Konten dari Pengguna

Meneropong Indonesia dalam Bingkai Demokrasi Deliberatif

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Direktur Eksekutif Amnesty UNNES
11 Juni 2023 5:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi demokrasi. Foto: VectorMine/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi demokrasi. Foto: VectorMine/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi, hal ini diisyaratkan di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
ADVERTISEMENT
Kemudian, Indonesia sebagai negara demokrasi juga bisa kita lihat pada Pasal 6A UUD NRI 1945 yang mengatur mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, Pasal 18 Ayat (3) dan (4) UUD NRI 1945 yang mengatur mengenai pemilihan DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Penegasan terkait demokrasi pun bisa kita lihat pada Pasal 19 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur mengenai pemilihan umum (pemilu) anggota DPR, Pasal 22C Ayat (1) pemilu untuk anggota DPD. Bahkan, di dalam UUD NRI 1945 BAB VIIB tentang Pemilihan Umum mengisyaratkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut asas demokrasi.
Ilustrasi demokrasi. Foto: create jobs 51/Shutterstock
Demokrasi secara sederhana bisa kita pinjam dari pernyataan Presiden ke-16 Amerika Serikat, Abraham Lincoln, yakni sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Indonesia sebagai negara demokrasi juga sering didengung-dengungkan oleh banyak orang, terutama oleh politisi. Namun, jika kita membaca sejarah, sebetulnya demokrasi mendapat banyak kritikan.
ADVERTISEMENT
Pada zaman dulu, demokrasi mendapat kritikan dari para filsuf, salah satunya adalah Socrates. Beliau menyoroti mengenai bagaimana keputusan politik dibuat berdasarkan suara mayoritas. Socrates yakin kalau kebanyakan orang tidak memiliki pengetahuan atau pemahaman yang memadai untuk membuat keputusan yang bijaksana dalam masalah politik.
Socrates punya kekhawatiran terkait dengan sifat kerumunan dan mobilitas sosial dalam sistem demokrasi. Beliau mengamati bahwa demokrasi bisa memunculkan pertempuran konflik kepentingan di antara pelbagai kelompok sosial dan bisa mengarah pada pertarungan kekuasaan antara elite politik.
Selain Socrates, ada juga Plato. Di dalam karyanya The Republic, Plato menyatakan bahwa demokrasi pun berpotensi menjadi tirani mayoritas politik. Menurut beliau, kelompok mayoritas politik yang kuat bisa menjadi tidak responsif terhadap aspirasi publik. Plato memandang bahwa kekuasaan tirani bisa muncul dalam demokrasi, baik melalui kekuasaan individu maupun kekuasaan kolektif.
ADVERTISEMENT
Kemudian, demokrasi dalam perspektif seorang ilmuwan politik asal Amerika Serikat, Joseph Alois Schumpeter, memandang bahwa demokrasi sebagai suatu sistem yang lebih terfokus pada kompetisi politik daripada pada partisipasi massal.
Menurut Schumpeter, demokrasi merupakan suatu proses yang melibatkan kompetisi politik di antara para elite politik. Beliau berpendapat bahwa demokrasi sebetulnya adalah "pencalonan dan seleksi pemimpin politik melalui pemilihan umum" atau bisa juga disederhanakan menjadi “demokrasi merupakan pemerintahan oleh para politikus.”
.Ilustrasi pemilihan umum. Foto: Damar Aji/Shutterstock
Dalam pandangan beliau, rakyat punya peran yang lebih pasif dalam demokrasi karena mereka hanya memiliki hak untuk memilih para pemimpin mereka dan tidak terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan politik. Schumpeter berpendapat bahwa dalam masyarakat modern yang kompleks, partisipasi massal dalam pengambilan keputusan politik tidak praktis.
ADVERTISEMENT
Beliau pun menganggap bahwa partisipasi massa hanya sebagai ilusi demokrasi, dan keputusan politik yang penting seharusnya diambil oleh para ahli dan elite politik yang terlatih. Para elit ini bersaing satu sama lain dalam proses pemilihan umum, dan yang terpilih menjadi pemimpin politik yang berkuasa.
Jika kita tarik dengan melihat sistem demokrasi Indonesia saat ini, menurut sejumlah ahli, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, demokrasi Indonesia terus merosot dari full-blown democracy menjadi demokrasi semu dengan kian banyak kerusakan.
Full-blown democracy merupakan istilah yang menggambarkan demokrasi yang sudah berkembang sepenuhnya. Dalam full-blown democracy, prinsip-prinsip demokrasi, kayak partisipasi politik yang luas, perlindungan hak asasi manusia (HAM), kebebasan berpendapat dan pers, pemilu yang bebas dan adil, serta pengendalian kekuasaan publik, semuanya tercapai.
ADVERTISEMENT
Pada full-blown democracy, rakyat punya hak dan kebebasan yang luas dalam mengambil keputusan politik. Masyarakat memiliki akses yang adil terhadap informasi dan kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam proses politik serta mempengaruhi kebijakan publik. Namun sayangnya, demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir harus terdegradasi.
Kita juga bisa melihat realitas demokrasi di Indonesia pada saat ini, terjadi kemerosotan yang membuat resah masyarakat. Oleh karena itu, penting jika memperbaiki sistem demokrasi kita menjadi lebih baik. Mungkin, demokrasi deliberatif bisa menjadi solusi atas terdegradasinya demokrasi di Indonesia pada saat ini.
Ilustrasi partisipasi publik. Foto: Yanalya/Freepik
Adanya istilah deliberatif pada demokrasi merupakan penegasan bahwa ada pendekatan yang berbeda dalam melihat demokrasi, yakni dengan mengupayakan peningkatan kualitas demokrasi saat ini, khususnya berkaitan dengan partisipasi publik.
ADVERTISEMENT
Deliberatif berasal dari bahasa Latin, yakni deliberatio yang berarti konsultasi, musyawarah, dan menimbang-nimbang. Istilah demokrasi deliberatif diperkenalkan oleh J.M. Bessette, serta yang berjasa dalam mengembangkan demokrasi ini adalah Jürgen Habermas.
Secara sederhana, demokrasi deliberatif diartikan sebagai suatu konsep dalam teori politik yang menekankan pentingnya diskusi, refleksi, dan pertimbangan yang mendalam ketika pengambilan keputusan politik. Demokrasi deliberatif merupakan ragam demokrasi yang menjadikan deliberasi sebagai elemen utama dalam proses pengambilan keputusan.
Demokrasi deliberatif menurut Jürgen Habermas adalah suatu konsep yang mengedepankan komunikasi rasional dan diskusi publik yang bebas sebagai landasan bagi pengambilan keputusan politik yang demokratis. Menurut beliau, demokrasi deliberatif membutuhkan adanya ruang publik yang terbuka, inklusif, dan bebas untuk diskusi dan perdebatan antara warga negara.
ADVERTISEMENT
Dalam ruang publik ini, individu-individu dengan berbagai pandangan, kepentingan, dan latar belakang dapat bertemu dan secara rasional membahas isu-isu politik yang relevan. Diskusi ini bertujuan untuk mencapai kesepahaman bersama dan menemukan solusi yang terbaik untuk kepentingan publik. Habermas pun menekankan pentingnya prinsip kesetaraan dalam demokrasi deliberatif.
Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam diskusi dan memiliki kebebasan untuk menyampaikan argumen-argumen mereka. Dalam konteks demokrasi deliberatif, keputusan politik yang dihasilkan harus didasarkan pada kekuatan rasional argumen, bukan dominasi kekuasaan atau kepentingan kelompok tertentu.
Ilustrasi parpol di Indonesia. Foto: Yunus Nugraha/Shutterstock
Demokrasi deliberatif menurut Habermas juga menghubungkan erat dengan konsep demos yang merupakan komunitas inklusif dari warga negara yang berkomunikasi dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Melalui diskusi publik yang berkualitas dan inklusif, demos dapat membentuk opini publik yang berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan politik dan mempengaruhi tindakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dalam demokrasi deliberatif, tujuan utamanya adalah mencapai persetujuan rasional dan inklusif yang melayani kepentingan umum dan memperkuat legitimasi keputusan politik. Namun, penting untuk dicatat bahwa demokrasi deliberatif juga menjadi subjek perdebatan dan tantangan praktis dalam implementasinya.
Dalam demokrasi deliberatif, proses pengambilan keputusan didasarkan pada diskursus yang terbuka dan adil antara warga negara yang memiliki beragam pandangan dan kepentingan. Konsep demokrasi deliberatif mengajukan bahwa keputusan politik yang lebih baik dapat dicapai melalui dialog yang rasional dan inklusif, yang semua pihak yang terlibat memiliki kesempatan untuk berbicara, mendengar, dan memberikan argumen-argumen yang berlandaskan informasi dan pemikiran yang cermat.
Diskursus ini bertujuan untuk mencapai pemahaman bersama, mencari konsensus, dan mempertimbangkan kepentingan publik secara menyeluruh. Dalam demokrasi deliberatif, partisipasi aktif dan responsif dari masyarakat sangat penting.
ADVERTISEMENT
Warga negara didorong untuk terlibat dalam forum publik, pertemuan masyarakat, atau panel diskusi yang melibatkan pemikiran kritis, mendengarkan pandangan yang berbeda, dan mencoba memahami sudut pandang yang beragam. Prinsip inklusivitas dan kesetaraan dalam akses terhadap diskusi dan pengambilan keputusan juga ditekankan dalam demokrasi deliberatif. Tujuan akhir demokrasi deliberatif adalah mencapai keputusan yang lebih baik secara kualitas, lebih akuntabel, dan lebih mewakili kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Demokrasi deliberatif secara teoritis bisa diterapkan di Indonesia, seperti halnya di negara-negara lain. Konsep demokrasi deliberatif, yang menekankan pada partisipasi publik, diskusi rasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan argumentasi yang baik, dapat menjadi landasan untuk memperkuat sistem demokrasi di Indonesia.
Akan tetapi, implementasi demokrasi deliberatif di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, beberapa langkah telah diambil di Indonesia untuk meningkatkan partisipasi publik dan mendorong demokrasi deliberatif. Misalnya, penggunaan mekanisme partisipatif seperti musyawarah desa, forum publik, dan panel warga telah diadopsi dalam beberapa konteks.
Selain itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi partisipasi publik yang lebih luas dan inklusif. Penting untuk diingat bahwa implementasi demokrasi deliberatif bukanlah suatu proses instan, tetapi membutuhkan perubahan budaya politik dan komitmen yang kuat dari pemerintah dan masyarakat.
Ilustrasi kerja sama. Foto: Fresh Stocks/Shutterstock
Memperkuat partisipasi publik, meningkatkan akses terhadap informasi, mendukung lembaga, dan mekanisme yang memfasilitasi diskusi publik yang berkualitas, dan membangun kesadaran politik yang lebih baik adalah langkah-langkah penting dalam mendorong demokrasi deliberatif di Indonesia.
Kita ketahui bersama, masyarakat sering merasa tidak percaya terhadap wakil rakyat dalam proses pembentukan undang-undang. Oleh karena itu, mereka sering memilih jalur lain, seperti melakukan aksi demonstrasi di depan gedung MPR/DPR, untuk mengekspresikan aspirasi mereka dan menolak kebijakan tertentu.
ADVERTISEMENT
Meskipun DPR sebetulnya menyediakan jalur, seperti rapat dengar pendapat umum atau pertemuan tertentu, masyarakat lebih memilih jalur-jalur tersebut, terutama melalui lembaga swadaya masyarakat, tetapi cara ini terkadang dianggap tidak efektif dibandingkan dengan cara-cara konvensional.
Sebagaimana yang ditulis oleh Liza Farihah dan Della Sri Wahyuni, hal tersebut disebabkan karena media yang dipakai sebagai sarana komunikasi antara wakil rakyat dan konstituennya sering tidak memberikan jawaban atas tuntutan mereka, karena keputusan tetap berada di tangan wakil rakyat tersebut.
Liza Farihah dan Della Sri Wahyuni juga menyoroti bahwa kita juga tidak dapat mengabaikan fakta bahwa masyarakat memiliki keterbatasan dalam memahami makna partisipasi dan aspirasi. Terkadang, kunjungan kerja wakil rakyat saat masa reses dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk meminta bantuan material untuk pembangunan daerah setempat, daripada berdiskusi atau berdialog tentang isu-isu publik yang akan dijadikan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Dalam pembentukan opini publik, prosesnya juga tidak netral, melainkan sering dibentuk atau bahkan dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Penerapan demokrasi deliberatif mungkin cuma sebuah angan-angan belaka. Ruang publik sesuai perspektif Habermas belum ditemukan di Indonesia karena sistem keterwakilan yang merupakan ciri demokrasi perwakilan dianggap sebagai keterwakilan yang palsu, karena tidak ada posisi tawar yang seimbang antara konstituen dan wakil rakyat.
Gedung MPR/DPR RI. Foto: Bimo Pradsmadji/Shutterstock
Hal ini menyulitkan terbentuknya ruang publik dalam sistem keterwakilan seperti itu. Ruang publik tidak hanya terjadi melalui forum-forum seperti rapat dengar, diskusi publik, atau rumah aspirasi saat masa reses.
Kemudian, menurut Guru Besar Filsafat pada Universitas Pelita Harapan, Jakarta, Fransisco Budi Hardiman, konsep demokrasi deliberatif sebetulnya sudah ada di Indonesia melalui sistem politik yang demokratis dengan penerapan trias politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
ADVERTISEMENT
Menurut beliau, prinsip dasar demokrasi deliberatif sangat sederhana, cuma perlu menambahkan ruang publik, dan bisa dilakukan dengan: (1) Memperkuat praktik-praktik yang sudah ada, (2) meningkatkan jumlah institusi demokratis dan menghilangkan hambatan-hambatan komunikasi dalam sistem politik, dan (3) meningkatkan jumlah institusi intermediasi yang memperkuat masyarakat sipil untuk melindungi kekuatan masyarakat sipil dan media.
Hardiman menyatakan bahwa semua hal tersebut sudah ada di Indonesia, cuma perlu diperkuat secara radikal, bahkan melalui amandemen konstitusi yang memastikan distribusi yang adil dari hak-hak komunikasi publik.
Adapun kesimpulan dari beliau, yakni demokrasi deliberatif masih belum cocok untuk Indonesia. Namun, beliau menyatakan bahwa Indonesia sedang berupaya mendekatinya, meskipun masih ada tuntutan yang berlebihan.
Hardiman pun menyarankan supaya Indonesia mendekati demokrasi deliberatif dengan cara meningkatkan jumlah praktik deliberasi publik dalam masyarakat, mengintegrasikan pemilihan umum untuk legislasi, dan mengadopsi legislasi publik yang mendukung deliberasi publik.
ADVERTISEMENT
Referensi
Farihah, L. dan Wahyuni, D.S. (2015). Demokrasi Deliberatif dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Penerapan dan Tantangan ke Depan. LeIP.
Hardiman, F.B. (2018). Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. (Jakarta: Kanisius).
Muthhar, M.A. (2016). MEMBACA DEMOKRASI DELIBERATIF JURGEN HABERMAS DALAM DINAMIKA POLITIK INDONESIA. Ushuluna, 2 (2).
Rastati, R. (2020). Konsep Model Demokrasi Deliberatif Untuk Indonesia. BRIN.