Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Menggugat Gerakan Mahasiswa pada Era Sekarang
18 Mei 2023 18:59 WIB
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Begitulah teriakkan para mahasiswa—ditambah dengan mengangkat tangan kiri sebagai simbol perlawanan—dengan semangat revolusi yang berapi-api, baik ketika rapat organisasi, berdiskusi, maupun aksi demonstrasi. Mahasiswa, sebuah privilese yang tidak bisa dimiliki oleh semua orang. Titel mahasiswa agaknya menjadi barang mewah yang melingkar di pundak para generasi penerus bangsa yang senantiasa mengejar cita dan asa ini.
ADVERTISEMENT
Saat ini, saya pun masih bertitel sebagai mahasiswa, dan juga sering ikut dalam kegiatan aksi demonstrasi—di depan gedung DPR, Istana Presiden, dan sebagainya—serta aktif dalam beberapa organisasi kampus. Namun, saya punya uneg-uneg dan keresahan mengenai gerakan mahasiswa ini, yang mana memang seharusnya gerakan mahasiswa pun perlu dikritisi.
Saya memproklamasikan diri sebagai manusia merdeka—mirip seperti Soe Hok Gie, mahasiswa kritis yang mendayung di antara dua rezim berbeda: rezim Sukarno dan Soeharto—sehingga bisa bebas merdeka melantangkan keresahan ke dalam tulisan ini, supaya bisa didengar oleh para mahasiswa di seluruh Indonesia.
Gerakan mahasiswa dan angan-angan masa lampau
Karena gerakan mahasiswa, rezim Sukarno dan Soeharto berhasil terkoyak-koyak, yang pada akhirnya runtuh, sehingga menciptakan reformasi hingga saat ini. Akan tetapi, dengan tumbangnya rezim "otoriter" tersebut sistem tatanan kehidupan berbangsa dan negara hari ini lebih baik dibanding zaman sebelum reformasi (?) bahkan, Prof. Mahfud MD menyebut zaman sekarang korupsinya lebih parah dibanding sebelum reformasi, kok.
ADVERTISEMENT
Sejarah pun mencatat, Soe Hok Gie—seorang aktivis mahasiswa Angkatan ‘66—dan kawan-kawan ditipu dan dikhianati oleh rekan seperjuangan yang sering melakukan aksi demonstrasi kepada pemerintah, yang klimaksnya hegemoni “tangan besi” Presiden Sukarno runtuh dikoyak-koyak gerakan mahasiswa, dan akhirnya tercipta rezim Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto. Hipokrit atau kemunafikan mahasiswa sudah santer terjadi sejak dulu, sikap oportunis sekaligus pragmatis menciptakan dilematis sehingga sejumlah mahasiswa rela mengorbankan idealismenya ketika berorasi dan menuntut kepada pemerintah.
Mahasiswa yang nyaring mengoyak-ngoyak pemerintah Sukarno, kemudian pada masa pergantian rezim masuk pemerintahan dan membebek kepada pemerintah Soeharto. Begitu pun dengan mahasiswa yang mengoyak-ngoyak pemerintahan Soeharto, saat memasuki reformasi, banyak yang membebek kepada penguasa.
Menumbangkan penguasa lewat gerakan mahasiswa memang pernah terjadi di negeri ini, tetapi jangan lupa, kemunafikan juga turut mengiringinya. Siklus mengenai “dulu pendemo, sekarang didemo” sepertinya memang betul-betul terjadi, ya?
ADVERTISEMENT
Terpecah belahnya aliansi mahasiswa
Sejak ospek kuliah, kami, para mahasiswa dicekoki mengenai peran mahasiswa: agent of change, moral force, guardian of value, iron stock, dan social control. Ditambah dengan jargon-jargon lainnya, serta didoktrin untuk selalu setia kawan dan bersatu dengan satu angkatan. Namun, seiring berjalannya waktu, saya semakin tahu mengenai dinamika perpolitikan mahasiswa.
Di kalangan mahasiswa, terdapat aliansi mahasiswa, baik dalam tingkat lokal, regional, maupun nasional. Dalam lingkup nasional, aliansi mahasiswa menjadi wadah untuk para mahasiswa nasional—yang terdiri dari pelbagai perguruan tinggi—dengan tujuan untuk menyatukan suara dan upaya memperjuangkan kepentingan mahasiswa dan masyarakat dalam mengadvokasi, mengawal, dan menyuarakan isu-isu penting.
Akan tetapi, sangat disayangkan karena di dalam aliansi mahasiswa pun terpecah belah menjadi beberapa kelompok aliansi, yang mana tujuan dan kepentingannya masing-masing berbeda, bahkan terkadang kepentingannya saling berlawanan. Adanya aliansi mahasiswa ditujukkan untuk menyatukan suara supaya aspirasi didengar penguasa, tetapi di kalangan mahasiswa terjadi perpecahan gerakan, mungkin para pejabat pun tertawa melihat tingkah para mahasiswa ini.
ADVERTISEMENT
Mimpi mahasiswa ingin bergerak mengadvokasi isu-isu penting dari masyarakat, seperti buruh, petani, dan lainnya, tetapi di dalam tubuh aliansi mahasiswa terpecah belah. Baik memang, tetapi masalah sepele semacam ini saja masing-masing dari mereka punya ego yang tinggi. Hipokrit bukan?
Sifat egois dan sikap eksklusif juga sering kali menerpa kalangan para mahasiswa, sehingga timbul perpecahan yang diakibatkan oleh adanya kepentingan-kepentingan tertentu, seperti ingin kekuasan, dan sebagainya. Hal demikian serupa dengan partai-partai politik yang masing-masing memiliki ideologi dan kepentingan yang berbeda-beda. Fenomena semacam ini juga dipertegas dengan diproklamasikannya partai mahasiswa, yakni Partai Mahasiswa Indonesia.
Hal yang demikian merupakan wujud keegoisan (sejumlah) mahasiswa, sering menuntut kepada penguasa untuk jangan semena-mena dan mesti memperhatikan rakyat supaya sejahtera serta nantinya bersatu, tetapi di dalam mahasiswa terdapat sifat egois dan sikap eksklusif yang hanya mementingkan dirinya ataupun kelompoknya sehingga menciptakan mahasiswa-mahasiswa yang oportunis dan pragmatis.
ADVERTISEMENT
Aksi demonstrasi sebagai ultimum remedium
Terkadang, sebagian mahasiswa melakukan aksi demonstrasi tidak paham substansi, tak heran kalau penguasa menuding gerakan mahasiswa ditunggangi atau ditumpangi oleh pihak-pihak tertentu. Mahasiswa, sebagai agen yang turut mengawasi jalannya demokrasi di Indonesia, sebaiknya paham substansi yang diperjuangkan ketika melakukan aksi demonstrasi.
Meskipun aksi demonstrasi masih relevan, nampaknya ini bukan cara satu-satunya untuk dilakukan. Di dalam hukum pidana terdapat istilah yang terkenal, yakni ultimum remedium. Dalam penerapannya, aksi demonstrasi bisa digunakan sebagai senjata pamungkas alias ultimum remedium ini.
Pada era digital, nampaknya gerakan mahasiswa pun mulai kreatif dan inovatif dengan memanfaatkan teknologi, seperti media sosial. Penguasa pun mungkin ketar-ketir kalau netizen mahasiswa bersuara di medsos, 'kan?
ADVERTISEMENT
Gerakan mahasiswa kayak aksi demonstrasi bukan tidak perlu, di dalam teorinya David Easton mengenai sistem politik yang dipelajari oleh mahasiswa-mahasiswa FISIP, demonstrasi merupakan salah satu cara yang juga berpengaruh dalam menekan kebijakan pemerintah supaya nggak ugal-ugalan.
Akan tetapi, kembali lagi, sebelum melakukan senjata pamungkas lewat aksi demonstrasi, para mahasiswa bisa melakukan cara-cara lain, misalnya aksi simbolik cuci almamater di depan gedung rektorat. Kalau misalkan cara-cara preventif tersebut tidak diindahkan, baru sikat pakai aksi demonstrasi, ultimum remedium.
Sejatinya, para mahasiswa juga perlu dikritisi supaya nantinya tidak hanya menjadi pelacur-pelacur intelektual, serta mahasiswa pragmatis dan oportunis yang membebek pada kekuasaan yang menyimpang dari kebenaran. Seharusnya pun, mengangkat tangan kiri sebagai simbol perlawanan harus dibarengi dengan rangkulan tangan kanan kepada sesama sebagai simbol persatuan dan persaudaraan.
ADVERTISEMENT
Hidup mahasiswa!
Hidup rakyat Indonesia!