Konten dari Pengguna

Pilkada 2024, Akankah Ada Pemimpin Berintegritas?

Raihan Ardi Muhana
Bekerja sebagai staff adminstrasi anggota di DPR RI, Raihan juga merupakan peneliti junior lembaga LKK. Saat ini, Raihan akan menjalani studi S2 di Magister Kebijakan Publik di KDIS School fo Public Policy, Korea Selatan.
21 Agustus 2024 9:01 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Ardi Muhana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kunci jadi pemimpin. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kunci jadi pemimpin. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Mendekati masa-masa Pilkada 2024, kita masih dapat mengingat fenomena-fenomena yang terjadi selama Pemilu pada Februari lalu. Bagaimana institusi pemerintah dikerahkan untuk memenangkan Paslon, otak-atik instrumen hukum untuk melanggengkan kekuasaan, dan tak luput tentang politik uang yang makin hari makin masif.
ADVERTISEMENT
Mungkin sebagian dari kita menganggap politik uang adalah hal yang lumrah, wajar-wajar saja mengingat kondisi ekonomi kita yang tidak begitu hebat juga. Namun, pantaskah kita memiliki paradigma tersebut sampai Pemilu maupun Pilkada anak-cucu kita nanti?
Sebelum menghadapi Pilkada 2024 ini coba kita ingat-ingat kembali, siapa yang kita pilih ketika mencoblos surat suara pada Pemilu kemarin. Apakah Anda masih bisa mengingat kenapa Anda memilih calon tersebut (atau bahkan ingat siapa yang dicoblos?). Kalau Anda ingat siapa yang dicoblos saat itu dan bukan karena ‘amplop’, selamat, Anda merupakan salah satu warga dengan tingkat literasi politik yang cukup tinggi.
Tapi bagaimana jika mayoritas pengguna hak suara kita dalam pemilu memilih karena ‘amplop’? Saya akan mengajak anda pada realitas politik di lapangan, khususnya di daerah-daerah yang bahkan sangat mengharapkan adanya politik uang itu dan dampaknya pada kualitas pemimpin kita.
ADVERTISEMENT

Kapasitas vs Isi Tas

Kotak suara DPR RI pada Pemilu 2024. Sumber: Pribadi
Sebagai salah satu pegiat “Tim Sukses” pemenangan seorang Caleg inkumben di Jawa Tengah pada Pemilu 2024 lalu, penulis melihat sendiri bagaimana ‘serangan fajar’ terbukti menjadi senjata jitu caleg melawan caleg inkumben dengan rekam jejak advokasi yang mumpuni.
Pada hari-H, desa-desa basis yang sudah diberikan banyak bantuan sebelumnya di-“bom” oleh lawannya dengan amplop berisikan Rp100.000 per kepala. Tentu inkumben tersebut juga menyediakan amunisi, namun masyarakat pastinya bisa membedakan mana calon yang memberikan nominal uang lima kali lebih banyak dibanding lainnya.
Serangan fajar tersebut memastikan calon dengan “isi tas” lebih banyak mengamankan satu kursi di Dapil tersebut. Walaupun inkumben juga berhasil mengamankan kursinya, potensi dua kursi raib dari adanya serangan fajar tersebut.
ADVERTISEMENT
Banyak cerita yang didapatkan dari kolega di masing-masing Dapil di Indonesia, terutama yang menarik adalah jumlah nominal serangan fajar yang berbeda-beda. Mulai dari Rp250.000 di Jakarta hingga Rp1.000.000 di luar Jawa, rata-rata mengakui jika serangan fajar menjadi fenomena yang biasa dilakukan untuk mengamankan kursi legislatif, bahkan menjadi hal yang wajib dengan nominal berapa pun itu.

Ketika Suara “Dibeli” bukan “Dicari”

Penghitungan ulang suara masuk di salah satu TPS. Sumber: Pribadi
Praktik politik uang atau serangan fajar bagi masyarakat sendiri dapat dibilang merupakan hal yang biasa, bahkan dinanti-nanti. Survei exit poll yang dilakukan oleh Indikator Politik pada 14 Februari 2024 terhadap 2.975 pemilih yang baru saja mencoblos menemukan bahwa 46,9 persen dari mereka menganggap politik uang sebagai sesuatu yang “biasa”, sedangkan 49,6 persen lainnya menganggap praktik ini tidak dapat diterima.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, pemilih muda serta masyarakat berpendapatan dan berpendidikan rendah menjadi target utama politik uang. Pemilih muda rentan terhadap praktik ini karena ketergantungan ekonomi pada orang tua dan tidak berkomitmen secara ideologi politik.
Masyarakat berpendapatan dan berpendidikan rendah lebih cenderung menerima politik uang karena mereka menghindari risiko dan lebih menghargai keuntungan langsung dibanding janji kebijakan di masa depan. Selain itu, suara mereka lebih 'terjangkau' bagi politisi karena nilai uang kecil dapat dirasa besar jika diterima oleh masyarakat berpendapatan rendah.
Pendidikan rendah juga meningkatkan kerentanan terhadap politik uang karena ketidaksadaran mereka akan dampak negatif pada representasi politik ke depannya.
Fenomena ini bahkan dibahas di Parlemen secara gamblang, ketika politikus dari Fraksi PDIP menyampaikan pada Rapat Kerja bersama KPU di Komisi II untuk melegalkan politik uang pada Mei 2024 lalu. Menurutnya, serangan fajar boleh dilegalkan dengan batasan tertentu, karena tanpa praktik ini masyarakat tidak akan memilih bahkan tidak akan menggunakan hak suaranya.
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan bahwa serangan fajar bukan lagi menjadi aib politikus, namun hal yang sangat wajar dilakukan untuk menggalang suara. Lebih lanjut, politisi PDIP tersebut menyarankan kepada Bawaslu agar membatasi isi amplop yang diberikan pada masyarakat, mulai dari Rp50-100 ribu bahkan Rp1 juta-5 juta per amplop. Menurutnya, masyarakat tidak akan memilih jika tidak diberikan serangan fajar sebelumnya.
Hal ini turut memperlihatkan disparitas antara calon dengan para pemilih, di mana uang hanya menjadi satu-satunya penjamin masyarakat tersebut akan memilih, alih-alih visi dan misi yang seharusnya menjadi dasar masyarakat memilih calonnya. Pada akhirnya, suara rakyat hanya dilihat sebagai komoditas untuk “dibeli” dengan harga/modal tertentu, bukan “dicari” yang seharusnya dilakukan para calon melalui kampanye visi-misinya.
ADVERTISEMENT

Masih Adakah Asa Itu?

Politik uang bukanlah fenomena 5 tahunan yang berdampak dalam jangka pendek saja, namun juga memiliki trickle effect dalam jangka panjang. Kebijakan mengenai politik uang sudah secara eksplisit dilarang pada UU No. 17 Tahun 2017 Tentang Pemilu, salah satunya pada Pasal 280 menyebutkan jika calon terbukti melakukan politik uang, KPU memiliki kewenangan menghapus namanya dari daftar calon tetap, bahkan dijatuhkan hukuman penjara.
Namun, sejauh ini, belum pernah kita dengar adanya penanganan tegas terhadap politik uang. Pembiaran terhadap politik uang akan memberikan dampak meningkatnya biaya politik, hingga democratic backsliding di Indonesia melalui inkompetensi para pejabat pilihan kita.
Pertama, layaknya hukum ekonomi supply dan demand, pembiaran terhadap praktik politik uang akan melahirkan calon-calon wakil rakyat atau kepala daerah yang memiliki modal kuat, tanpa dilatarbelakangi rekam jejak yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
Politik uang akan menutup kesempatan bagi warga yang memiliki potensi maupun latar belakang yang mumpuni dalam mewakili rakyat di pemerintahan pusat maupun daerah. Singkatnya, biaya politik pemilu-pemilu ke depannya akan mengalami kenaikan secara terus menerus.
Hal ini juga akan mempengaruhi sistem kaderisasi di partai politik (itupun jika masih ada dalam proses regenerasi partai saat ini). Terlebih jika partai politik juga meminta "upeti" para calon kepala daerah untuk mengeluarkan surat rekomendasi, yang sudah menjadi rahasia umum dapur politik kita saat ini.
Kedua, apabila dibiarkan bahkan diwajarkan terus menerus, penulis melihat adanya potensi democratic backsliding yang akan terjadi di Indonesia. Fenomena ini mengartikan adanya pelemahan kualitas dan kapasitas institusi dalam menjaga sistem demokrasi suatu negara.
ADVERTISEMENT
Hancurnya pilar-pilar demokrasi pada institusi pemerintah Indonesia seperti kasus penyelewengan yudisial, pengerahan institusi pemerintahan yang tidak netral, hingga pemanfaatan fasilitas negara untuk pemenangan peserta pemilu merupakan berbagai contoh fenomena negara yang mengalami democratic backsliding.
Ditambah dengan melemahnya kualitas pelaksanaan pemilu kita dalam menghadapi politik uang, tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas para pejabat pilihan kita di sistem pemerintahan juga akan ikut melemah.
Pada akhirnya, para pejabat terpilih nantinya bukan lagi yang paling berkompeten, melainkan yang memiliki paling banyak “isi tas”-nya. Kompetensi dan kualitas yang diharapkan untuk kepentingan rakyat dari caleg terpilih bisa saja dikhianati oleh kepentingan caleg dan kroni-kroninya itu sendiri. Apakah Pilkada tahun ini akan mengulang hal yang sama?
ADVERTISEMENT
Agaknya sangat ekstrem apabila kita mengaminkan kutipan Filsuf Prancis Joseph de Maistre, "Every nation gets the government it deserves". Mungkin, memang pada akhirnya semangat akan “demos” (rakyat) perlahan menghilang dan menjauh, sedangkan para kontestan pemilu terbutakan untuk mencari “kratos” (kekuasaan) mereka sendiri. Optimiskah kita masih memiliki pemimpin yang berintegritas pada kesejahteraan masyarakat?