Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ketika Manusia Terobsesi dengan Kekuasaan
16 Juni 2023 6:34 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini sedang ramai berita mengenai revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang di dalamnya terselip usulan mengenai perluasan posisi untuk TNI aktif di jabatan-jabatan sipil, tentu hal ini berpotensi untuk kembali ke zaman Orde Baru, yaitu adanya dwifungsi ABRI.
ADVERTISEMENT
Baru kemarin saya tulis mengenai orang sipil yang main tentara-tentaraan, yang tulisannya mengkritisi sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa semimiliter sering memakan korban jiwa, sekarang malah ada isu mengenai tentara beneran yang ingin memperluas posisi di jabatan-jabatan sipil, alias main sipil-sipilan.
Warga Sipil Terobsesi Menjadi Tentara
Setelah menonton kontennya Ferry Irwandi, saya semakin bangga menyandang titel sebagai warga sipil. Warga sipil, punya hak istimewa, yang mana di dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949 telah diamanatkan untuk memberikan perlindungan berupa keselamatan—selama konflik dan perang.
Di dalam undang-undang pun, ditegaskan mengenai hak sipil, yang meliputi hak untuk hidup, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari penyiksaan, hak berpikir, hak bebas berpendapat dan berekspresi, hak untuk berserikat dan berkumpul, dan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa menjadi warga sipil merupakan sesuatu yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, banyak dari sebagian warga sipil yang lupa akan keistimewaannya tersebut. Banyak ditemukan kasus mengenai warga sipil yang menjadi tentara gadungan, ini tentu mencederai tentara sekaligus warga sipil. Kenapa kok terobsesi menjadi tentara sampe berani nekat memanipulasi identitas?
Kemudian, banyak organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bergaya ala tentara, mereka berdandan dari ujung kepala sampai ujung kaki kayak tentara, tapi kalau ini ada sejarahnya, cuy. Kalau kata sejarawan, ormas terobsesi berdandan ala tentara sudah ada sejak era penjajahan.
Jepang pada waktu itu membuat organisasi pemuda dan pelajar untuk baris-berbaris dan perang-perangan. Pemerintahan pada saat itu pun bercorak militer, sejak saat itu, hingga sekarang, banyak ormas yang padahal sipil, tapi berdandan ala tentara.
ADVERTISEMENT
Di dalam pemerintahan pun, tepatnya di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), di bawah komando Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto, seragam PNS-nya menyerupai tentara, bahkan dilengkapi juga dengan baret, pangkat, dan tongkat komando.
Selain itu, Presiden ke-1 Indonesia, Bung Karno, juga berpenampilan ala tentara karena terlihat berwibawa. Memang, jika berpenampilan seperti tentara terlihat gagah dan berwibawa, padahal penampilan sederhana pun akan terlihat istimewa jika dilihat oleh orang yang tepat.
Obsesi warga sipil terhadap kekuasaan atau perilaku yang mirip dengan tentara mungkin bisa disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
ADVERTISEMENT
Tentara Terobsesi menjadi Warga Sipil
Isu mengenai dwifungsi TNI kembali hadir santer terdengar di media sosial. Meskipun katanya kabar mengenai revisi UU mengenai TNI ini masih lama pembahasannya, tapi tentu hal ini merupakan sinyal kuat mengenai adanya perluasan posisi jabatan tentara di ranah sipil. Jika betul-betul terjadi, tentu ini merupakan kabar yang buruk untuk kita, warga sipil.
Jabatan sipil diisi oleh tentara aktif tentu merupakan hal yang sebetulnya keliru, lebih baik TNI fokus untuk menjalankan tugas utama, yakni menjaga kedaulatan dan keutuhan Indonesia. Warga sipil saja banyak yang memiliki kompetensi yang mumpuni, kenapa harus diisi oleh orang-orang yang bukan sipil? apa urgensinya?
Kami, para warga sipil masih mampu untuk mengisi posisi jabatan sipil, kok. Bahkan, saking banyaknya, sebagian dari kami belum mendapatkan pekerjaan, terus kalau misal tentara aktif boleh mengisi jabatan sipil, apakah kami sebagai warga sipil boleh mengisi jabatan-jabatan di tentara? pasti ditolak mentah-mentah, ‘kan (?) begitu pun dengan kami, menolak adanya jabatan sipil diduduki oleh tentara aktif. Maaf, ya, Pak/Bu tentara.
ADVERTISEMENT
Penting untuk digarisbawahi bahwa tidak semua tentara di Indonesia terobsesi untuk berkuasa di lingkup sipil. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan mengapa sebagian tentara di Indonesia mungkin memiliki kecenderungan tersebut:
ADVERTISEMENT
Fenomena di negara kita tercinta ini memang unik, tentara ingin “main” sipil-sipilan, dan sipil ingin “main” tentara-tentaraan, semoga kita tidak terjebak pada kisah asmara cinta-cintaan.
Manusia Terobsesi dengan Kekuasaan
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf abad ke-19, mengembangkan pemikiran yang kuat tentang kehendak berkuasa (will to power). Bagi Nietzsche, kehendak berkuasa adalah dorongan mendasar di dalam manusia yang mendorongnya untuk mencapai kekuatan, dominasi, dan pengaruh atas dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya.
Kehendak berkuasa sebagai kekuatan dasar, Nietzsche melihat kehendak berkuasa sebagai kekuatan yang mendasari semua perilaku manusia. Menurutnya, di balik segala tindakan manusia, ada dorongan untuk mencapai kekuasaan dan meraih dominasi. Kehendak berkuasa menjadi motif yang mendalam dan tak terelakkan dalam setiap individu.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pencapaian potensi individu bagi Nietzsche sebagai sarana untuk mengembangkan dan mencapai potensi penuh individu. Beliau percaya bahwa manusia mesti menghadapi tantangan dan mengatasi hambatan untuk mengungkapkan kemampuan terbaik mereka. Kehendak berkuasa menjadi kekuatan yang mendorong manusia untuk melampaui batasan dan mencapai keunggulan.
Kemudian, penolakan terhadap moralitas tradisional, bagi Nietzsche menentang pandangan moral tradisional yang menekankan penindasan kehendak berkuasa sebagai sesuatu yang negatif atau berbahaya. Baginya, moralitas yang mengekang kehendak berkuasa adalah bentuk penindasan terhadap kehidupan yang sejati. Nietzsche mengajukan gagasan tentang "moralitas tuan" dan "moralitas budak", di mana moralitas budak merendahkan dan menekan kehendak berkuasa sementara moralitas tuan memperjuangkan ekspresi kehendak berkuasa yang kuat.
Pencarian kekuasaan sebagai tujuan utama, Nietzsche memandang kehendak berkuasa sebagai tujuan tertinggi dalam kehidupan manusia. Baginya, keinginan untuk mencapai kekuasaan dan dominasi harus menjadi fokus utama eksistensi manusia. Menurutnya, individu yang mampu mengembangkan kekuatan diri dan mencapai puncak kehendak berkuasa adalah individu yang paling hidup dan berharga.
ADVERTISEMENT
Kemudian, kehendak berkuasa sebagai kreativitas, yang mana Nietzsche menghubungkan kehendak berkuasa dengan kreativitas dan penciptaan. Baginya, kekuatan kreatif individu akan mengalir melalui kehendak berkuasa, memungkinkan manusia untuk menciptakan nilai-nilai baru, mengubah budaya, dan membangun masa depan yang lebih baik.
Dalam evolusi manusia, individu yang mempunyai dorongan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan sering kali memiliki keuntungan dalam memperoleh sumber daya, melindungi diri, dan memastikan kelangsungan keturunan. Hierarki sosial dan kekuasaan dalam kelompok sosial prasejarah berperan penting dalam melindungi anggota kelompok, mengatur sumber daya, dan menjaga struktur yang efisien.
Faktor sosial pun berperan dalam pembentukan dorongan kekuasaan. Manusia adalah makhluk sosial yang kompleks, dan hierarki sosial dan pengaturan kekuasaan menjadi penting dalam masyarakat manusia. Kekuasaan sering dikaitkan dengan status, penghargaan, dan pengaruh sosial yang diinginkan oleh individu dalam masyarakat yang kompleks.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, manusia juga memiliki sifat-sifat sosial lain seperti kerja sama, empati, dan keinginan untuk membentuk hubungan yang harmonis. Insting memperebutkan kekuasaan tidak selalu mengarah pada perilaku negatif atau destruktif. Perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti nilai budaya, pendidikan, dan pengalaman individu.
Kesimpulannya, dorongan memperebutkan kekuasaan dianggap sebagai hal alami dalam evolusi manusia dan dinamika sosial. Namun, manusia memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengarahkan dorongan tersebut dengan cara yang konstruktif, berdasarkan nilai dan norma sosial yang diadopsi dalam masyarakat.