Konten dari Pengguna

Politik Indonesia di Bawah Bayang-Bayang Demagog

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Direktur Eksekutif Amnesty UNNES
16 Juni 2023 6:37 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi demagogi. Foto: aga7ta/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi demagogi. Foto: aga7ta/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam demokrasi, kekuasaan politik diberikan kepada rakyat, dan dijalankan melalui mekanisme yang melibatkan partisipasi warga negara—kalau di Indonesia kita menerapkan pemilihan umum (pemilu).
ADVERTISEMENT
Rakyat merupakan pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi di Indonesia, sehingga banyak dari para calon nakhoda negeri ini yang berbondong-bondong menarik simpati masyarakat supaya mendapatkan mayoritas suara.
Tak jarang, para calon nakhoda negeri kita tercinta menggunakan pelbagai upaya, termasuk penggunaan demagogi dan politik pencitraan.
Aktor yang menerapkan demagogi disebut demagog. Demagog berasal bahasa Yunani, demos yang berarti rakyat dan agógos yang berarti pemimpin atau penghasut.
Demagogi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai penghasutan terhadap orang banyak dengan kata-kata yang dusta untuk membangkitkan emosi rakyat.
Dalam sejarahnya, sebetulnya demagogi bermakna positif, yakni seorang pemimpin yang dianggap punya keterampilan orasi atau berpidato dengan baik, tetapi sayangnya terjadi degradasi makna yang mengubahnya menjadi kata yang dikaitkan dengan sesuatu negatif, hal ini bisa kita lihat pada definisi demagogi menurut KBBI, seperti penjelasan di atas.
ADVERTISEMENT
Di dalam Define Business Terms, demagogi diartikan sebagai taktik atau tindakan politik yang ditujukan untuk mendapatkan suara dengan menarik perasaan dan emosi pemilih melalui janji atau skenario realisme yang meragukan.
Seorang demagog juga sering dianggap sebagai aktor politik atau orator yang memakai retorika atau manipulasi emosional untuk memperoleh kekuasaan serta pengaruh politik, sering kali tanpa memperhatikan kebenaran, logika, atau konsekuensi jangka panjang.
Ilustrasi demagog. Foto: Nicoleta Ionescu/Shutterstock
Kemudian, demagogis cenderung mengandalkan argumen yang sederhana, populis, atau emosional untuk menarik perhatian dan dukungan massa. Mereka sering berbicara dengan gaya yang memicu emosi, seperti ketakutan, kemarahan, atau kebencian, serta mengidentifikasi musuh atau pihak lain sebagai target.
Tujuannya adalah untuk memanfaatkan ketidaktahuan, kecemasan, atau ketidakpuasan rakyat guna mendapatkan dukungan politik dan memperkuat kekuasaan mereka sendiri. Pendekatan demagogi cenderung mengabaikan diskusi rasional, dialog yang bermakna, atau pertimbangan objektif dalam pengambilan keputusan politik.
ADVERTISEMENT
Seorang filsuf, Aristoteles, menganggap demagogi sebagai bentuk pemerintahan yang berasal dari degradasi dan korupsi demokrasi. Sedangkan Max Weber, seorang sosiolog modern, menganggap bahwa demagogi merupakan lazim dan melekat di negara demokrasi—hal ini juga bisa kita lihat dengan yang terjadi di Indonesia.
Dewasa ini, kita bisa melihat dinamika politik Indonesia, para politikus seolah menunjukkan diri sebagai demagog. Di negeri ini, seperti tidak ada etika dalam berpolitik: elite-elite parpol seolah melanggengkan demagogi demi kekuasaan, mereka memanipulasi emosi rakyat supaya bersimpati.
Kita bisa lihat bersama, para demagog memainkan perannya ketika kampanye politik, retorika publik, ataupun strategi politik lainnya. Di dalam politik Indonesia, demagogi bisa mengambil pelbagai bentuk, seperti memakai retorika yang memprovokasi emosi, janji-janji populis yang tidak realistis, penyebaran berita palsu atau informasi yang tidak akurat, serta memanfaatkan isu-isu identitas atau perpecahan sosial untuk mendapatkan dukungan politik.
ADVERTISEMENT
Praktik demagogis dalam politik ini bisa berimplikasi negatif pada proses demokrasi dan stabilitas politik. Hal ini bahkan bisa menciptakan polarisasi politik yang bersifat negatif, mempengaruhi pemilu dengan kampanye yang kurang berkualitas, serta merusak kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga politik.
Jika kita melihat sejarah, ada salah satu tokoh demagog ulung adalah Adolf Hitler, merujuk pada tulisan Andrew Hartman di Society for U.S. Intellectual History, Hitler merupakan seorang pembicara yang sangat mahir dan menggunakan retorika yang emosional dan manipulatif untuk memperoleh dukungan massa dan mengkonsolidasikan kekuasaan politiknya.
Ilustrasi Adolf Hitler. Foto: Kidut29/Shutterstock
Hitler menggunakan strategi demagogis seperti menyalahkan kelompok tertentu, seperti Yahudi, untuk memanipulasi ketakutan dan kebencian masyarakat Jerman. Beliau juga memanfaatkan ketidaktahuan dan ketidakpuasan rakyat untuk mendapatkan dukungan politik yang luas.
ADVERTISEMENT
Pendekatan demagogis Hitler melibatkan janji-janji populis yang tidak realistis, penyebaran propaganda yang merusak, dan retorika yang memprovokasi emosi seperti nasionalisme fanatik dan supremasi rasial.
Tujuannya adalah untuk mencapai dominasi politik dan menerapkan ideologi Nazi serta mengendalikan seluruh negara dan populasi. Perlu dicatat bahwa praktik demagogis Hitler menghasilkan konsekuensi yang sangat mengerikan dan merugikan. Kekuasaannya berujung pada terjadinya Perang Dunia II, Holokaus, dan penderitaan yang tak terbayangkan bagi manusia.
Merujuk pada The American Interest, kisah Hitler menunjukkan bahaya dari pemimpin demagogis dan menekankan pentingnya masyarakat yang cerdas dan kritis dalam mengenali dan menantang retorika manipulatif serta melawan penyebaran kebencian dan diskriminasi.
Kemudian, terdapat Nicolás Maduro, seorang Presiden Venezuela, yang sering dikritik karena menggunakan gaya retorika demagogis dalam politiknya. Beliau juga sering menyalahkan kekuatan asing, oposisi politik, dan elite ekonomi atas berbagai masalah yang dihadapi oleh negara tersebut.
Nicolás Maduro. Foto: Salma/Shutterstock
Dalam upayanya mempertahankan kekuasaan, Maduro memakai demagogi yang memanipulasi emosi, seperti nasionalisme dan anti-imperialisme, untuk memperoleh dukungan dari para pendukungnya. Selain itu, beliau juga menggunakan narasi konspirasi dan propaganda untuk menjaga basis politiknya.
ADVERTISEMENT
Pendekatan demagogis Maduro melibatkan janji-janji populis yang tidak realistis, penyebaran informasi yang tidak akurat, dan penindasan terhadap oposisi politik.
Beliau juga sudah mengambil langkah-langkah otoriter, termasuk pembatasan kebebasan berbicara, kontrol terhadap media, dan larangan terhadap partai-partai politik oposisi.
Para pendukung Maduro berpendapat bahwa beliau berjuang melawan campur tangan asing dan memperjuangkan kepentingan rakyat Venezuela. Namun, kritikus menuduhnya menggunakan retorika demagogis untuk mempertahankan kekuasaan dan menutupi kegagalan dalam mengelola ekonomi negara. Krisis ekonomi yang parah dan situasi sosial yang sulit di Venezuela dianggap sebagai akibat dari kebijakan yang kurang berhasil.
Kemudian, Presiden ke-1 Indonesia, Sukarno, sang singa podium, orator ulung, pun dicap memakai demagogi. Di dalam buku Di bawah Bendera Revolusi disebutkan bahwa Sukarno dianggap sebagai seorang demagog.
ADVERTISEMENT
Sukarno ketika sedang berpidato. Foto: AFP Photo
Kita ketahui bersama, Sukarno memakai gaya berpidato yang oratoris untuk mempengaruhi dan memobilisasi massa dalam upaya memajukan kepentingan rakyat Indonesia. Beliau juga dikenal sebagai seorang orator yang karismatik dan mahir dalam merangsang emosi dan semangat nasionalisme. Namun, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa beberapa tindakan dan retorika Sukarno memiliki elemen demagogi.
Dalam demokrasi di Indonesia, kita tahu sudah banyak tercampur oleh demagogi. Di bawah pengaruh demagogi, sejumlah pemimpin politik Indonesia sudah memanfaatkan keahlian retorika mereka untuk mempengaruhi dan menggerakkan massa, dengan sering mengabaikan atau melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
Efek demagogi dalam politik Indonesia dampaknya beragam. Di satu sisi, demagogi bisa membantu membangun dukungan publik dan menggerakkan massa untuk tujuan positif, seperti memperjuangkan hak-hak rakyat atau memperkuat kesadaran nasional—ini sesuai dengan makna demagogi zaman Yunani dulu sebelum tercemar. Namun, demagogi yang berlebihan bisa mengancam stabilitas politik dan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi.
ADVERTISEMENT
Manipulasi emosi dan retorika yang tidak jujur dapat memicu polarisasi sosial, ketidakstabilan politik, serta pelanggaran HAM. Untuk mencegah politik Indonesia terjerumus dalam demagogi, penting untuk memperkuat prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan transparansi.
Tidak etis jika para politikus atau pejabat negara menggunakan demagogis sebagai sarana untuk mencari ataupun mempertahankan kekuasaan, dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas.
Pendidikan politik yang baik, kebebasan berpendapat yang dijamin, partisipasi aktif masyarakat, dan penegakan hukum yang tegas dan adil merupakan faktor penting dalam melawan demagogi dan membangun sistem politik yang inklusif dan adil.
Perlu digarisbawahi bahwa demagogis mempunyai konotasi negatif karena praktik semacam ini sering kali berdampak buruk pada proses demokrasi dan masyarakat secara luas. Masyarakat yang cerdas dan kritis akan lebih mampu mengenali taktik demagogi dan mengevaluasi argumen dan tindakan politik secara bijaksana, berdasarkan fakta dan nilai-nilai yang mendasari demokrasi yang sehat.
ADVERTISEMENT