategis.
ADVERTISEMENT
Negara-negara yang terperangkap dalam utang kepada Tiongkok sering kali dipaksa untuk memberikan konsesi ekonomi atau politik yang menguntungkan Beijing seperti hak eksklusif atas sumber daya alam atau kebijakan luar negeri yang lebih selaras dengan kepentingan Tiongkok. Selain itu pola ketergantungan ini menciptakan tekanan diplomatik yang berkelanjutan. Negara penerima utang sering kali merasa harus mendukung posisi politik Tiongkok dalam forum internasional atau menyetujui proyek tambahan yang tidak selalu menguntungkan mereka. Indonesia misalnya, kini menghadapi dilema besar.
Dengan utang proyek yang menumpuk maka pemerintah harus mencari cara untuk membayar kembali pinjaman yang sering kali dengan memberi lebih banyak konsesi ekonomi kepada Tiongkok seperti kontrak pertambangan atau proyek strategis lainnya. Meningkatnya ketergantungan terhadap tenaga kerja dan teknologi Tiongkok dalam proyek ini juga memperlemah kapasitas industri dalam negeri untuk berkembang secara mandiri. Jika tren ini terus berlanjut maka Indonesia dan negara-negara lain yang terjerat dalam skema serupa akan semakin kehilangan kedaulatan ekonomi mereka. Ini bukan sekadar kerja sama ekonomi tetapi bentuk kolonialisme modern dalam wajah baru.
ADVERTISEMENT
Implikasi Politik dan Keamanan dari Ketergantungan Infrastruktur
Ketergantungan terhadap investasi Tiongkok dalam proyek infrastruktur, termasuk kereta cepat tidak hanya berimplikasi pada ekonomi tetapi juga pada stabilitas politik dan keamanan negara penerima. Infrastruktur yang dibiayai dan dibangun oleh Tiongkok sering kali memiliki konsekuensi strategis yang lebih luas termasuk kemungkinan pengaruh militer dan intelijen yang lebih besar.
Beberapa negara yang menerima investasi besar dari Tiongkok telah menghadapi tekanan politik untuk mengakomodasi kepentingan Beijing dalam kebijakan domestik dan luar negeri mereka. Dalam beberapa kasus, proyek infrastruktur telah digunakan sebagai alat untuk memperluas jangkauan diplomatik dan bahkan operasi militer terselubung. Jika pola ini berlanjut maka negara-negara penerima (termasuk Indonesia) maka berisiko kehilangan kendali atas aset strategis mereka dan menghadapi dilema keamanan yang lebih kompleks.
ADVERTISEMENT
Selain itu meningkatnya kehadiran perusahaan dan tenaga kerja asing dalam proyek infrastruktur ini dapat menimbulkan gesekan sosial dan politik di dalam negeri. Ketidakpuasan terhadap ketergantungan yang semakin dalam bisa memicu ketegangan domestik yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai aktor politik untuk kepentingan mereka sendiri. Dengan demikian investasi Tiongkok bukan hanya soal ekonomi dan diplomasi tetapi juga memiliki dampak luas terhadap stabilitas politik di kawasan.
Perlu Kewaspadaan, Bukan Sekadar Antusiasme
Proyek kereta cepat di Asia tidak hanya tentang persaingan investasi antara Jepang dan Tiongkok tetapi juga tentang siapa yang akan mendikte arah ekonomi dan politik kawasan. Jepang menawarkan kerja sama berbasis teknologi dan keberlanjutan sementara Tiongkok menawarkan kecepatan dengan risiko ketergantungan. Proyek Jakarta-Bandung menunjukkan bagaimana jebakan utang dapat menjadi alat hegemoni yang menguntungkan satu pihak saja.
ADVERTISEMENT
Bagi negara-negara berkembang, memilih antara Jepang dan Tiongkok bukan sekadar soal siapa yang memberikan dana lebih cepat atau murah. Ini adalah keputusan strategis yang menentukan masa depan ekonomi dan kedaulatan nasional. Tanpa perhitungan matang, proyek infrastruktur bisa berubah dari peluang menjadi perangkap yang membahayakan kemandirian bangsa.
REFERENSI
Redaksi Asiatoday. “Perbandingan Tawaran Jepang Dan China Dalam Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.” AsiaToday.id, PT. Republik Digital Network , 17 Oct. 2021, asiatoday.id/read/perbandingan-tawaran-jepang-dan-china-dalam-proyek-kereta-cepat-jakarta-bandung. Accessed 5 Mar. 2025.
Armandhanu, Denny. “Beda Kepentingan Jepang Dan China Di Proyek Kereta Cepat.” Internasional, cnnindonesia.com, 31 Aug. 2015, www.cnnindonesia.com/internasional/20150831115055-106-75588/beda-kepentingan-jepang-dan-china-di-proyek-kereta-cepat. Accessed 5 Mar. 2025.
Kurniawati, S. L. (2024). Indonesia di antara Jepang dan Tiongkok: Persaingan pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, 18(2), 1-20.
ADVERTISEMENT
Zhafarina, J. A. Z., Al-Fadhat, F., & Hamzah, A. P. (2024). Analisis hubungan politik utang Indonesia dan China untuk menghindari debt trap diplomacy. Jurnal Akuntansi, Finansial, dan Manajemen (JAFM), 5(4), 820–830. https://doi.org/10.38035/jafm.v5i4
Haryono, Willy. “Tiongkok Dan Diplomasi Jebakan Utang Di Kawasan Asia - Medcom.id.” Medcom.id, Medcom ID, 12 Oct. 2023, www.medcom.id/internasional/opini/JKRdX3Vb-tiongkok-dan-diplomasi-jebakan-utang-di-kawasan-asia. Accessed 5 Mar. 2025.