Konten dari Pengguna

Literasi sebagai Senjata Kaum Kiri

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Direktur Eksekutif Amnesty UNNES
24 Oktober 2023 13:32 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi literasi. Foto: nuvolanevicata/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi literasi. Foto: nuvolanevicata/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Apa yang ada dalam pikiran masyarakat Indonesia ketika mendengar “kaum kiri”? Sebagian besar dari kita mungkin akan takut dan trauma karena adanya kejadian Gerakan 30 September (G30S), yang mana juga dilekatkan nama Partai Komunis Indonesia (PKI)—partai kiri—karena dicap sebagai dalang pada peristiwa kelam tersebut.
ADVERTISEMENT
Stigma negatif terhadap "kaum kiri" di Indonesia masih sangat kuat hingga saat ini, dan itu sebagian besar dipengaruhi oleh kenangan kelam Gerakan 30 September (G30S) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dianggap sebagai dalang dalam peristiwa tragis tersebut. Bagi banyak orang, kata "kiri" sering kali dihubungkan dengan konotasi negatif seperti pemberontakan, kekerasan, dan ancaman terhadap kestabilan negara.
Sejarah kelam pada masa lalu menjadi alasan mengapa pemerintah Indonesia sangat tegas dalam melarang segala hal yang berkaitan dengan komunisme dan paham Marxis-Leninis. Bahkan ada undang-undang yang mengatur larangan ini, seperti Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Undang-undang ini secara tegas mencabut legalitas PKI dan melarang segala bentuk kegiatan yang terkait dengan komunisme.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, perlu diingat bahwa dalam lingkup pendidikan dan akademik, ada ruang untuk memahami dan mempelajari konsep-konsep tersebut. Buku-buku dan materi pembelajaran yang berisi pengetahuan tentang paham "kiri" masih dapat digunakan untuk tujuan akademik, asalkan digunakan dengan bijak dan tidak merangsang tindakan yang melanggar hukum.
Meskipun ada larangan hukum terhadap komunisme, perjuangan literasi "kaum kiri" di Indonesia tetap berlangsung. Banyak individu dan kelompok masyarakat yang berusaha untuk memahami sejarah dan pemikiran ini, meskipun dalam kondisi yang mungkin sulit. Mereka berusaha memahami ideologi "kiri" sebagai sejarah penting bagi negara dan sebagai bahan pembelajaran yang dapat membantu masyarakat Indonesia lebih memahami peristiwa masa lalu.
Penting untuk mencari cara-cara yang aman dan legal untuk memahami sejarah politik Indonesia, termasuk sejarah "kaum kiri," sehingga kita dapat menghindari konflik dan kontroversi yang mungkin muncul akibat penggunaan yang tidak tepat dari materi ini. Kesadaran akan sejarah adalah langkah awal untuk menghindari pengulangan kesalahan masa lalu dan membangun masyarakat yang lebih toleran dan penuh pengertian terhadap pelbagai pandangan politik.
ADVERTISEMENT

Kaum Kiri, Aktivis Literasi

Ilustrasi aktivis literasi. Foto: nuvolanevicata/Shutterstock
Padahal, kaum-kaum kiri merupakan aktivis literasi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Gus Muh (panggilan akrab Muhiddin M. Dahlan). Salah satu orang Kiri, D.N. Aidit, yang merupakan tokoh kontroversial dalam sejarah Indonesia, terutama karena peranannya dalam PKI dan G30S. Namun, selain kontroversinya dalam politik, Aidit juga memiliki dampak signifikan dalam bidang literasi dan pendidikan.
Aidit memahami kekuatan literasi dan pendidikan sebagai alat untuk menyebarkan ideologi dan pengaruh politik. Di bawah pimpinannya, PKI mengadopsi pendekatan literasi yang inklusif, mengedepankan akses ke buku dan koran di tingkat desa, serta menciptakan komisi penerjemahan yang memungkinkan akses ke pemikiran internasional. Program-program ini bertujuan untuk mencerdaskan kader dan rakyat Indonesia, membantu mereka memahami pandangan dunia komunis dan mendukung revolusi.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, Aidit mengambil langkah yang cermat dalam memastikan bahwa partainya memiliki basis yang cerdas dan terinformasi. Ide-idenya tentang literasi dan pendidikan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik adalah suatu bentuk "internasionalisme intelektual" yang ingin menghubungkan rakyat di desa dengan pemikiran dunia yang jauh. Sebagian besar dari ini dilakukan melalui upaya pemahaman literatur dan buku.
Selain itu, Aidit juga dikenal sebagai pemimpin yang tidak mudah didekati dan memiliki karakteristik yang tegas. Meskipun banyak yang mengingatnya sebagai "jahat" atau dingin, ada sisi-sisi lain dari kepemimpinannya yang dapat dihargai, terutama dalam upayanya untuk mendidik kader dan rakyatnya.
Pengakuan penting dalam sejarah Aidit adalah peningkatan tingkat melek huruf di Indonesia, yang diyakini oleh Soekarno sebagai hasil dari program literasi yang diadopsi oleh PKI di bawah kepemimpinan Aidit. Momen perayaan "Hari Buku Nasional" pada tanggal 21 Mei yang diajukan oleh PKI juga merupakan salah satu contoh bagaimana Aidit dan partainya telah memberikan kontribusi positif dalam upaya peningkatan literasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain Aidit, ada juga sosok Kiri bernama Tan Malaka. Tan Malaka dijuluki sebagai Bapak Republik Indonesia. Tan Malaka, seorang tokoh berpengaruh dalam sejarah pergerakan kiri Indonesia, dikenal sebagai revolusioner dan pegiat literasi yang gigih. Beliau juga mendirikan sekolah rakyat, dan menganggap literasi sebagai alat penting untuk memberdayakan rakyat. Selain itu, Tan Malaka adalah seorang penulis produktif yang membahas berbagai isu sosial, ekonomi, dan politik, mendorong masyarakat untuk berpikir kritis.
Dalam sejarahnya, PKI—partai kiri—memiliki perhatian besar dalam bidang pendidikan dan riset. Berbagai upaya, seperti gerakan pemberantasan buta huruf, riset turba ke desa, dan pendirian lembaga pendidikan adalah bagian dari strategi PKI untuk meningkatkan kesadaran literasi di kalangan rakyat. Ini bertujuan agar rakyat dapat memahami dan mengatasi masalah yang mereka hadapi, serta agar mereka lebih terlibat dalam perjuangan sosial dan politik.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1957, Partai Komunis Indonesia (PKI) menginisiasi kampanye pemberantasan buta huruf (PBH) sebagai bagian dari upaya mereka untuk meningkatkan melek huruf di Indonesia. PBH menyasar kedua kader partai dan masyarakat umum.
Dalam kampanye PBH, PKI membentuk kelompok-kelompok yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang bertindak sebagai guru atau tutor baca-tulis. Proses pembelajaran ini tidak hanya berfokus pada membaca dan menulis, melainkan juga memasukkan unsur pendidikan politik. Konsep ini mirip dengan pendekatan yang diterapkan dalam kampanye pemberantasan buta huruf di Kuba, di mana literasi digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan ideologi dan pengaruh politik.
Peserta kampanye PBH diharapkan mampu membaca dan menulis setelah dua bulan menjalani pendidikan baca-tulis. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan literasi dan sekaligus pemahaman politik peserta terhadap pandangan dunia komunis.
ADVERTISEMENT
Firman (2018) dalam tulisannya menyatakan bahwa Barisan Tani Indonesia (BTI), yang berafiliasi dengan PKI, bertanggung jawab atas pelaksanaan kampanye PBH ini. Kampanye ini dilaksanakan selama musim panen, saat warga desa sedang aktif dalam semangat gotong royong.
Selain itu, PKI juga mendirikan berbagai lembaga pendidikan seperti Universitas Rakjat (Unra), Mimbar Pengetahuan Rakyat (Mipera) yang setara dengan SMA, Balai Pengetahuan Rakyat (Bapera) setingkat SMP, dan Panti Pengetahuan Rakjat (Panpera) setara dengan SD. Semua inisiatif ini merupakan bagian dari upaya PKI untuk meningkatkan literasi dan pendidikan masyarakat, sekaligus mempersiapkan mereka untuk berpartisipasi dalam perjuangan sosial dan politik sesuai dengan pandangan politik partai tersebut.
Program-program pendidikan dan riset yang diperjuangkan oleh PKI bertujuan untuk memberdayakan rakyat dan mengajarkan mereka pemikiran Marxis serta pemahaman tentang struktur sosial dan ekonomi. Dengan demikian, PKI berusaha mempersiapkan rakyat untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial dan politik yang diinginkan partai tersebut.
ADVERTISEMENT
Upaya ini juga mencerminkan komitmen PKI terhadap pendidikan dan pemahaman sebagai alat penting dalam memperjuangkan tujuan sosialis dan komunisnya. Selain itu, PKI juga melihat pendidikan sebagai cara untuk memerangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial yang ada dalam masyarakat.
Dengan cara ini, PKI, terlepas dari kontroversinya dalam sejarah politik Indonesia, telah meninggalkan warisan yang melibatkan perjuangan literasi dan pendidikan di negara ini. Upaya-upaya ini tidak cuma memberikan akses pengetahuan kepada rakyat, tetapi juga memungkinkan mereka untuk lebih memahami pandangan dunia yang diusung oleh PKI, seperti ideologi sosialis dan komunis.
Dengan mengedepankan literasi dan pendidikan, PKI bertujuan untuk mencerdaskan rakyat Indonesia, membantu mereka mengatasi masalah sosial dan ekonomi, serta mendukung perubahan sosial yang diinginkan. Terlepas dari kontroversi politik dan pandangan ideologis, peran PKI dalam meningkatkan literasi dan pendidikan di Indonesia merupakan salah satu aspek penting dalam sejarah pergerakan kiri di negara ini.
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan literasi selalu menjadi instrumen yang kuat dalam perjuangan sosial dan politik, terlepas dari konteks politiknya. Selain Aidit dan Tan Malaka, banyak tokoh kiri lainnya juga berperan dalam upaya pendidikan dan literasi di Indonesia, mencerminkan peran penting kelompok kiri dalam perkembangan intelektual masyarakat.

Belajar dari Kuba

Bendera Kuba. Foto: Sabino Parente/Shutterstock
Kuba, sebagai negara komunis, juga memperjuangkan literasi dengan giat. Di bawah pemerintahan Fidel Castro, Kuba meluncurkan kampanye melek huruf yang sangat sukses dan memenangkan pengakuan internasional atas prestasinya dalam mengurangi tingkat buta huruf. Kampanye ini adalah bagian dari upaya Kuba untuk menciptakan masyarakat yang melek huruf dan teredukasi sebagai bagian dari visi sosialis mereka.
Pada tahun 1953, saat Fidel Castro dan kawan-kawan merebut kekuasaan dari rezim Batista, tingkat buta huruf di Kuba sangat tinggi, terutama di kalangan anak-anak dari lapisan masyarakat yang kurang mampu. Untuk mengatasi masalah ini, Fidel Castro memulai kampanye literasi yang dikenal dengan "Perang Melawan Buta Huruf." Tujuannya adalah mengurangi tingkat buta huruf dan meningkatkan literasi di seluruh negeri.
ADVERTISEMENT
Selama kampanye ini, ribuan guru pengajar baca-tulis dasar dilibatkan dan mereka datang dari berbagai latar belakang. Pemerintah menyediakan bahan ajar dan perlengkapan kepada para guru relawan ini, yang kemudian dikirim ke desa-desa di seluruh Kuba. Setiap peserta kampanye mendapatkan buku panduan baca-tulis dan perlengkapan lainnya.
Kampanye ini tidak hanya bertujuan mengajarkan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup pendidikan politik, sehingga peserta mendapatkan pemahaman tentang visi sosialis Kuba dan dukungan mereka terhadap revolusi.
Hasil dari kampanye ini sangat mencengangkan. Dalam waktu kurang dari satu tahun, pemerintah Kuba berhasil mengurangi tingkat buta huruf nasional dari 76 persen menjadi kurang dari empat persen. UNESCO mengakui prestasi Kuba dalam pengentasan buta huruf dan menyatakan Kuba sebagai negara yang bebas buta huruf pada tahun 1964.
ADVERTISEMENT
Selain kampanye "Perang Melawan Buta Huruf", Kuba juga menggratiskan pendidikan di semua level dan menerapkan sistem pendidikan inklusif. Semua langkah ini mencerminkan komitmen Kuba sebagai negara komunis terhadap pendidikan dan literasi sebagai alat penting dalam menciptakan masyarakat yang melek huruf dan teredukasi sesuai dengan prinsip-prinsip sosialis mereka.

Kesimpulan

Gambar buku-buku. Foto: fornStudio/Shutterstcok
Literasi telah menjadi senjata penting bagi kaum kiri di berbagai negara, termasuk di Indonesia dan Kuba. Sejarah menunjukkan bagaimana partai-partai kiri, seperti PKI di Indonesia dan pemerintahan sosialis Kuba, menggunakan literasi sebagai alat untuk menyebarkan ideologi, mengurangi tingkat buta huruf, dan mempersiapkan rakyat untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial dan politik.
Meskipun ada stigma negatif terhadap "kaum kiri" di beberapa negara, upaya mereka dalam meningkatkan literasi dan pendidikan telah memberikan dampak yang signifikan dalam mencerdaskan masyarakat. PKI di Indonesia dan Fidel Castro di Kuba masing-masing menjalankan kampanye pemberantasan buta huruf yang berhasil mengurangi tingkat buta huruf dan meningkatkan literasi di negara mereka.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, PBH PKI menyasar kader partai dan masyarakat umum, sedangkan di Kuba, kampanye "Perang Melawan Buta Huruf" melibatkan ribuan guru pengajar baca-tulis.
Pada akhirnya, keduanya mencapai pengakuan internasional atas pencapaian mereka dalam meningkatkan melek huruf. Sejarah juga mencatat peran penting tokoh-tokoh Kiri, seperti D.N. Aidit, Tan Malaka, dan Fidel Castro dalam mendorong pendidikan dan literasi. Mereka memahami bahwa literasi adalah alat penting dalam mencapai tujuan politik mereka.
Program-program literasi dan pendidikan yang mereka dukung bertujuan untuk mencerdaskan rakyat, memberdayakan mereka, dan memungkinkan mereka untuk memahami pandangan dunia yang diusung oleh partai-partai kiri.
Sementara ada larangan hukum terhadap komunisme di beberapa negara, termasuk Indonesia, dalam lingkup pendidikan dan akademik, masih ada ruang untuk mempelajari dan memahami konsep-konsep "kaum kiri." Kesadaran akan sejarah politik dan peran literasi dalam perjuangan sosial dan politik adalah langkah awal dalam membangun masyarakat yang lebih toleran dan penuh pengertian terhadap pelbagai pandangan politik.
ADVERTISEMENT
Dalam rangka melawan stigma negatif yang melekat pada "kaum kiri", penting untuk memahami bahwa literasi adalah alat kuat untuk memajukan masyarakat dan mempersiapkan mereka untuk berpartisipasi dalam perubahan yang mereka anggap penting. Jadi, masyarakat Indonesia sudah semestinya mengambil hal-hal positif dari kaum Kiri, dan membuang hal-hal negatifnya.