Konten dari Pengguna

Politik Indonesia di Bawah Bayang-Bayang Bohirkrasi

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Direktur Eksekutif Amnesty UNNES
24 Juni 2023 12:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bohirkrasi. Foto: Beagle/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bohirkrasi. Foto: Beagle/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kita memasuki tahun politik, banyak istilah-istilah dalam politik yang berseliweran, salah satunya adalah bohir. Bohir merupakan pemilik modal atau pemilik proyek. Istilah ini berasal dari bahasa Belanda, yakni bouwen "membangun" dan heer "tuan". Jika digabungkan menjadi bouwheer yang berarti pemilik modal, pemilik proyek, atau kontraktor.
ADVERTISEMENT
Dalam politik, bohir biasanya dimaknai sebagai kata negatif, yakni sebagai rentenir politik yang memberikan modal berupa uang sementara (meminjamkan uang) kepada para calon yang ingin bertarung dalam hajatan pemilu.
Kita tahu, ongkos politik di Indonesia sangat mahal. Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ongkos politik calon wali kota atau bupati rata-rata mencapai Rp20 miliar hingga Rp30 miliar. Sementara, gubernur dan wakilnya membutuhkan ongkos sebesar Rp100 miliar.
Kemudian, ongkos politik yang mesti dikeluarkan bagi setiap calon presiden dan wakilnya di Indonesia setidaknya mesti menyiapkan modal minimal Rp5 triliun hingga Rp7 triliun. Tentu dengan besarnya ongkos yang mesti dikeluarkan oleh para calon pejabat, maka uang memiliki peranan penting dalam dunia politik Indonesia.
Ilustrasi mahalnya ongkos politik. Foto: photostock360/Shutterstock
Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, hampir 92 persen calon kepala daerah yang ada di seluruh Indonesia didukung secara finansial oleh pemilik modal—ini bisa kita maknai sebagai bohir. Sementara, menurut KPK, sekitar 82 persen calon kepala daerah dibiayai oleh sponsor.
ADVERTISEMENT
Mahalnya ongkos politik membuat para calon nakhoda di Indonesia yang mau bertarung dalam hajatan pemilu mesti mencari dana atau sponsor dari luar, ini peluang bohir untuk masuk memberikan atau meminjamkan modal berupa uang yang digunakan sebagai ongkos politik.
Mahalnya ongkos politik ini sering kali membuat para politisi dan partai politik (parpol) mencari dukungan finansial dari pihak-pihak yang memiliki modal besar, seperti pengusaha atau bohir. Dalam beberapa kasus, ini bisa menciptakan hubungan simbiosis yang mana politisi mendapatkan dukungan finansial yang mereka butuhkan untuk kampanye dan operasi politik mereka, sementara para pemilik modal mendapatkan akses ke kebijakan dan pengambilan keputusan politik.
Akan tetapi, ada risiko serius terkait dengan fenomena ini. Pertama, ini bisa mengarah pada korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, apabila politisi memberikan kebijakan atau keuntungan khusus kepada para pemilik modal sebagai balasan atas dukungan finansial mereka. Kedua, ini bisa mengarah pada ketidaksetaraan politik, yang mana kepentingan bohir yang lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat biasa.
ADVERTISEMENT
Adanya sistem bohirkrasi tentu sangat berbahaya bagi demokrasi di Indonesia, kompetensi dan kualitas mau tidak mau akan terkikis, sehingga kalah dengan kuantitas uang yang dipunyai oleh para pemodal. Perpolitikan Indonesia bisa jadi akan digerogoti oleh makhluk-makhluk gentayangan bernama bohir dengan segudang (penyakit) uangnya.
Memang, menjelang hajatan pemilu para bohir bergentayangan membayangi perpolitikan Indonesia. Para politisi yang membutuhkan modal besar untuk memenuhi syahwat politiknya mau tidak mau, suka tidak suka, tetap membutuhkan mereka demi meraih ambisinya berkuasa. Yang ditakutkan adalah jika para politisi yang sudah mendapat jabatan, lebih mementingkan bohir dibandingkan konstituen, yakni rakyat.
Sejatinya, yang berpesta dalam sistem bohirkrasi adalah para bohir bukan seluruh rakyat, pemerintah dengan dalih investasi mengobral janji palsu dengan memberikan ruang-ruang subur kepada mereka-mereka untuk bisa memanfaatkan alias mengeksploitasi segala sumber daya demi melancarkan kepentingannya. Betapa buruknya sistem bohirkrasi yang terjadi di negeri ini.
Ilustrasi pelbagai upaya untuk mengatasi bohirkrasi. Foto: SWKStock/Shutterstock
Maraknya bohir tentu bisa berimplikasi pada sistem perpolitikan Indonesia, korupsi bisa terjadi di kalangan pejabat demi memuaskan syahwat politik mereka. Lagi dan lagi rakyat yang (selalu) menjadi korbannya, hal ini tentu harus dicegah dengan pelbagai upaya, supaya negara kita bisa sehat dari penyakit kronis bernama korupsi, yang salah satunya diakibatkan oleh bohirkrasi.
ADVERTISEMENT
Kemudian, untuk mengobati penyakit kronis bernama bohirkrasi dan biaya politik yang tinggi, perlu adanya strategi yang menyeluruh dan sering kali melibatkan revisi hukum dan transformasi budaya politik.
Beberapa taktik yang bisa dipertimbangkan adalah regulasi pendanaan politik, negara (dalam hal ini pemerintah) bisa merancang undang-undang yang membatasi jumlah dana yang bisa disumbangkan ke kampanye politik dan partai. Langkah ini bisa mencegah individu atau entitas bisnis yang kaya mendominasi politik.
Wajib melakukan transparansi dalam keuangan pada parpol dan kandidat untuk mengungkap sumber dana mereka bisa membantu mencegah korupsi dan memastikan masyarakat mengetahui siapa yang mendanai politisi mereka.
Pendanaan publik untuk kampanye juga bisa dipikirkan matang-matang, beberapa negara menyediakan dana negara untuk parpol atau kandidat guna mendukung kampanye mereka. Ini bisa mengurangi ketergantungan politisi pada donasi pribadi dan perusahaan. Pemerintah mesti memikirkan mengenai anggaran yang dipakai untuk mencegah terjadinya campur tangan antara kandidat dan bohir.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pendidikan politik dan kesadaran masyarakat juga diperlukan. Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang isu ini dan mendidik pemilih tentang pentingnya integritas politik bisa membantu mendorong perubahan dari dasar masyarakat. Tak kalah penting, penegakan hukum juga mesti tegas dan merumuskan kebijakan yang efektif.
Meskipun secara realitas sulit untuk memberantas sistem bohirkrasi, hal ini merupakan langkah awal, dan menjadi salah satu upaya yang mesti dipikirkan oleh para pemangku kebijakan untuk bisa membuat iklim politik yang sehat pada masa kini, dan yang akan datang, supaya anak dan cucu kita bisa menikmati sistem politik yang berintegritas.
Ilustrasi bohir yang merugikan rakyat. Foto: nuvolanevicata/Shutterstock
Para ahli juga menyebut bahwa yang akan menguasai bangsa kita tercinta adalah mereka yang mampu dan bisa memodali seseorang untuk bisa berkuasa, ini yang bisa kita sebut sebagai bohir, sehingga menciptakan bohirkrasi.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif sosiologi politik, fenomena bohir bisa dipandang sebagai contoh dari bagaimana kekuasaan dan kekayaan saling mempengaruhi dalam masyarakat. Ini juga bisa kita lihat sebagai contoh dari bagaimana struktur ekonomi dan politik masyarakat bisa mempengaruhi satu sama lain, saling memberikan simbiosis mutualisme alias saling menguntungkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Tentu, sistem pemerintahan yang kita anut dan selalu digaung-gaungkan adalah demokrasi, yakni sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, yang harus dijaga dan dirawat sebagai upaya untuk mencegah dari sistem bohirkrasi, yakni sistem pemerintahan dari bohir, oleh bohir, dan untuk bohir, yang bisa merusak sistem politik Indonesia.