Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Menyoal Penetapan Tersangka Mahasiswa dalam Aksi Hari Buruh di Semarang
6 Mei 2025 14:56 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Penetapan enam mahasiswa sebagai tersangka dalam aksi Hari Buruh Internasional di Semarang mencerminkan watak koersif negara ketika menghadapi ekspresi politik rakyat yang taksejalan dengan wacana resmi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Dalam paradigma kritis, hukum tidak dipahami sebagai instrumen netral, melainkan sebagai alat legitimasi dominasi kelas penguasa terhadap kelompok rentan—dalam hal ini, mahasiswa dan buruh.
Mahasiswa yang ditangkap bukan sedang melakukan tindak pidana dalam pengertian hukum positif yang murni, melainkan sedang menabrak batas simbolik yang selama ini dijaga oleh negara: siapa yang berhak bicara, dan bagaimana cara bicara yang dianggap “beradab” di ruang publik.
Gramsci berpandangan bahwa negara tidak hanya bekerja melalui represi (polisi dan militer), tetapi juga melalui hegemoni, yakni membentuk kesadaran kolektif agar tunduk pada narasi dominan—termasuk membatasi cara-cara beroposisi.
Fakta bahwa mereka “diseret” dengan pasal 214 dan 170 KUHP menunjukkan bahwa aparat lebih memilih pendekatan kriminalisasi ketimbang dialog. Pasal-pasal tersebut bersifat lentur dan multitafsir, sering dipakai bukan untuk menindak kekerasan dalam arti sebenarnya, tetapi untuk meredam ketegangan sosial yang mencuat dari ketidakadilan struktural.
ADVERTISEMENT
Inilah wajah hukum yang disebut oleh, kritikus hukum, Roberto Unger sebagai "formalisme represif": tampak sah secara prosedural, tetapi timpang secara substantif.
Kebebasan berekspresi dan berkumpul bukan hanya hak individu, melainkan sarana penting dalam perjuangan sosial. Jika negara membatasi hak ini dengan dalih keamanan, maka negara tengah memposisikan diri sebagai benteng status quo.
Teori hukum kritis ala Foucault mengajarkan bahwa aparat tidak sekadar menindak pelanggaran, tetapi sekaligus memproduksi subjek: siapa yang disebut "perusuh", "anarko", atau "baik-baik". Dalam logika ini, enam mahasiswa sedang dipaksa menjadi simbol gangguan atas ketertiban imajiner.
Sejatinya, negara sedang menjalankan apa yang disebut Foucault sebagai produksi kebenaran versi rezim: bahwa keamanan dan ketertiban hanya bisa dicapai dengan meredam suara-suara alternatif. Padahal, dalam masyarakat yang sehat secara demokratis, ekspresi perlawanan justru menjadi penanda keberfungsian ruang publik.
ADVERTISEMENT
Ketika negara memaksa narasi tunggal—bahwa siapa pun yang melawan dianggap pengganggu—di situlah hukum berubah menjadi instrumen delegitimasi terhadap oposisi.
Penahanan terhadap para mahasiswa ini pun menunjukkan asimetri kuasa yang tajam antara negara dan warga. Polisi sebagai bagian dari apparatus represif tidak hanya bertindak sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai aktor politik yang membentuk batas-batas ekspresi yang “diterima” oleh negara.
Maka, ketika mereka melakukan kekerasan, intimidasi, atau penahanan, itu bukan semata “penganiayaan” versi KUHP, tetapi bentuk nyata dari kekerasan negara (state violence), yang dibungkus dalam legalitas prosedural.
Kita harus jujur melihat bahwa yang terjadi bukan sekadar penegakan hukum, tetapi pelanggengan ketimpangan. Dalam hal ini, hukum bukan sekadar norma tertulis, melainkan relasi kuasa yang dijaga dan direproduksi oleh aparat melalui kriminalisasi. Ketika hukum lebih cepat bergerak terhadap pengunjuk rasa daripada terhadap pelaku korupsi atau pelanggar HAM, kita harus bertanya: hukum untuk siapa?
ADVERTISEMENT
Howard Zinn dalam Disobedience and Democracy mengingatkan bahwa kepatuhan terhadap hukum bukan selalu tindakan bermoral. Ketidakpatuhan sipil (civil disobedience) justru bisa menjadi bentuk keberanian etis dalam menghadapi ketidakadilan yang dilembagakan. Salah satu mitos yang dibongkar adalah anggapan bahwa “hukum selalu harus ditaati demi ketertiban.”
Padahal, ketika hukum dipakai untuk mempertahankan ketimpangan dan membungkam kritik, ketaatan justru menjadi bentuk kolusi terhadap penindasan. Sejatinya, yang dilakukan para mahasiswa dalam aksi Hari Buruh bukan pelanggaran atas demokrasi, melainkan ekspresi sah untuk menagih janji keadilan yang dijamin Konstitusi.
Zinn pun menyoroti kecenderungan negara menyamakan ketertiban dengan keheningan. Dalam masyarakat yang timpang, keheningan bukanlah damai, tetapi tanda bahwa suara telah dipaksa diam.
Maka, saat negara lebih mementingkan “order” daripada “justice”, yang sedang dijaga bukanlah ketertiban yang adil, melainkan struktur kuasa yang menindas. Demonstrasi menjadi penting justru karena membuka ruang koreksi terhadap kekuasaan—dan ketidakpatuhan, dalam hal ini, adalah tanda demokrasi yang hidup.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan kekerasan dalam bentuk apa pun—baik oleh masyarakat maupun aparat negara. Setiap tindakan kekerasan yang mengancam keselamatan dan martabat manusia harus ditolak, termasuk dalam hal aksi massa.
ADVERTISEMENT
Justru karena itu, penegakan hukum harus dijalankan secara adil dan proporsional, bukan digunakan sebagai alat pembungkaman terhadap ekspresi politik. Kekerasan, siapa pun pelakunya, tidak boleh dilegitimasi atas nama ketertiban.
Ironisnya, kekerasan dalam aksi Hari Buruh di Semarang pun menimpa mereka yang menjalankan fungsi demokratis: jurnalis. Jurnalis Tempo, Jamal Abdun Nashr, mengalami pemukulan saat merekam tindakan aparat terhadap demonstran, meski telah menunjukkan identitas pers.
Kekerasan terhadap jurnalis adalah pelanggaran terhadap kebebasan pers dan hak publik untuk tahu. Jika suara mahasiswa dibungkam dan mata pers dipukul, maka demokrasi sedang dalam ancaman serius. Yang dilindungi bukan hukum, tetapi impunitas.
Pun, stigmatisasi aparat terhadap label “anarko” mencerminkan pembacaan yang sempit dan berbahaya terhadap ekspresi politik warga. Pakaian hitam, grup diskusi, atau istilah “anarko” dijadikan dalih untuk membenarkan tindakan represif, tanpa pemahaman yang kritis terhadap keragaman ide dan sejarah gerakan sosial.
ADVERTISEMENT
Padahal, tidak semua yang diasosiasikan dengan anarkisme identik dengan kekerasan; banyak yang justru menolak dominasi dan memperjuangkan keadilan sosial secara egaliter.
Dalam hal ini, label semacam itu lebih berfungsi sebagai alat delegitimasi dan pembungkaman, bukan sebagai dasar hukum yang sah. Ketika negara memilih cap daripada dialog, maka yang ditegakkan bukan keadilan, melainkan ketakutan terhadap resistensi.
Karena itu, seruan untuk membebaskan enam mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka bukan sekadar tuntutan moral, melainkan sebuah ajakan untuk meninjau kembali relasi antara negara, hukum, dan warganya.
Ini bukan tentang membela “pelanggaran” hukum, tetapi membela hak untuk bersuara, berekspresi, dan berorganisasi tanpa takut dikriminalisasi. Dalam masyarakat demokratis, tugas negara bukan mengatur bagaimana warga menyuarakan keresahan, melainkan menjamin agar suara itu bisa muncul tanpa intimidasi dan pembalasan.
ADVERTISEMENT
Jika hukum terus digunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi politik, jika aparat dibiarkan memukul mahasiswa, warga, jurnalis, dan yang lainnya tanpa pertanggungjawaban, dan jika stigmatisasi menjadi praktik rutin dalam menangani perbedaan pandangan, maka yang terancam bukan hanya enam mahasiswa—melainkan hak kita semua untuk bersuara.
Demokrasi tidak dibangun di atas keseragaman dan ketakutan, tetapi atas dasar perbedaan, kritik, dan partisipasi yang dijamin. Menolak kriminalisasi ini adalah bagian dari membela masa depan kebebasan sipil di negeri ini. A luta continua!