Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Fenomena Kampanye Politik Pakai Lagu
3 Juli 2023 5:26 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita memasuki tahun politik , pelbagai upaya dipersiapkan oleh para partai politik (parpol) peserta pemilihan umum (pemilu) untuk bisa meraih dukungan suara dari masyarakat dalam menghadapi konstelasi hajatan Pemilu 2024. Meskipun belum memasuki masa kampanye, nuansa-nuansa pesta demokrasi aromanya sudah mulai tercium belakangan ini.
ADVERTISEMENT
Berita-berita politik mulai santer terdengar di media, baik di media massa maupun media sosial (medsos). Isu copras-capres mulai menggema, sistem regulasi pemilu juga kerap diperbincangkan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh elite politik pun serba dikaitkan dengan agenda Pemilu 2024, dan sebagainya.
Selain itu, yang juga menjadi perhatian masyarakat luas adalah mengenai lagu-lagu yang kerap hadir mengiringi dunia perpolitikan Indonesia . Misalnya, di medsos, saat ini, berseliweran lagu “PAN, PAN, PAN …” punya Partai Amanat Nasional (PAN), yang menghiasi For Your Page (FYP) TikTok, beranda Instagram, Facebook, Twitter, dan sebagainya.
Lagu sebagai Media Kampanye Politik
Lagu yang dipakai dalam kampanye biasanya adalah jingle. Dalam Merriam-Webster, jingle didefinisikan sebagai sebuah bait atau lagu pendek yang ditandai dengan pengulangan yang menarik. Sementara itu, Cambridge Dictionary mendefinisikannya sebagai nada sederhana pendek, sering kali dengan kata-kata, yang mudah diingat dan digunakan untuk mengiklankan produk di radio atau televisi.
ADVERTISEMENT
Sehingga, jingle bisa kita maknai sebagai lagu pendek atau melodi yang biasanya digunakan dalam iklan dan untuk tujuan komersial lainnya. Jingle sering kali memiliki lirik yang mudah diingat dan melodi yang menarik untuk menarik perhatian dan memengaruhi persepsi dan perilaku pendengar.
Jingle biasanya dibuat untuk mempromosikan produk, layanan, atau merek, dan untuk membantu konsumen mengingat mereka. Dalam politik, jingle biasanya digunakan dalam kampanye untuk mempromosikan kandidat atau partai politik (parpol).
Menggunakan lagu sebagai media kampanye politik merupakan strategi yang sudah ada sejak lama, dan sering digunakan untuk mendapatkan hati masyarakat. Penggunaan lagu saat kampanye bisa menjadi media yang efektif untuk membangun identitas politik seorang kandidat atau parpol. Ini juga bisa memfasilitasi koneksi yang lebih dalam dengan pemilih, ataupun sebagai mnemonic device alias sarana pengingat.
ADVERTISEMENT
Lagu, khususnya yang ceria dan bersemangat, punya kekuatan untuk mengubah suasana hati yang bisa membangkitkan semangat pendukung, mendorong partisipasi aktif dalam kampanye. Melalui melodinya yang mudah diingat dan lirik yang menarik, lagu juga membantu pemilih mengingat nama kandidat atau pesan kampanye.
Aktivitas menyanyikan atau mendengarkan lagu kampanye secara bersama-sama bisa memperkuat rasa solidaritas di antara pendukung. Lirik lagu juga berfungsi sebagai media yang efektif untuk menyampaikan pesan politik atau platform dengan cara yang mudah dipahami.
Seringnya berseliweran di media massa ataupun media sosial juga membuat banyak masyarakat yang tahu dan hafal lagunya, sehingga terus terngiang-ngiang di dalam kepala.
Adanya lagu dalam kampanye politik juga bisa dikaitkan dengan teori-teori dalam ilmu komunikasi. Melalui teori persuasi ala Carl Hovland, lagu dalam kampanye politik dipahami sebagai alat yang menargetkan sikap, keyakinan, dan perilaku pemilih dengan menarik perhatian dan memengaruhi emosi mereka.
ADVERTISEMENT
Aspek-aspek, seperti lirik, melodi, dan ritme bisa menarik perhatian dan memengaruhi emosi pemilih, yang pada gilirannya bisa memengaruhi pandangan mereka terhadap partai atau kandidat.
Kemudian, teori framing ala Erving Goffman juga menunjukkan bagaimana lagu berfungsi sebagai media yang memengaruhi persepsi pemilih dengan mengatur cara pesan disampaikan, yang bisa memberikan pencahayaan positif pada kandidat atau parpol.
Teori kultivasi ala George Gerbner mengungkapkan bagaimana lagu kampanye yang sering diputar bisa memengaruhi pemahaman pemilih tentang realitas politik.
Dalam sosiologi, kita juga bisa menyelisik lebih dalam. Melalui teori fungsionalisme struktural ala Emile Durkheim, kita bisa melihat bahwa masyarakat sebagai sistem yang saling terkait, yang mana setiap bagian memiliki fungsi. Lagu kampanye politik bisa dilihat sebagai bagian dari sistem komunikasi politik yang berfungsi untuk menyampaikan pesan dan nilai-nilai parpol kepada pemilih.
ADVERTISEMENT
Selain itu, adanya lagu pada parpol juga merupakan bagian dari political branding, jika kita meminjam istilah Kotler, lagu kampanye dalam pemilu merupakan tools, yang bertujuan untuk memperkenalkan parpol atau kandidat kepada masyarakat.
Biasanya pun, lagu kampanye dibuat untuk mencerminkan nilai-nilai, visi, dan misi dari kandidat atau parpol. Lirik dan melodinya dirancang untuk menciptakan emosi dan asosiasi yang positif terhadap politisi atau parpol yang bersangkutan.
Jika lagu tersebut berhasil memikat dan disukai oleh masyarakat, hal ini bisa berkontribusi dalam membentuk brand politik yang berkesan, sehingga bisa bermanfaat.
Lagu sebagai Media Kampanye Politik di Belahan Dunia
Dalam sejarahnya, lagu juga dipakai di banyak negara di dunia, termasuk Amerika Serikat (AS). Pada tahun 1952, ada lagu kampanye ikonik berjudul I Like Ike yang dipakai oleh Dwight David Eisenhower. Lagu pendek dan ceria ini sangat populer dan efektif dalam mempromosikan citra Eisenhower sebagai pilihan yang disukai oleh banyak pemilih.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada laman National Museum of American History, I Like Ike menjadi slogan kampanye yang sangat berkesan dalam sejarah AS, dipakai untuk menggambarkan popularitas Dwight D. Eisenhower, yang dikenal lebih sebagai pemimpin militer daripada politisi.
Dengan reputasinya sebagai jenderal bintang lima dan perannya dalam Perang Dunia II, Eisenhower menarik perhatian baik dari Partai Republik maupun Demokrat untuk menjadi calon presiden mereka pada tahun 1952.
Dilansir dari beberapa literatur, lagu sudah sejak lama dijadikan sebagai media kampanye. Pada pemilu tahun 1800 AS, John Adams menggunakan lagu Adams dan Liberty, 1828 Andrew Jackson menggunakan The Hunters of Kentucky, dan sebagainya. Kemudian, yang terbaru, pada Pilpres 2020 AS kemarin pun, pesta demokrasi di AS diramaikan dengan lagu kampanye.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya pun, lagu menjadi media yang tak terpisahkan dengan politik, khususnya ketika kampanye. Sejarawan Gavin James Campbell di dalam artikelnya menyatakan bahwa lagu membantu menciptakan pemilih yang antusias, berkomitmen, dan terhibur.
Selain itu, mengutip dari surat kabar asal Prancis, Le Monde, jingle politik yang melekat, seperti permen karet di kepala pemilih tampaknya menjadi kekhasan kampanye pemilu di Brasil.
Di negara di mana politik adalah seni populer—seperti Brasil—setiap kandidat untuk pemilihan memiliki jingle kampanyenya sendiri, sebuah lagu yang harus dimainkan di kepala mereka yang mendengarkan dan beradaptasi dengan semua platform.
Menurut sosiolog Luiz Cláudio Lourenço, jingle politik di Brasil sudah ada sejak awal hak untuk memilih, pertama kali muncul pada tahun 1930-an selama periode Republik Lama dan terus berevolusi sejak itu.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya pun, ada banyak jingle politik yang terkenal, mulai dari Sapu, sapu sapu dari Presiden Jânio Quadros yang menekankan reputasinya dalam memerangi korupsi, hingga Funk do Aécio yang modern dari kandidat presiden PSDB (Brazilian Social Democracy Party) pada tahun 2014, Aécio Neves.
Dituliskan juga bahwa saat ini produksi jingle politik sudah menjadi industri besar di Brasil dengan kandidat yang bersedia membayar sejumlah uang, mulai dari beberapa puluh hingga ribuan reais, untuk lagu kampanye yang dapat menjadi ciri khas mereka.
Masih banyak lagi negara-negara di belahan dunia yang dalam kampanye pemilu menggunakan lagu sebagai salah satu media mereka untuk menarik perhatian masyarakat. Sehingga menjadi ciri khas atau branding bagi parpol atau kandidat tertentu.
ADVERTISEMENT
Lagu sebagai Media Kampanye Politik di Indonesia
Fenomena kampanye pakai lagu juga bukan “barang” baru di Indonesia. Lagu kampanye merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pemilu di Indonesia. Sebagai media promosi politik, lagu kampanye bertujuan menginspirasi, memotivasi, dan memobilisasi pemilih.
Lagu-lagu tersebut mencerminkan nilai, tujuan, dan janji partai atau calon, dan berfungsi untuk meningkatkan daya ingat pesan politik secara emosional dan menyenangkan.
Banyak musisi dan artis terlibat dalam pembuatan lagu kampanye di Indonesia, baik dengan menciptakan lagu untuk parpol atau kandidat tertentu, maupun tampil dalam acara kampanye.
Dampak lagu kampanye juga besar, baik secara emosional dalam membangun hubungan dengan pemilih, maupun secara praktis dalam meningkatkan kejelasan dan pengenalan pada parpol atau kandidat peserta pemilu.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, pada Pemilu 1955, parpol-parpol peserta pemilu juga menggunakan lagu dalam kampanye. Partai Komunis Indonesia (PKI) menggunakan musik gambus, sedangkan Partai Nasional Indonesia (PNI) menggunakan musik keroncong. Sementara itu, Partai Masyumi menggunakan musik pop.
Kampanye politik memakai lagu terus berlanjut. Pada Pemilu 1972, Jusuf Wanandi di dalam bukunya yang berjudul Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965—1998 (2014: 129), menyatakan bahwa pada masa kampanye kala itu ada bintang film, penyanyi, dan model. Hiburan musik menarik orang-orang pada datang, dan disela-sela itu juga diselipkan pidato oleh pimpinan Golkar.
Yopi Kristanto di dalam bukunya yang berjudul Bersenandung Dalam Politik: Musik dan Musisi pada Pemilu Orde Baru 1971—1997 (2018), menjelaskan bahwa setelah Pemilu 1971, artis dan penyanyi terkenal memilih untuk menjadi bagian yang mendukung Golkar—partai penyokong rezim Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan konser musik kampanye Golkar dalam menarik banyak simpatisan selama pemilihan 1971 mendorong partai lain yang ikut serta dalam pemilihan untuk mencoba strategi serupa. Dalam kampanye pemilihan pada tahun-tahun berikutnya, musisi semakin aktif dalam mengumpulkan dukungan untuk partai yang mereka dukung.
Kemudian, memasuki era reformasi, pesta demokrasi semakin meriah. Dengan sistem proporsional terbuka, para calon legislatif juga turut aktif kampanye, termasuk menggunakan jingle. Banyak dari kalangan musisi yang juga gabung ke dalam parpol, sehingga banyak parpol yang menggunakan lagu sebagai media kampanye politik.
Pada Pilpres 2014 kemarin, kedua pasangan calon (paslon) juga memakai lagu sebagai media kampanye mereka. Lagu dukungan untuk Prabowo-Hatta, yakni berjudul Indonesia Bangkit, yang mana nada-nadanya didasarkan pada lagu We Will Rock You milik Queen. Yang menjadi ikonik ialah lirik "We will, we will, rock you!" diubah menjadi "Prabowo-Hatta". Sementara itu, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla memakai lagu Salam Dua Jari yang diciptakan oleh Slank.
ADVERTISEMENT
Pada Pilpres 2019, lagu dukungan untuk Jokowi-Amin yang menjadi terkenal ialah Goyang Jempol Jokowi Gaspol, kemudian ada juga lagu Meraih Kemenangan yang diadaptasi dari lagu Meraih Bintang oleh Via Vallen. Sementara itu, lagu dukungan kampanye dari pasangan Prabowo-Sandi ialah 2019 Ganti Presiden yang cukup ikonik saat itu.
Kemudian, parpol juga mengeluarkan lagu untuk kampanye. Ada lagu Teng-Teng Coblos Gambar Banteng milik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Go PKS Go milik Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Rebut Kemenangan milik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan sebagainya.
Adanya lagu kampanye tentu menambah warna dan keseruan dalam menyambut pesta demokrasi di Indonesia. Lebih baik kampanye bertempur gagasan dan kreativitas—termasuk membuat lagu—dibandingkan dengan kampanye hitam dan sejenisnya yang bisa memperburuk perpolitikan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Adapun tujuan kampanye menggunakan lagu adalah untuk membangun kesadaran, meningkatkan pengenalan parpol, dan menciptakan daya tarik emosional kepada pemilih. Lagu kampanye sering diputar dalam acara kampanye, iklan politik di media massa dan media sosial, atau sebagai bagian dari materi kampanye lainnya.
Lagu kampanye juga menjadi salah satu elemen khas dalam proses pemilu di Indonesia dan membantu menciptakan identitas yang kuat bagi parpol tersebut. Apalagi, sekarang kita memasuki era digital, banyak orang yang menggunakan medsos, seperti Instagram, TikTok, Twitter, dsb. sehingga lagu yang dibuat parpol bisa dengan cepat beredar di masyarakat, dan bisa viral.
Terkumpul dalam nada, bersatu dalam aksi. Politik Indonesia berwarna dengan diiringi lagu kampanye, siap menyambut pesta demokrasi.
ADVERTISEMENT