KKN di Negeri Sendiri

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
22 Maret 2023 19:23 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi KKN di Negeri Sendiri. Gambar diolah oleh Raihan M.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KKN di Negeri Sendiri. Gambar diolah oleh Raihan M.
ADVERTISEMENT
KKN yang dimaksud dalam tulisan ini bukan seperti pada judul film KKN di Desa Penari yang merupakan singkatan dari Kuliah Kerja Nyata (suatu bentuk kegiatan pengabdian mahasiswa kepada masyarakat), tetapi KKN dalam tulisan ini mempunyai makna negatif, yaitu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
ADVERTISEMENT
Korupsi berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara yang digunakan untuk keuntungan pribadi atau orang lain, Kolusi berarti kerja sama rahasia yang bertujuan tak mulia atau persekongkolan, serta Nepotisme yang memiliki arti tindakan yang cenderungan untuk mengutamakan sehingga menguntungkan kerabat sendiri, khususnya dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah, dan perilaku dengan praktik menunjuk kerabat atau sanak saudara sendiri untuk berkuasa atau menjabat.
Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di negeri kita bukan sesuatu yang baru ada ketika rezim Orde Baru berkuasa (1966—1998) saja, tetapi juga sudah ada sejak zaman kerajaan di Nusantara berdiri, hal ini juga diperkuat oleh Sejarawan Hendaru yang menyatakan bahwa jejak korupsi di negeri kita, Indonesia, juga bisa disaksikan ketika zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu, jumlah pajak desa yang mesti dibayar sudah digelembungkan oleh pejabat-pejabat lokal yang memungut pajak dari masyarakat yang masih buta aksara. Sehingga dapat diketahui bahwa KKN di negeri kita bukan lagi menjadi peristiwa yang mengherankan, tetapi sudah menjadi fakta yang populer.
Dari pernyataan di atas dapat kita ketahui bahwa KKN — khususnya korupsi — bisa dikatakan telah menjadi nilai sosial yang mendarah daging (internalized value) di negeri kita. Melihat hal ini, tidak mengherankan jika pascakemerdekaan negara Indonesia juga masih banyak ditemukan praktik-praktik haram bernama KKN. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme merupakan salah satu penyebab rusaknya sistem sosial budaya Indonesia.
Sosial budaya Indonesia menurut Zainal Muttaqin mempunyai makna sebagai totality value, social order, dan human behavior dari bangsa Indonesia yang mesti bisa mengimplementasikan sikap hidup dan falsafah negara Pancasila ke dalam segala sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. KKN tentu saja sangat bertolak belakang dengan sistem sosial budaya Indonesia, hal ini bisa menimbulkan berbagai macam masalah: kecemburuan sosial, ketimpangan sosial, serta dampak negatif lainnya. Tentu saja hal ini jika dibiarkan akan menjadi racun di negeri kita tercinta.
ADVERTISEMENT
Praktik-praktik KKN yang dilakukan oleh para pejabat bisa menimbulkan perubahan sosial, di negeri kita sudah pernah terjadi pada tahun 1998 yang dilakukan oleh para mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya ketika menuntut kepada pemerintah berupa beberapa tuntutan yang biasa dikenal dengan sebutan agenda reformasi 1998, salah satunya berisi tentang tuntutan untuk menghapus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Pada Mei 1998 para mahasiswa “memberontak” kepada rezim Orde Baru karena dinilai melakukan praktik KKN dan berkuasa secara otoriter, hingga akhirnya pada 21 Mei 1998 secara resmi rezim yang pada faktanya mempraktikkan KKN dan berkuasa secara otoriter tersebut runtuh, hal ini yang menjadi pemicu timbulnya pemberontakan yang merupakan faktor internal dari perubahan sosial.
ADVERTISEMENT
Setelah rezim Orde Baru runtuh, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sempat mengalami penurunan hingga pada akhirnya cenderung lebih sering mengalami kenaikan (lebih baik).
Runtuhnya Orde Baru ternyata tidak menghilangkan praktik-praktik KKN, buktinya masih banyak para pejabat (baik pejabat daerah maupun pejabat negara) yang ditangkap oleh kejaksaan maupun KPK karena melakukan KKN khususnya kasus korupsi — sehingga membuat negeri kita menjadi mengkhawatirkan — meskipun memang secara garis besar Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia lebih sering naik.
Akan tetapi, berdasarkan data Transparency International, pada tahun 2020 negara Indonesia cuma bertengger di posisi ke-102 dunia dengan skors 37, serta di tingkat ASEAN cuma mampu berada di posisi ke-5. Hal ini perlu ada pembenahan dari dalam bangsa Indonesia untuk ke depannya bisa menjadi lebih baik lagi dan terhindar dari praktik penyimpangan ini.
ADVERTISEMENT
KKN juga merupakan perilaku penyimpangan sosial, penyimpangan sosial berarti tindakan seseorang atau sekelompok orang yang menyimpang atau melanggar norma ataupun peraturan. Penyimpangan sosial terbagi menjadi dua: penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder.
Penyimpangan primer merupakan penyimpangan sosial yang tidak merugikan orang lain dan masih bisa ditolerir masyarakat. Sebaliknya, penyimpangan sekunder merupakan penyimpangan berat yang merugikan masyarakat dan tidak bisa ditolerir, sehingga harus ada hukuman tegas. KKN masuk ke dalam kategori penyimpangan sekunder karena perbuatan melenceng ini tak bisa ditoleransi dan membuat berbagai macam dampak negatif yang merugikan bangsa dan negara, sehingga harus diberi sanksi hukum yang jelas dan tegas.
Lalu, KKN juga bisa dikaitkan dengan teori struktural fungsional, teori ini mampu menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen bagian yang penting: khususnya norma, adat, tradisi dan institusi. Teori struktural fungsional juga menjelaskan bahwa masyarakat adalah sistem sosial yang terdiri dari beberapa bagian atau elemen-elemen yang memiliki tautan saling menyatu dalam keseimbangan.
ADVERTISEMENT
Menurut Parsons, terdapat empat imperatif fungsional yang harus ada pada semua sistem, yakni AGIL: adaptation (A) atau adaptasi; goal attainment (G) atau pencapaian tujuan; integration (I) atau integrasi; dan latency (L) atau latensi (sifat laten atau pemeliharaan pola). Berikut merupakan keterkaitan antara imperatif fungsional milik Parsons dengan praktik KKN di Indonesia:
Pertama, adaptation, banyaknya kasus KKN di Indonesia diimplementasikan oleh para oknum pejabat karena bisa menyesuaikan diri, banyaknya celah membuat para pelaku tidak jera dan mampu beradaptasi. Hal ini bisa terjadi karena lemahnya supremasi hukum, banyak kasus yang bukannya memberatkan tersangka, tetapi justru meringankan para pelaku.
Kedua, goal attainment, banyak dari para pelaku KKN yang tidak puas dengan harta dan jabatannya, sehingga menghalalkan berbagai macam cara — termasuk mempraktikkan KKN — tidak melihat apakah praktik yang dikerjakan melanggar hukum atau tidak, yang paling penting menurut mereka mendapatkan harta dan takhta.
ADVERTISEMENT
Ketiga, integration, menyatukan antara adaptasi dan tujuan menjadi satu, ditambah dengan niat yang sistematis dari integrasi tersebut, maka para pelaku KKN keberadaanya akan semakin kokoh.
Keempat, latency, praktik KKN akan semakin kuat jika ada latensi. Hal ini dikarenakan praktik KKN dipelihara dan dipertahankan eksistensinya. Dengan cara ini, cara-cara dalam melakukan KKN bisa semakin canggih seiring perkembangan zaman. Parsons berpandangan bahwa pemeliharaan pola inilah yang bikin KKN makin mengimplementasikan praktiknya.
Melihat keterkaitan antara teori milik Parsons dengan KKN di negeri sendiri, maka kita sebagai bangsa Indonesia perlu berbenah untuk memberantas praktik haram tersebut supaya tidak semakin menjamur serta berdampak terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus ada kerja sama antar seluruh elemen masyarakat agar KKN tidak menjadi marak, sehingga praktiknya harus dinihilkan atau dibumihanguskan.
ADVERTISEMENT
Dengan maraknya praktik KKN di negeri kita, maka perlu dipertanyakan apa yang sebetulnya terjadi dalam sistem sosial budaya Indonesia, sudahkah kita sebagai bangsa Indonesia mengimplementasikan tata sosial dan tata laku manusia sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berpandangan hidup serta mengamalkan nilai-nilai Pancasila ke dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara? Sudahkah para pejabat menerapkan guilt shame (budaya merasa malu) dan guilt culture (budaya merasa bersalah)?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan sekadar pertanyaan biasa, pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan cambukan untuk sebuah bangsa besar yang memiliki budaya beragam bernama Indonesia, sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut harus benar-benar diresapi, dihayati, dan dijadikan evaluasi demi terciptanya negeri kita yang terbebas dari praktik-praktik haram bernama KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
ADVERTISEMENT
Ini merupakan tanggung jawab kita bersama untuk menghentikan praktik-praktik KKN, perlu adanya sikap dan kesadaran dalam diri kita sebagai bangsa Indonesia supaya perilaku negatif ini tidak menjadi budaya — bukankah negeri kita dari Sabang sampai Merauke sudah memiliki banyak budaya (?) — yang bisa mengancam generasi-generasi selanjutnya. Perlu adanya tindakan pencegahan, penyelidikan, dan penanggulangan untuk bisa memberantas para pelaku. Lantas jika praktik KKN sudah menjadi budaya atau lumrah di negeri kita, apakah para maling-maling uang, kekuasaan, dan kewenangan bisa disebut sebagai budayawan?
Perilaku budayawan (dalam artian membudayakan praktik KKN) seperti ini perlu diberantas hingga ke akar-akarnya supaya tidak merugikan bangsa dan negara, jangan sampai sistem sosial budaya Indonesia menjadi buruk karena ulah para maling uang, kekuasaan, dan kewenangan. Sudah saatnya KKN di negeri sendiri dicegah, diminimalisasi, atau bahkan dimusnahkan supaya stabilitas nasional terjaga untuk Indonesia maju.
ADVERTISEMENT