Konten dari Pengguna

Kekuasaan Adalah Candu

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Direktur Eksekutif Amnesty UNNES
25 Juni 2023 8:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kekuasaan adalah candu. Foto: VectorMine/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekuasaan adalah candu. Foto: VectorMine/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kekuasaan adalah candu. Candu alias opium merupakan narkotika nonsintetik yang sangat adiktif yang diekstraksi (proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda) dari tanaman poppy, Papaver somniferum. Opium poppy adalah sumber utama untuk banyak narkotika, termasuk morfin, kodein, dan heroin.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, candu digunakan sebagai revolusi bangsa Indonesia, hal ini termuat di dalam tulisan Robert Cribb pada 1988 yang berjudul Opium and the Indonesian Revolution. Beliau mengungkap bahwa sudah lama opium hadir di Indonesia, dan dipakai sebagai memenuhi biaya revolusi Indonesia.
Ibarat candu yang melekat dalam sejarah revolusi Indonesia yang membuat ketagihan dan menguntungkan, banyak orang—tidak mutlak—yang ingin berkuasa, meskipun harus menghalalkan dengan pelbagai cara dan upaya. Kekuasaan bisa menjadi sangat adiktif, mirip kayak efek obat-obatan yang menghasilkan ketergantungan.
Ilustrasi memengaruhi orang lain. Foto: nuvolanevicata/Shutterstock
Sederhananya, kekuasaan adalah seni mempengaruhi orang atau kelompok lain untuk bertindak, seperti yang diharapkan untuk mencapai tujuan. Kekuasaan bisa juga diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perilaku orang lain, sehingga orang yang memiliki kekuasaan tersebut dapat mengarahkan perilaku orang lain sesuai dengan harapan mereka.
ADVERTISEMENT
Studi-studi dalam bidang psikologi sudah menyatakan kalau kekuasaan itu bisa mempengaruhi fungsional otak mirip kayak efek dari obat-obatan, membuatnya sangat sulit untuk dilepaskan. Individu yang memegang kekuasaan biasanya mengalami peningkatan kepercayaan diri dan perasaan tidak bisa dikalahkan, sementara tingkat empati dan kepedulian mereka terhadap orang lain cenderung menurun.
Studi oleh Sheri Johnson dari University of California, Berkeley. Beliau bilang kalau orang yang merasa berkuasa biasanya menunjukkan peningkatan mood yang positif, kepercayaan diri yang lebih tinggi, serta mengalami depresi dan kecemasan yang lebih rendah.
Kemudian, Sukhvinder Obhi dari McMaster University bilang kalau mereka yang merasa punya kekuasaan biasanya menunjukkan empati yang lebih rendah. Dalam penelitian ini, mereka yang merasa berkuasa menunjukkan aktivitas otak yang lebih rendah di area yang terkait dengan empati (neuron cermin) dibandingkan dengan mereka yang merasa tak berdaya.
ADVERTISEMENT
Lalu, merujuk pada laman National College of Ireland, pada acara terbaru dalam seri NCI, In the Psychologist's Chair, ilmuwan, psikolog, dan penulis Profesor Ian Robertson menyatakan, "Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut."
Ian Robertson juga menyatakan kalau kekuasaan bisa mempengaruhi otak dengan cara yang serupa dengan kokain. Seperti kokain, kekuasaan bisa meningkatkan tingkat dopamin—neurotransmitter yang berhubungan dengan kenikmatan dan hadiah—dalam otak.
Menariknya, beliau menganjurkan institusi manusia, sistem, dan aturan yang dibuat untuk membatasi, mengawasi, dan pada akhirnya menahan kekuasaan karena melalui kekuasaan umat manusia mendominasi dan menghancurkan lingkungannya, konsepsi realitas dan kehidupan sesama manusia.
Begitulah studinya, kekuasaan memang candu, membuat orang ketagihan, bahkan menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan segala cara ala Niccolò Machiavelli dengan magnum opus-nya, Il Principe.
Ilustrasi kekuasaan. Foto: nuvolanevicata/Shutterstock
Kita bisa melihat realitas dalam dunia politik, orang berbondong-bondong ingin terjun ke dunia politik, meskipun sudah punya banyak harta. Bahkan, mereka rela saling "sikut-menyikut" demi mendapat kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Terkadang, kekuasaan, seperti halnya candu, bisa membuat orang lupa diri, memberikan perasaan euforia, otoritas, dan kontrol yang bisa membuat seseorang menjadi terobsesi.
Menurut Friedrich Nietzsche, kekuasaan sebagai ekspresi dari kehendak untuk berkuasa yang mendasar dari kehidupan manusia. Beliau percaya kalau setiap individu punya dorongan kuat untuk menguasai dan mempengaruhi dunia di sekitarnya.
Nietzsche juga menganggap kalau manusia sebagai subjek yang aktif dalam menciptakan nilai-nilai dan makna dalam hidupnya. Beliau menggambarkan manusia sebagai agen yang aktif dalam menciptakan nilai-nilai mereka sendiri.
Dalam perspektif Nietzsche, kehendak untuk berkuasa adalah sifat fundamental (dasar) manusia yang menginginkan kontrol atas kehidupan mereka, mengubah lingkungan, dan mengekspresikan kreativitas. Bahkan, dalam perspektif Thomas Hobbes, manusia dianggap sebagai makhluk yang egois.
ADVERTISEMENT
Mungkin kita pernah mendengar istilah “homo, homini, lupus.” Suatu istilah yang berarti manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya. Menurut filsuf Inggris, Thomas Hobbes, manusia pada hakikatnya itu egois dan kejam, jika mereka diberi kekuasaan yang cukup, manusia akan menguasai dan menindas satu sama lain.
Hobbes menyatakan kalau manusia punya dorongan untuk mencari kekuasaan dan keuntungan pribadi yang menyebabkan terjadinya konflik dan persaingan yang tidak berkesudahan. Untuk menghindari keadaan ini, Hobbes bilang kalau manusia mesti membentuk sebuah perjanjian sosial yang mana mereka menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada pemerintah atau otoritas yang berwenang.
Hal ini tujuannya untuk menciptakan ketertiban sosial dan mencegah terjadinya kekacauan. Pandangan Hobbes ini mencerminkan keyakinannya kalau manusia pada dasarnya bertindak egois, dan kekuasaan serta kepentingan diri menjadi faktor utama dalam interaksi sosial dan politik.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan memang bikin kecanduan, banyak pemimpin-pemimpin dunia yang menjadi nakhoda untuk negaranya selama bertahun-tahun. Hal ini menunjukkan adanya dorongan yang kuat untuk mengendalikan dan menguasai. Kekuasaan memberikan manfaat dan keistimewaan yang dapat memuaskan kebutuhan pribadi dan ego seseorang.
Ilustrasi kepemimpinan. Foto: eamesBot/Shutterstock
Pemimpin yang punya kekuasaan sering kali memperoleh pengakuan, pengaruh, dan kontrol atas sumber daya dan keputusan yang bisa memberikan kepuasan dan kebanggaan. Selain itu, kekuasaan memberikan rasa kendali dan kepastian dalam kehidupan. Pemimpin yang berkuasa merasa bahwa mereka memiliki kemampuan untuk membentuk arah dan hasil yang diinginkan.
Hal ini bisa menjadi sumber kepuasan yang besar dan mendorong pemimpin untuk terus mempertahankan dan memperluas kekuasaan mereka. Padahal kita tahu, di dalam Islam, sikap tamak alias rakus merupakan hal yang sangat dilarang.
ADVERTISEMENT
Nabi Muhammad saw bersabda,
Kemudian, Nabi Muhammad saw bersabda,
Menjadi seorang pemimpin yang berkuasa bukanlah sebagai ajang untuk memenuhi kepuasaan pribadi karena hakikatnya memimpin adalah menderita. Een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden. Jalan Kepemimpinan adalah jalan penderitaan, memimpin adalah menderita.
Jangan sampai kekuasaan membuat orang-orang tergelincir—seperti lupa daratan—pada sikap dan sifat yang bisa menjerumuskan pada hal-hal yang berdampak buruk bagi diri sendiri maupun orang lain. Kelak pun, setiap orang yang berkuasa atau memimpin akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat,