Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Masih Ada Salura di Selatan Indonesia: Tentang Warga Salura
23 Maret 2018 23:10 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Raihan Janitra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekitar pukul 11 siang, kami semua berkumpul untuk bersiap berkeliling desa. Tujuan pertama kami adalah sumur yang ada di satu sisi Pulau Salura, dekat dengan pemukiman dan masjid. Baru setelah itu kami akan mengunjungi SD di sana.
ADVERTISEMENT
Sumur tersebut adalah sumur yang diceritakan oleh bapak nelayan tadi. Sebuah sumur yang diwajibkan bagi semua pendatang dari luar Salura untuk bercuci muka di sana, sebagai simbol "perkenalan" untuk leluhur Salura. Sumur itu sebenarnya tak seperti "sumur" pada umumnya, lebih seperti celah atau gua kecil berkedalaman 3-4 meter dengan guratan-guratan besar pada sisi sisinya, berdiameter sekitar 3 meter. Kami semua membasuh muka kami sebanyak 3 kali di sana. Lalu, seorang yang mungkin salah satu tetua adat di Pulau Salura menceritakan sejarah soal sumur itu.
Sumur itu adalah simbol persatuan dari 12 suku pertama yang datang di Salura. Guratan-guratan yang ada di sisinya merupakan bekas tombak dari 12 suku tersebut. Seharusnya ada 12 celah, namun beberapa guratan tersebut sepertinya hancur termakan usia. Air di dalam sumur tersebut adalah air tawar dan dialirkan ke penjuru desa. Tetua adat juga mengatakan, air itu tak pernah habis, dan dapat di minum langsung. Di sinilah kami seharusnya membuang gelang kami yang diberikan pada pagi harinya.
ADVERTISEMENT
Kami melanjutkan tour kami ke deretan berisi 3 pohon besar, yang juga di ceritakan oleh bapak nelayan tadi. Yang menarik justru yang ada di bawah pohon-pohon itu. Tersusun secara acak beberapa batu besar yang bukan seperti buatan alam, tapi seperti buatan manusia. Ada yang tersusun seperti meja raksasa, ada yang berbentuk persegi panjang dan yang paling unik, berdiri memanjang. Tetua adat yang lain bercerita, bahkan sebelum manusia pertama datang ke Salura batu tersebut sudah ada di situ. Yang lebih "keren" lagi adalah, ada ukiran kuda dan buaya di batu berbentuk meja. Ada juga ukiran-ukiran lain di batu yang lain. Jika memang bukan dari manusia pertama di Salura, lalu siapa? Beliau mengatakan bahwa batu-batu itu merupakan batu yang ada di gunung, di bawa ke tempat tersebut yang cukup dekat dari bibir pantai. Beliau juga bercerita bahwa saat pertama kali dia datang di Salura, dia melihat batu yang berdiri itu bercahaya terang dari kejauhan. Sungguh menarik.
ADVERTISEMENT
Setelah itu kami menuju ke SD Inpres Salura. Jaraknya sebenernya cukup dekat, namun matahari mulai berada tepat di atas kami dan cukup menyengat. Di kejauhan, terlihat deretan bukit atau gunung yang cukup tinggi. Seseorang yang berpakaian tentara di sebelahku tiba-tiba bercerita,
"Setiap tanggal 17 Agustus, sepanjang punggung bukit itu kami pasang ratusan bendera merah putih, mas."
Sungguh, hal itu membuatku cukup terkejut sambil berdecak kagum dan mengatakan "keren banget, pak!"
Belum selesai aku mengagumi kalimat bapak tadi, seseorang mas-mas di sebelahnya bercerita
"Kalau tahun lalu kami pasang bendera di sekitar pulau Mangudu di sana." (Pulau Mangudu adalah pulau kecil tak berpenghuni di selatan Salura)
Bertambah lagi kekagumanku kepada warga Salura, bahkan terharu. Mereka yang menurutku terisolasi, justru sangat tinggi rasa cintanya terhadap Indonesia. Tak seperti rakyat kota-kota besar yang apatis atau bahkan mencemooh negaranya sendiri.
ADVERTISEMENT
Dari kejauhan, terlihat siswa-siswi SD yang mengintip dari balik pintu kelas. Sesampainya di sana, mereka langsung masuk dan duduk rapih di dalam kelas masing-masing, sementara kami menunggu instruksi selanjutnya dari tim kumparan di luar. Aku mendengar beberapa kelas menyanyikan beberapa lagu nasional dengan cukup lancar.
Akhirnya mereka semua keluar dari kelas, berbaris rapi di tepi lapangan. Peserta road trip diinstruksikan untuk ikut berbaris di belakang siswa-siswi. Aku memilih barisan yang full anak laki-laki, lalu aku coba untuk berkenalan. Mereka semua menjawab dengan malu-malu saat ku tanya nama masing-masing. Lalu satu anak ditunjuk untuk menjadi dirijen, memimpin kami semua untuk bernyanyi "Dari Sabang Sampai Merauke".
Yang kulihat di mata mereka adalah keceriaan. Mereka hanyalah anak SD yang mungkin belum tau masalah berarti, masih tanpa beban. Sekalipun dengan keadaan Pulau Salura yang menurutku terisolasi, mereka tetap terlihat bahagia. Kedatangan kami semua juga adalah kebahagiaan lain bagi mereka. Padahal saat itu adalah hari Minggu.
ADVERTISEMENT
Yang membuatku terharu adalah, saat salah satu tim dari Yamaha mengumumkan akan ada hadiah alat sekolah bagi setiap murid, aku mendengar beberapa dari mereka berteriak kecil "yess!", sembari memasang wajah bahagia. Jangan harap akan ada ekspresi itu di kota besar. Mereka akan senang jika diberi gadget pasti.
Saatnya kami masuk ke kelas. Kami bebas memilih kelas yang mana. Aku dan ketiga temanku memilih kelas paling pojok, kelas 5 dan 6. Aku lihat kondisi ruang kelas itu, bisa ku katakan tak layak. Eternit jebol, kusen jendela dan meja kursi yang lapuk, dan lantai tanpa keramik. Diantara semua hal yang membuatku prihatin itu, wajah lugu dan bahagia adik-adik SD itulah yang membuatku lebih tenang.
ADVERTISEMENT
Aku coba berbincang dengan beberapa murid yang ada di baris belakang. Mereka cukup antusias menjawab dan bercerita, mungkin karena mereka lebih dewasa. Mereka juga bercerita tentang Generasi Emas Nusantara yang bisa dibilang cukup sering mengunjungi Salura. Ada satu dari mereka yang bahkan hapal nama dari kakak-kakak Generasi Emas Nusantara. Ada sedikit kelegaan di batinku, kami semua juga membawa kebahagiaan bagi mereka.
Aku sempat bercerita tentang betapa luas dan indahnya Indonesia yang ternyata mereka tak tahu banyak. Bahkan jika aku tak salah dengar, ada dari mereka yang tak tahu Pulau Sumba. Aku bilang pada mereka untuk terus semangat belajar dan jangan jadikan hal apapun menjadi halangan mereka. Jangan lupa untuk majukan Pulau Salura, majukan Sumba. Dan yang lebih membuatku senang adalah ada dari mereka yang tertarik belajar bahasa Inggris, mungkin karena aku seorang mahasiswa Sastra Inggris. Mereka juga menunjukkan bangunan SMP di seberang lapangan bola dan TK yang masih dibangun.
ADVERTISEMENT
Aku lihat ke arah lapangan, beberapa peserta road trip bermain bola dengan siswa-siswa. Ada yang sedang kepo dengan drone yang dibawa tim dokumentasi, ada juga yang membagikan permen pada murid-murid. Semuanya berbahagia.
Jam menunjukkan pukul 2 siang dan kami harus lepas dari SD untuk kembali menyeberang ke Sumba. Murid-murid SD itu berbaris dan menyalami kami satu persatu dengan raut bahagia masih terpasang di wajah mereka.
Ada beberapa hal yang aku dapat dari road trip ini, dari Pulau Salura. Salura memang cukup terisolasi, tapi tak membatasi kecintaan mereka terhadap Indonesia. Tak menghalangi semangat mereka untuk terus belajar. Warga Salura dan Sumba sangatlah ramah, tak ragu menjawab setiap pertanyaan yang aku lontarkan. Dan yang terpenting adalah semangat mereka dalam memajukan dsn mengembangkan daerah mereka. Tapi mereka tak bisa sendiri dan di situlah kami berada, kumparan Road Trip Peduli Salura.
ADVERTISEMENT