Hukuman Mati bagi Koruptor: Keputusan Keliru yang Tidak Efektif

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
24 Januari 2023 11:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah sejak dulu, pemberitaan korupsi seakan menjadi makanan sehari-hari masyarakat Indonesia. Saking seringnya pemberitaan kasus korupsi, kejahatan ini seakan menjadi budaya yang terus dilestarikan oleh para pemegang jabatan di negeri ini. Korupsi merupakan perilaku tercela yang umumnya dilakukan oleh para pejabat negeri, bentuk korupsi yang dilakukan juga bermacam-macam, seperti memperkaya diri sendiri dengan perbuatan melawan hukum, penyuapan, pemerasan, penggelapan jabatan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Maraknya kasus korupsi, membuat banyak negara menerapkan hukuman mati terhadap pelaku korupsi. Secara de jure, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang menerapkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu, sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adanya hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pihak yang setuju hukuman mati bagi pelaku korupsi beranggapan bahwa hukuman ini akan memberikan efek jera dan akan memutus kasus tindak pidana korupsi. Di sisi lain, pihak yang kontra beranggapan bahwa penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi merupakan hal yang tidak manusiawi.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, hukuman mati bukanlah solusi yang efektif untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Berikut merupakan alasan saya menolak hukuman mati:

Melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)

Ilustrasi hak asasi manusia (HAM). Foto: Shutterstock
Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak fundamental anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang melekat kepada setiap individu sejak lahir (bahkan ketika masih di dalam kandungan). Pemberlakuan hukuman mati sebetulnya sudah dibatasi dengan beberapa syarat yang diatur oleh Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang juga meliputi hak hidup.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menilai bahwa pemberian hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi tidak efektif, dan justru melanggar hak hidup bagi seseorang yang mana hal ini justru melanggar HAM. Pada hakikatnya, hak hidup merupakan hak yang absolut bagi seseorang sehingga tidak dibenarkan untuk dilanggar.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari laman Kemenkumham.go.id, hukum internasional hak asasi manusia–termasuk juga yurisprudensi pengadilan di beberapa negara dan kawasan–telah menegaskan bahwa praktik eksekusi hukuman mati adalah suatu tindakan penghukuman yang kejam, tak manusiawi dan merendahkan derajat serta martabat seseorang.

Tidak Ada Korelasi antara Penjatuhan Hukuman Mati dengan Efek Jera bagi Pelaku

Ilustrasi hukuman mati. Foto: Shutterstock
Berdasarkan data dari NGO antikorupsi, Transparency International, terdapat peringkat negara-negara terkait indeks persepsi korupsi atau IPK (CPI). Indonesia berada di urutan ke-96 dari dengan skor 38 dari skala 0–100. Hal ini menunjukkan adanya ketidakpercayaan dari publik terhadap negara.
Melihat lima negara ranking teratas terkait indeks persepsi korupsi, di antaranya Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Singapura, dan Swedia yang masing-masing mendapatkan skor 85–88. Menariknya, dari kelima negara dengan IPK tertinggi, hanya Singapura yang menerapkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat Singapura, suatu negara yang tingkat perekonomian dan pendidikannya merupakan salah satu yang terbaik di dunia sehingga tingkat korupsi di Negeri Singa tersebut cenderung sangat rendah–bukan semata-mata karena terdapat hukuman mati. Terlebih lembaga pemberantasan korupsi atau KPK-nya Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), yang sudah berdiri sejak 1952, dan memiliki kinerja yang baik dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi khususnya pada fungsi investigatif di Singapura.
Di sisi lain, negara-negara yang menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi cenderung mendapatkan skor IPK yang rendah, seperti Cina dengan skor 45, Pakistan dengan skor 28, Iran dengan skor 25, Irak dengan skor 23, bahkan Somalia, yang merupakan salah satu negara dengan IPK terendah hanya meraih skor 13.
ADVERTISEMENT
Dari data dapat diketahui bahwa adanya penjatuhan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi tidak berkorelasi dengan efek jera bagi pelaku, hal ini justru menambah permasalahan baru, khususnya mengenai hak asasi manusia. Bagi banyak pihak, pemberlakuan pidana mati cenderung menekankan aspek balas dendam (retributive).

Masih Rapuhnya Sistem Peradilan Pidana

Ilustrasi rapuhnya sistem peradilan pidana di Indonesia. Foto: Shutterstock
Kita bisa melihat dan menyadari bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia masih rapuh, secara praktik beberapa kali ditemukan kesalahan penghukuman atau wrongful conviction yang mana merugikan terduga pelaku. Hal yang demikian tentunya sangat berisiko terhadap hukuman mati sehingga harus diminimalisir.
Bahkan, Belanda–sebagai negara yang juga mewariskan hukum pidana mati melalui Wetboek van Strafrecht (WvS) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)–telah menghapuskan hukuman pidana mati untuk menghargai HAM. Maka, perlu bagi Indonesia untuk menghapuskan hukuman mati bagi koruptor.
ADVERTISEMENT
Solusi
Ilustrasi solusi. Foto: Shutterstock
Upaya yang bisa dilakukan untuk pencegahan terjadinya korupsi yang utama adalah melalui pendidikan. Dari mulai usia dini, seorang anak harus ditanamkan sikap kejujuran ataupun integritas sebagai wujud antikorupsi. Kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah juga perlu menanamkan sikap antikorupsi dengan berpegang teguh kepada nilai-nilai Pancasila. Pendidikan antikorupsi merupakan hal yang perlu ditanamkan dan diimplementasikan.
Pemberian kurungan penjara maksimal seumur hidup juga merupakan salah satu alternatif hukuman yang bisa diambil dalam mengatasi kasus tindak pidana korupsi. Kurungan penjara tentunya harus sesuai dan tidak ada potongan-potongan hukuman bagi pelaku korupsi, sehingga penegakkan hukum betul-betul sesuai dan setimpal.
Denda yang besar ataupun perampasan aset koruptor juga bisa dijadikan opsi sebagai pencegahan tindak pidana korupsi, sehingga hal ini bisa memberikan efek jera bagi koruptor yang tentunya merugikan masyarakat dan negara. Mekanisme yang dijalankan juga perlu sesuai dan terukur supaya betul-betul efektif dalam pencegahan sekaligus penanggulangan tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi merupakan hal yang kurang efektif karena rentan terhadap pelanggaran HAM, tidak ada korelasinya terhadap efek jera bagi pelaku, dan sistem peradilan pidana di Indonesia masih rentan. Terdapat upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah sekaligus mengatasi tindak pidana korupsi, yakni dengan pendidikan, pemberian hukuman maksimal seumur hidup, dan memberikan denda ataupun perampasan aset koruptor. Jadi, pemberian hukuman mati bagi koruptor di Indonesia merupakan hal yang keliru.