Konten dari Pengguna

Indonesia: Suatu Bangsa yang Lahir dan Tumbuh dari Kritik

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Direktur Eksekutif Amnesty UNNES
5 Juni 2023 13:12 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kritik. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kritik. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia, suatu bangsa yang lahir dan tumbuh dari kritik. Dalam sejarahnya, para founding father kita menggunakan kritik terhadap kolonialisme sebagai dasar perjuangan bangsa untuk meraih kemerdekaan. Mereka mengkritik penindasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh penjajah, serta membangun kesadaran nasional yang kuat di kalangan rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1907, terdapat sosok yang pernah menempuh pendidikan di STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra) bernama Tjipto Mangoenkoesoemo. Beliau aktif menulis di surat kabar De Locomotief.
Tulisannya berisi kritikan-kritikan serta penentangan terhadap kondisi sosial yang dianggapnya tidak sehat. Tjipto pun sering mengecam hubungan feodal dan kolonial yang beliau anggap sebagai akar dari penderitaan yang dialami oleh rakyat.
Kemudian, kita ketahui bersama, bahwa di dalam sejarah Indonesia ada tokoh hebat bernama Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara, beliau merupakan seorang intelektual, pendidik, politisi, serta pejuang kemerdekaan Indonesia.
Di dalam Ki Hajar Dewantara: Pemikir dan Perjuangannya (2017), dijelaskan bahwa pada tanggal 13 Juni 1913 dalam surat kabar De Express, Ki Hajar Dewantara mengkritik pemerintah Belanda karena sering bertindak ugal-ugalan.
Ki Hajar Dewantara bersama Presiden Sukarno. Foto: ANRI
Kemudian, beliau menyampaikan kritik tersebut melalui tulisan yang dimuat di sebuah artikel yang berjudul Als ik een Nederlander was alias Seandainya Aku Seorang Belanda. Tulisan tersebut mengandung kritik terhadap upaya pemerintah kolonial Belanda untuk mendapatkan dana dari rakyat Indonesia guna merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis.
ADVERTISEMENT
Pemerintah kolonial Belanda menganggap tulisan tersebut berpotensi memicu perlawanan rakyat terhadap pemerintahan. Akibatnya, pemerintah Belanda menangkap Ki Hajar Dewantara, dan kemudian beliau diasingkan.
Kemudian, ada tokoh bernama Mas Marco Kartodikromo yang merupakan seorang sastrawan, jurnalis, dan pejuang pergerakan nasional Indonesia. Mas Marco Kartodikromo dikenal sebagai salah satu penulis terkemuka pada masa awal pergerakan nasional Indonesia. Beliau aktif dalam bidang sastra dan jurnalisme, serta menjadi kontributor dalam majalah-majalah terkemuka pada masanya, termasuk majalah Doenia Bergerak.
Beliau dikenal karena tulisannya yang tajam, kritis, dan menyuarakan keadilan sosial. Mas Marco pun terlibat dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia dan berjuang untuk kebebasan dan keadilan bagi rakyat.
Tri Joko Her Riadi di dalam tulisannya mengungkapkan bahwa pada bulan September 1914, dalam majalah Doenia Bergerak, Mas Marco Kartodikromo menyampaikan kritik tajam terhadap perilaku pemimpin Dewan Negeri di Solo. Mas Marco Kartodikromo juga dikenal sebagai pendiri Inlandsche Journalisten Bond (Persatuan Jurnalis Bumiputera). Beliau pun kerap mengkritik dengan tajam pemerintahan Hindia Belanda atas sistem pembagian kasta.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ada politisi bernama Raden Darsono Notosudirdjo atau biasa dikenal sebagai Darsono, yang merupakan seorang tokoh Indonesia yang terlibat dalam gerakan komunis. Selain sebagai seorang jurnalis dan editor, Darsono pun masuk ke dalam ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) dengan menulis artikel yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda.
Salah satu artikel terkenal yang ditulisnya adalah Het Process Sneevliet pada tahun 1917, yang kemudian menjadi bacaan penting bagi kaum komunis Indonesia pada masa itu. Darsono pun pernah mengusulkan kerja sama antara PKI (Partai Komunis Indonesia) dan Communist Partij Belanda. Akan tetapi, setelah pemberontakan PKI pada tahun 1926, Darsono menghilang dari dunia politik dan gerakan komunis di Indonesia.
Mohammad Hatta. Foto: Dok. ANP
Lalu, ada sosok yang juga gemar mengkritik lewat tulisan, yakni Mohammad Hatta. Hatta aktif menulis di majalah Hindia Poetra, beliau kerap kali mengkritik ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak kolonial Belanda. Pada Maret 1923, Hatta menulis di Hindia Poetra mengenai ketidakadilan dalam menentukan harga sewa tanah rakyat yang dipakai untuk perkebunan yang dipunyai oleh orang-orang Belanda.
ADVERTISEMENT
Karena kerap mengkritik Belanda, Hatta dianggap berbahaya oleh pihak kolonial pada saat itu. Hingga, pada 23 September 1927 beliau dipenjara oleh pihak kolonial Belanda. Di dalam bui, Hatta menulis pleidoi untuk pembelaan ketika di pengadilan. Kemudian, pada 9 Maret 1928, dengan gagah beliau membawakan pidato pleidoi yang berjudul Indonesia Vrij alias Indonesia Merdeka.
Kemudian, ada sosok hebat yang pemikirannya kritis bernama Sukarno. Di dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2018), dijelaskan bahwa pada tahun 1930, Sukarno membawakan pidato berjudul Indonesia Menggugat di depan pengadilan pemerintah kolonial Belanda.
Pidato ini merupakan pleidoi Sukarno, yang sekaligus beliau menyuarakan tentang ketidakadilan dan tindakan-tindakan ugal-ugalan yang dilakukan oleh penjajah. Adapun pidato tersebut mengenai situasi politik global dan dampak negatif yang ditimbulkan dari tindakan imperialisme dan kolonialisme terhadap masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Begitulah tokoh-tokoh hebat yang dimiliki Indonesia dalam membuka cakrawala intelektual melalui kritikan, baik lewat lisan maupun lewat tulisan para pejuang kemerdekaan bangsa ini telah mengajarkan kepada kita bahwa jika kita ingin bebas dan merdeka dari belenggu ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, maka diperlukan kritik yang tajam.
Gambar detik-detik Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Foto: Kemendikbud-Ristek
Puncaknya, pada 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, berkat para pejuang yang mengkritik penjajahan lewat pelbagai cara: diplomasi, angkat senjata, dan sebagainya, berhasil mengumandangkan kemerdekaan dari penjajahan.
Akan tetapi, hengkangnya para pelaku kolonialisme dari Indonesia tidak membuat negeri ini bebas dari ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, bahkan muncul penjajahan gaya baru di negeri yang merdeka ini. Sehingga juga muncul sosok-sosok kritis yang melawan lewat kritikan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
ADVERTISEMENT
Bung Hatta, Wakil Presiden ke-1 Indonesia, mengkritik Presiden Sukarno karena dinilai ugal-ugalan dan memimpin ala pemimpin tangan besi dengan demokrasi terpimpinnya. Hatta menuangkan kritiknya tersebut dengan judul Demokrasi Kita ke dalam majalah Pandji Masjarakat pada tahun 1960.
Kemudian, pada masa kepemimpinannya, Presiden Sukarno dikritik oleh anak muda kritis keturunan Tionghoa bernama Soe Hok Gie. Dengan lantang dan berani, baik lewat tulisan maupun lisan, Gie kerap mengkritik keugal-ugalan rezim Sukarno. Beliau juga merupakan sosok di balik aksi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) yang juga menjadi salah satu faktor runtuhnya rezim Sukarno.
Lalu, ada seorang jurnalis dan penulis kritis bernama Mochtar Lubis. Beliau dikenal karena karyanya yang kritis terhadap pemerintah Presiden Sukarno. Lubis merupakan pendiri dan pemimpin redaksi majalah Indonesia Raya, yang seringkali mengungkapkan pandangan kritis terhadap pemerintah dan kebijakan-kebijakan Sukarno.
Mochtar Lubis. Foto: Nationaal Archief
Selama masa pemerintahan Sukarno, Lubis secara terbuka mengkritik banyak kebijakan pemerintah, termasuk cara Sukarno mengelola perekonomian, penggunaan kekuatan politiknya, dan beberapa tindakan represif yang diambil oleh pemerintah pada saat itu. Beliau menyatakan kritiknya bahwa pemerintahannya terlalu otoriter dan cenderung mengabaikan hak-hak asasi manusia serta kebebasan berbicara dan pers.
ADVERTISEMENT
Beliau pun sering mengkritik lewat tulisan dan mempertanyakan konsep demokrasi terpimpin yang diperkenalkan oleh Sukarno, yang menurutnya cuma merupakan alat untuk memperkuat kekuasaan presiden. Kritiknya terhadap Sukarno dan komunisme membuatnya menjadi sosok yang kontroversial, dan beliau sering kali dihadapkan pada tekanan dan penindasan dari pemerintah.
Soe Hok Gie dan Mochtar Lubis tidak hanya lantang mengkritik kebobrokan rezim Sukarno, tetapi mereka juga turut mengkritik kebobrokan rezim Orde Baru di bawah nakhoda Presiden Soeharto. Orde Baru kala itu juga terdapat banyak kesewenang-wenangan dan ketidakadilan, sehingga muncul banyak kritikan.
Banyak masyarakat yang juga ikut melakukan kritikan terhadap Orde Baru karena dianggap ugal-ugalan, serta banyak penyimpangan: korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pelanggaran HAM, pembatasan pers, dan sebagainya.
Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI. Foto: Maya Vidon/Getty Images
Hingga puncaknya, pada 21 Mei 1998, rezim Orde Baru di bawah nakhoda Presiden Soeharto runtuh dikoyak-koyak mahasiswa dan masyarakat lainnya, sejumlah tuntutan dilayangkan oleh para demonstran kala itu.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, kritikan yang dilayangkan masyarakat terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dalam pemerintahan berhasil mengubah sistem yang ada. Sehingga kritik terhadap kinerja dalam pemerintahan perlu dilakukan untuk tercapainya roda pemerintahan yang baik dan benar.
Pada era kini, ada UU ITE yang turut membayangi kritikan masyarakat, pasal-pasal yang dinilai karet berisiko menjerat manusia-manusia yang berniat untuk memperbaiki pemerintahan. Pemerintah dengan UU ITE bisa melawan kepada siapa pun pihak-pihak yang mengancam kepentingan penguasa.
Bangsa kita lahir dan tumbuh dari kritik, sungguh durhaka pihak-pihak yang ingin meruntuhkan, membasmi, dan menghilangkan kritikan terhadap ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan kemunafikan di dalam pemerintahan.
Konstitusi kita telah mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Oleh karena itu, setiap kritikan yang dilakukan oleh masyarakat perlu diterima dengan baik oleh penguasa.
ADVERTISEMENT
Betapa hebatnya Indonesia, suatu negeri yang didirikan oleh para pencinta buku yang mengkritik: mengkritik kebodohan, ketidakadilan, dan kemunafikan.