Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Meneropong Urgensi Polri di Bawah Kementerian
8 Maret 2023 6:18 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Isu mengenai kebijakan Kepolisian Republik Indonesia (atau biasa disingkat Polri) di bawah naungan kementerian ataupun lembaga bukan merupakan hal baru.
ADVERTISEMENT
Kurangnya kualitas institusi Polri yang dibuktikan dengan maraknya kasus-kasus yang dilakukan oleh anggota Polri ini menimbulkan stigma negatif. Selain itu, isu ini muncul guna mendapatkan formula bagi institusi Polri yang efektif dalam menjalankan wewenangnya di lingkungan masyarakat.
Isu ini seru untuk dibahas dan diulik lebih dalam karena jika kita melihat pelbagai negara di dunia juga menerapkan sistem kepolisian tidak di bawah presiden secara langsung, melainkan di bawah naungan kementerian ataupun lembaga negara. Mengenai urgensi dari perubahan konsep yang radikal ini juga mendapat perhatian dari masyarakat, baik di dunia nyata maupun media sosial.
Pro dan Kontra
Isu mengenai Polri di bawah naungan kementerian menimbulkan polemik bagi masyarakat–baik di dunia nyata maupun di media sosial. Isu ini merupakan diskursus menarik karena juga menimbulkan pro dan kontra pandangan di kalangan para ahli ataupun pengamat yang bisa menghasilkan perspektif-perspektif baru sehingga bisa juga menambah wawasan bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Salah satu pihak yang setuju apabila Polri di bawah kementerian adalah Agus Widjojo—ketika itu menjabat sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)—yang menjelaskan bahwa Polri cocok diletakkan di bawah kementerian, tepatnya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Dewan Keamanan Nasional. Tidak hanya Agus Widjojo, banyak juga kalangan yang sepakat dengan wacana Polri di bawah kementerian.
Kendati demikian, terdapat juga ahli yang kontra terhadap wacana Polri di bawah naungan kementerian yang sudah ditegaskan di dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 8 ayat (1), yang menyatakan bahwa, “Kepolisian Republik Indonesia berada di bawah presiden.” serta pada pasal (2) dinyatakan bahwa Polri dipimpin oleh Kepala Polri (Kapolri) yang dalam bertugas bertanggung jawab kepada presiden sesuai dengan peraturan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Konsep Polri di Bawah Kementerian
Di dalam artikelnya, Harry Anwar (2015) menyatakan bahwa secara umum terdapat tiga paradigma kepolisian di negara-negara demokratis: centralized system of policing ‘sistem kepolisian terpusat’, fragmented system of policing ‘sistem kepolisian terpisah’, dan integrated system of policing ‘sistem kepolisian terpadu’. Yang mana Indonesia menerapkan paradigma sistem kepolisian terpusat–yang dulunya sistem ini juga digunakan oleh Nazi.
Konsep kepolisian di bawah kementerian bukan merupakan sesuatu yang baru, di negara lain, misalnya Prancis yang juga menerapkan sistem kepolisian terpusat, kepolisiannya di bawah naungan kementerian, yakni Police National di bawah Kementerian Dalam Negeri dan Gendarmerie di bawah Kementerian Pertahanan–jika di Indonesia, Gendarmerie semacam Brigade Mobil (Brimob).
Kemudian, jika melihat negara Amerika Serikat (AS), dilansir dari Britannica, sistem kepolisian AS mungkin paling terdesentralisasi di dunia. Sesuai dengan struktur federal pemerintah AS, pemerintah federal tak punya wewenang untuk melakukan kekuasaan kepolisian umum oleh Konstitusi AS. Kekuasaan yang bertujuan untuk membentuk kepolisian diberikan kepada masing-masing 50 negara bagian AS.
ADVERTISEMENT
Di AS, kepolisiannya terdiri atas Kepolisian Negara Bagian (State Police), Kepolisian Kota Besar (Municipal Police), Kepolisian Wilayah (Sheriff), dan Kepolisian Tugas Khusus (Specialist Police). Setiap negara bagian di AS memiliki hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, serta kepolisian negara bagian di AS bertanggung jawab kepada kepala daerah–bukan kepada Presiden.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan yang ada di Indonesia, yang mana Polri di bawah satu komando, yakni Kapolri yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara berbentuk kesatuan, yang berdasarkan amanat UUD NRI 1945, kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, banyak pihak–termasuk penulis–yang menilai bahwa institusi Polri overpower, yang mana kontrolnya ada pada presiden. Kemudian, juga banyak ditemukan kasus penyelewengan ataupun penyalahgunaan jabatan, bisnis ilegal, dan lain-lain, ditambah lagi dengan budget yang tinggi membuat Polri rentan melakukan hal-hal negatif. Sikap institusi Polri (yang dianggap) overpower tanpa akuntabilitas yang jelas ini, maka perlu adanya konsep pengurangan kewenangan, yakni Polri di bawah kementerian.
Adapun konsep yang bisa diterapkan apabila Polri di bawah kekuasaan kementerian, yakni Polri yang mengurusi administrasi dan pelayanan bisa di bawah Kementerian Dalam Negeri, Polri yang mengurusi kasus kriminal bisa di bawah Kementerian Hukum dan HAM, Polri yang mengurusi laut dan perairan bisa di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Polri yang mengurusi lingkungan hidup dan hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Polri yang mengurusi lalu lintas bisa di bawah Kementerian Perhubungan, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Selain itu, bisa juga dikonsepkan seluruh divisi Polri di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri untuk bisa memudahkan koordinasi (kerja sama) dengan kepala daerah, sehingga sistem keamanan di lingkungan masyarakat bisa jauh lebih efektif–yang juga bisa memudahkan masyarakat. Secara konsep, nantinya juga perlu dibentuk pemisahan antara kepolisian pada tingkat daerah dan juga nasional.
Adanya konsep tersebut bertujuan supaya Polri tidak overpower yang juga akan merugikan negara. Maka, konsepnya ialah Polri tidak di bawah Presiden, melainkan di bawah naungan kementerian (atau bisa juga lembaga). Anton Tabah (2015) menyatakan bahwa jika Polri di bawah presiden tak ada yang mengontrol, arogan, serta bersifat superbodi. Maka adanya konsep ini perlu dikaji lebih dalam secara komprehensif dan terukur supaya kebijakan yang dihasilkan mampu membuat keamanan negara lebih baik. Selain itu, juga perlu memperhatikan urgensi adanya pembentukan konsep Polri di bawah naungan kementerian ataupun lembaga negara.
ADVERTISEMENT
Urgensi Polri di Bawah Kementerian
Terkait konsep Polri di bawah kementerian bukan tanpa rintangan, apabila kebijakan yang diambil tidak tepat, maka Polri (kemungkinan besar) akan menjadi alat politik dan bisa terlibat dalam politik praktis yang justru merugikan masyarakat umum. Apalagi jika kementerian-kementerian yang nantinya membawahi Polri adalah orang-orang politik, maka nantinya (kemungkinan besar) akan ada kepentingan politik.
Melihat kondisi politik saat ini yang kurang stabil, maka untuk saat ini, penulis berpandangan bahwa belum ada urgensi jika Polri di bawah naungan kementerian, tetapi konsep dan gagasan mengenai hal ini juga perlu dikaji dengan baik untuk langkah ke depannya, serta bisa mewujudkan Polri yang mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum dengan baik. Kemudian, juga perlu adanya langkah alternatif supaya Polri tidak overpower–yang sering menyalahgunakan kewenangannya.
ADVERTISEMENT
Banyaknya kasus yang dilakukan oleh anggota Polri juga penting mendapat perhatian masyarakat sehingga perlu adanya pembenahan melalui reformasi Polri untuk meningkatkan kualitas, integritas, dan kepercayaan publik terhadap institusi ini. Maraknya budaya korupsi di dalam institusi ini membuat tingkat anjloknya tingkat kepercayaan publik. Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), pada Oktober 2022 lalu, tingkat kepercayaan publik terhadap institusi Polri adalah 53%.
Reformasi di tubuh Polri perlu dilakukan secara menyeluruh, khususnya dalam empat bidang utama yang menjadi timbulnya budaya korupsi polisi, seperti yang dinyatakan oleh Hubert Williams (2002), yakni pertama, perekrutan, pelatihan, dan promosi; kedua, sumber daya, seperti gaji dan peralatan; ketiga, sistem akuntabilitas dalam departemen, pengadilan dan hukum; dan keempat, tradisi budaya yang menghambat pengembangan standar profesional polisi.
ADVERTISEMENT
Crank (2000) menyebut bahwa korupsi polisi timbul diakibatkan oleh budaya polisi yang merangkul dan melindungi petugas bahkan saat mereka dengan sengaja membunuh orang yang tak bersalah. Budaya polisi merupakan hasil dari persahabatan kelompok yang menghubungkan orang-orang yang terus-menerus menghadapi dunia jalanan yang berbahaya dan ambigu secara moral.
Maka dari itu, diperlukan juga akuntabilitas yang jelas dalam institusi ini, kontrol sosial dari masyarakat diperlukan supaya Polri tidak ugal-ugalan dan bertindak secara overpower. Terkait urgensi mengenai Polri di bawah kementerian ataupun lembaga sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat untuk bisa menilai, dan perlu adanya penelitian dan kajian yang komprehensif dan terukur supaya kebijakan yang diambil betul-betul efektif.
Biar bagaimanapun, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi perlu dilibatkan dalam setiap keputusan yang diambil untuk kepentingan publik. Partisipasi publik sangat perlu dalam setiap kebijakan. Oleh karena itu, terkait wacana perubahan terhadap konsep institusi Polri ini perlu dilakukan dengan menyelaraskan kepentingan nasional dengan melibatkan banyak pihak, yakni para ahli, rakyat, dan juga pemerintah, supaya menghasilkan rumusan kebijakan yang efektif dan bermanfaat.
ADVERTISEMENT