Konten dari Pengguna

6 Juni: Lahirnya Sukarno sang Proklamator Kemerdekaan

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Direktur Eksekutif Amnesty UNNES
6 Juni 2023 10:58 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sukarno ketika berpidato. Foto: muklisin art/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sukarno ketika berpidato. Foto: muklisin art/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada 6 Juni 1901, di Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, lahir seorang anak bernama Koesno Sosrodihardjo. Koesno merupakan anak dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai, yang kelak menjadi sang proklamator kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Koesno Sosrodihardjo merupakan nama kecil Presiden ke-1 RI, Sukarno. Di dalam buku Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966), Sukarno menceritakan alasan penggantian nama itu karena beliau sakit-sakitan, seperti terkena malaria, disentri, dan penyakit lainnya.
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, jika seorang anak sering mengalami sakit-sakitan, hal ini menandakan bahwa anak tersebut tidak mampu memenuhi makna dari nama yang diberikan kepadanya, sehingga namanya mesti diganti.
Raden Soekemi Sosrodihardjo, ayah Sukarno, yang memiliki latar belakang budaya Jawa, meyakini bahwa nama Kusno Sosrodihardjo tidak sesuai untuk putranya yang tercinta, sehingga beliau mengganti namanya menjadi Sukarno.

Sukarno, Bukan Soekarno

Sukano, Hatta, Sjahrir, dan Letnan Kolonel Van Beek. Foto: Nationaalarchief.nl
Banyak masyarakat—atau bahkan mungkin di antara kita—yang menulis nama Bung Karno dengan “Soekarno”, padahal sesuai amanat beliau yang benar adalah “Sukarno”, sebagaimana ketika beliau diwawancara oleh Cindy Adams yang kemudian ditulis di Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966), “Karena itulah maka Sukarno mendjadi namaku jang sebenarnja dan satu-satunja.”
ADVERTISEMENT
Setelah Indonesia merdeka, Bung Karno memerintahkan supaya segala ejaan "oe" kembali ke "u". Ejaan dari perkataan Soekarno sekarang menjadi Sukarno. Adapun alasannya karena Bung Karno menganggap bahwa ejaan “oe” merupakan peninggalan pihak kolonial Belanda, sehingga perlu diganti.
Kemudian, Sukarno lebih menyukai panggilan "Bung" sebagai panggilan untuknya. Panggilan ini populer sebagai sapaan yang setara.
Panggilan "Bung" yang bisa diartikan sebagai "saudara atau kawan seperjuangan" menghapuskan ketergantungan pada hierarki feodal dan tingkatan pangkat. Dengan menggunakan panggilan "Bung" setiap warga Indonesia dianggap setara, sebagai saudara seperjuangan atau sesama bangsa, tanpa mengurangi rasa hormat dan prinsip saling menghargai.
Oleh karena itu, penulisan yang tepat dari nama Bung Karno adalah “Sukarno” bukan “Soekarno” sesuai yang telah diamanatkan oleh sang pemilik nama. Oke, Bung.
ADVERTISEMENT

Sukarno si Kutu Buku

Sukarno di Pekan Buku Indonesia pada tahun 1954. Foto: Wikimedia Commons
Ayahnya Sukarno merupakan orang yang gemar membaca buku, hobi ini yang juga menurun ke Bung Karno. Bung Karno muda rajin membaca buku di perpustakaan, beliau membaca pelbagai buku. Sehingga sejak muda, Sukarno sudah memiliki wawasan yang cukup luas.
Kemudian, ketertarikan Sukarno terhadap membaca dan pengetahuan dimulai dengan perkenalannya dengan Haji Oemar Said Tjokroaminoto alias H.O.S. Tjokroaminoto, seorang tokoh pergerakan nasional Indonesia dan pemimpin organisasi Sarekat Islam. Pada awal abad ke-20, Sarekat Islam merupakan salah satu organisasi massa terbesar di Indonesia yang berperan penting dalam pergerakan nasionalis.
Tjokroaminoto memiliki pengaruh yang kuat dalam perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia dan mendukung gagasan-gagasan politik dan sosial yang dipelopori oleh Sukarno. Tjokroaminoto adalah seorang yang terdidik dan mendorong para anggota Sarekat Islam untuk meningkatkan pengetahuan mereka melalui membaca. Beliau memimpin dengan contoh dan memiliki perpustakaan pribadi yang kaya dengan berbagai buku tentang politik, sejarah, dan filsafat.
ADVERTISEMENT
Sukarno yang kala itu masih muda dan bersemangat dalam gerakan nasionalis, menjadi dekat dengan Tjokroaminoto dan terinspirasi oleh pemikiran dan pengetahuan yang dipunyai olehnya. Melalui interaksi dan diskusi dengan Tjokroaminoto, Sukarno mulai menyadari pentingnya literasi dan pembelajaran dalam mengembangkan kesadaran politik dan sosial.
Tjokroaminoto juga mendorong Sukarno untuk membaca buku-buku klasik dan pemikir-pemikir terkenal, seperti Karl Marx, Thomas Paine, dan Rabindranath Tagore. Pengaruh Tjokroaminoto dan hubungannya dengan Sukarno membantu membentuk pandangan dan pemikiran Sukarno tentang nasionalisme, pergerakan sosial, dan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Melalui pembacaan dan pengetahuan yang didapatnya, Sukarno menjadi pemimpin yang berpendidikan dan visioner dalam memimpin perjuangan kemerdekaan dan membangun Indonesia. Bung Karno merupakan sosok yang gemar membaca, bahkan ketika di toilet pun beliau membaca buku.
ADVERTISEMENT

Sukarno sang Konseptor Indonesia

Presiden Sukarno. Foto: AFP
Sejak muda Bung Karno gemar membaca buku, tak heran jika beliau pun tumbuh sebagai sosok yang penuh dengan ide dan gagasan. Suatu ketika H.O.S Tjokroaminoto pernah berkata kepada murid-muridnya, termasuk kepada Sukarno,
Ketika hidup di tempatnya Tjokroaminoto, Sukarno tidak cuma terpapar mengenai politik, tetapi juga terbiasa dengan kegiatan menulis. Sukarno memiliki kontribusi dalam dunia jurnalistik pada awal karirnya.
Salah satu pengalaman awalnya adalah ketika artikel pertamanya diterbitkan di halaman koran Oetoesan Hindia pada tanggal 21 Januari 1921. Oetoesan Hindia merupakan koran yang dimiliki oleh Sarekat Islam, organisasi massa yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Setelah publikasi artikel pertamanya, Sukarno rutin menulis untuk koran tersebut, menggantikan Tjokroaminoto dalam menyampaikan pemikiran dan pandangannya tentang politik, pergerakan nasional, dan isu-isu sosial. Tulisan-tulisannya di dalam Oetoesan Hindia membantu memperluas pemahaman dan pengaruhnya dalam gerakan nasional.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pada tahun 1926 Sukarno dan kawan-kawannya mendirikan kelompok studi yang dikenal sebagai Algemene Studie Club (ASC) di Bandung. Kelompok studi ini bertujuan untuk memperluas pengetahuan dan diskusi mengenai politik, sejarah, dan kebudayaan. Sebagai bagian dari aktivitas kelompok studi tersebut, Sukarno juga mendirikan koran bernama Soeloeh Indonesia Moeda.
Sebagaimana yang ditulis oleh Arif Zulkifli, dkk. Gagasan Nasionalisme, Islam, dan Komunisme (Nasakom) sudah dicetuskan oleh Sukarno jauh sebelum Indonesia merdeka. Sukarno di koran tersebut pun menulis serangkaian artikel berjudul "Nasionalisme, Islam, dan Marxisme".
Beliau menekankan bahwa ketiga aliran pemikiran tersebut memiliki tujuan bersama, yakni mencapai kemerdekaan dan keadilan sosial bagi Indonesia. Sukarno pun menekankan perlunya persatuan dan kerjasama antara kaum Nasionalis, Islamis, dan Marxis dalam perlawanan yang tidak kompromi (nonkooperatif) terhadap Belanda.
ADVERTISEMENT
Gagasan Nasakom yang dikemukakan oleh Sukarno pada waktu itu mencerminkan upaya untuk menggabungkan berbagai aliran politik dan ideologi yang ada di Indonesia guna mencapai tujuan perjuangan nasional. Meskipun gagasan ini belum sepenuhnya terwujud saat itu, konsep Nasakom akan menjadi salah satu pijakan penting dalam pandangan politik Sukarno selama masa kepemimpinannya di Indonesia.
Kemudian, Bung Karno juga merupakan penggagas Marhaenisme, yakni asas perjuangan untuk melawan segala bentuk penindasan kolonialisme, kapitalisme, serta imperialisme. Istilah Marhaen dijelaskan di dalam buku Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) bahwa ketika Bung Karno bertemu dengan seorang petani yang bekerja di tanah yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, beliau memutuskan untuk melakukan wawancara dengan petani tersebut.
ADVERTISEMENT
Melalui wawancara tersebut, Bung Karno menyimpulkan bahwa petani tersebut mengalami penindasan akibat sistem feodal yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada saat itu, yang mana memeras masyarakat. Istilah Marhaen diambil dari nama petani yang diwawancara Bung Karno tersebut.
Lalu, kita ketahui bersama bahwa Bung Karno merupakan sang konseptor dan pencetus Pancasila, yakni philosofische grondslag alias dasar filosofis atau landasan filsafat.
Bung Karno dalam pidatonya yang disampaikan pada 1 Juni 1945 menyatakan,
Sebagai philosophische grondslag, Pancasila mencerminkan nilai-nilai dasar yang menjadi landasan moral dan filsafat bangsa Indonesia. Ini melibatkan pemahaman tentang hubungan manusia dengan Tuhan, pentingnya keadilan, persatuan, demokrasi, dan kesejahteraan sosial.
Pancasila juga mencerminkan upaya untuk menggabungkan berbagai nilai dan tradisi lokal, agama-agama yang dianut di Indonesia, serta pemikiran-pemikiran universal dalam satu falsafah yang dapat mengikat dan mempersatukan masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, philosophische grondslag dari Pancasila adalah dasar filosofis yang membentuk pijakan moral, nilai, dan prinsip dalam membangun dan menjalankan negara Indonesia.
Konsep Pancasila tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui proses yang panjang. Bung Karno mendapat inspirasi mengenai Pancasila pada saat beliau diasingkan selama empat tahun oleh Belanda di Pulau Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, mulai tanggal 14 Januari 1934.
Lalu, Pancasila dicetus oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan akhirnya dirumuskan dan ditetapkan secara definitif pada tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah proklamasi kemerdekaan.

Sukarno sang Teladan Bangsa Indonesia

Presiden Sukarno ketika mengunjungi rakyatnya pada 16 April 1949. Foto: Hulton Archive/Getty Images
Bung Karno memiliki jasa yang besar bagi negeri ini, ide dan gagasannya turut mewarnai kokohnya Indonesia hingga detik ini, rakyat Indonesia, mulai dari rakyat biasa sampai pejabat negara, semestinya meneladani kebaikan beliau.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, Bung Karno merupakan manusia biasa sama seperti kita, selama menjadi presiden ke-1 Indonesia beliau tidak luput dari kesalahan. Sehingga banyak kritik dari pelbagai pihak, termasuk Wakil Presiden Indonesia kala itu, Bung Hatta.
Sebagai manusia biasa, Bung Karno senantiasa berusaha memajukan Indonesia dengan pelbagai daya dan upaya yang beliau miliki. Negara-negara lain kala itu takjub dan segan dengan Indonesia di bawah nakhoda Sukarno.
Sebagai Singa Podium, beliau disegani dan layak untuk dijadikan inspirasi ketika berpidato. Api revolusi membara ketika Bung Karno berpidato, sehingga masyarakat takjub dan seperti terhipnotis takjub.