Konten dari Pengguna

Politik Indonesia di Bawah Bayang-bayang Plutokrasi

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Direktur Eksekutif Amnesty UNNES
12 Juni 2023 5:52 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi plutokrasi. Foto: Sharaf Maksumov/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi plutokrasi. Foto: Sharaf Maksumov/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam sistem politik, terdapat sistem pemerintahan bernama plutokrasi. Banyak di antara kita mungkin lebih sering mendengar demokrasi, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Berbeda dengan demokrasi, kalau plutokrasi menurut Joseph Stiglitz adalah pemerintahan dari satu persen, oleh satu persen, untuk satu persen.
ADVERTISEMENT
Hal ini menggambarkan bahwa sistem politik yang mana kekuasaan politik dan pengaruh terpusat pada satu persen penduduk yang kaya secara ekonomi. Pada plutokrasi, mereka punya kontrol yang dominan atas kebijakan pemerintah dan ekonomi, sedangkan kepentingan dan aspirasi mayoritas penduduk sering kali diabaikan atau tidak terwakili dengan baik.
Dengan kata lain, plutokrasi menunjukkan ketidakseimbangan kekuasaan dan distribusi kekayaan yang cenderung menguntungkan kelompok kecil elite yang kaya. Kemudian, secara definitif, plutokrasi bisa kita lihat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni sistem politik yang dikuasai oleh kaum kaya atau kaum pemilik modal (kapitalis).
Secara etimologi, plutokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni ploutos yang berarti kekayaan, dan kratos yang berarti kekuasaan atau pemerintahan. Plutokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang mana kekuasaan politik secara dominan dipegang oleh individu atau kelompok yang kaya atau berkekuatan ekonomi yang signifikan.
Ilustrasi seorang kapitalis. Foto: nuvolanevicata/Shutterstock
Dalam plutokrasi, pengambilan keputusan politik sering kali dipengaruhi oleh kepentingan dan kekuasaan finansial. Kelompok-kelompok kaya (kapitalis) atau korporasi besar bisa menggunakan kekayaan mereka untuk mempengaruhi kebijakan publik dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar bagi diri mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, kesetaraan sosial dan kesempatan yang adil dalam masyarakat dapat terancam, sementara kesenjangan ekonomi mungkin semakin meningkat. Plutokrasi sering dikritik karena berpotensi penyalahgunaan kekuasaan dan kurangnya representasi rakyat. Sistem politik yang berdasarkan plutokrasi mungkin cenderung menguntungkan kelompok kaya sementara mengabaikan kepentingan dan aspirasi mayoritas masyarakat.
Kalau kita melihat dinamika politik di Indonesia, ongkos politik di Indonesia sangat mahal, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ongkos politik calon wali kota atau bupati rata-rata mencapai Rp20—30 miliar. Sementara, gubernur dan wakilnya membutuhkan modal Rp100 miliar.
Kemudian, ongkos politik yang harus dikeluarkan bagi setiap calon presiden dan wakilnya di Indonesia setidaknya mesti menyiapkan modal minimal Rp5—7 triliun. Tentu dengan besarnya ongkos yang mesti dikeluarkan oleh para calon pejabat, maka uang memiliki peranan penting dalam dunia politik Indonesia.
Ilustrasi orang-orang dikuasai cukong. Foto: ArtemisDiana/Shutterstock
Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, hampir 92 persen calon kepala daerah yang ada di seluruh Indonesia didukung secara finansial oleh cukong (pemilik modal). Sementara, menurut KPK, sekitar 82 persen calon kepala daerah dibiayai oleh sponsor.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi demokrasi Indonesia, bahkan bisa menimbulkan korupsi kebijakan karena adanya timbal balik antara kepala daerah dan cukong yang saling menguntungkan satu sama lain, meskipun mereka harus mengabaikan kepentingan masyarakat.
Cita-cita untuk mewujudkan demokrasi yang melibatkan partisipasi aktif dan responsif untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan tampaknya berubah menjadi arah yang condong ke plutokrasi.
Dampak nyata dari penyebaran plutokrasi dalam dunia politik adalah bahwa para wakil rakyat yang semestinya menjadi garda terdepan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat justru berubah menjadi alat bagi para pemodal untuk mengeksploitasi sumber daya.
Plutokrasi kadang-kadang pun disamarkan sebagai demokrasi. Dalam situasi seperti ini, lembaga-lembaga demokratis dan proses politik formal tetap ada, tetapi dominasi dan pengaruh pemodal kaya secara tidak proporsional mempengaruhi dan mengendalikan sistem politik.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, walaupun ada kebebasan berpendapat dan pemilihan umum, kekayaan dan kekuasaan yang terkonsentrasi pada segelintir individu atau kelompok ekonomi memungkinkan mereka untuk memanipulasi proses politik dan kebijakan sesuai dengan kepentingan dan tujuan mereka.
Dengan cara ini, plutokrasi bisa "disamarkan" sebagai demokrasi, meskipun substansi dan distribusi kekuasaannya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sejati, seperti partisipasi publik yang merata dan keadilan politik.
Mirisnya, demokrasi yang menitikberatkan pada kepentingan rakyat harus direnggut paksa oleh kepentingan segelintir pemilik modal demi memuluskan ambisinya. Bayang-bayang plutokrasi terus membayangi dinamika politik Indonesia.
Ilustrasi cukong menguasai seseorang. Foto: rudall30/Shutterstock
Penyematan budaya politik plutokrasi agaknya tidak berlebihan jika diberikan pada dunia politik Indonesia saat ini, sudah menjadi rahasia umum kalau para pemilik modal juga ikut bermain dalam dinamika politik Indonesia, yang justru memperburuk demokrasi.
ADVERTISEMENT
Adanya bayang-bayang plutokrasi tentu bisa menjadi faktor yang memperburuk korupsi di dalam sistem politik Indonesia. Para pemilik modal bisa memanfaatkan kekayaan mereka untuk memberikan suap atau gratifikasi kepada pejabat publik, sehingga menciptakan ikatan yang memperkuat dominasi mereka dalam politik.
Para pemilik modal pun memiliki kemampuan untuk membentuk kelompok kepentingan yang mempengaruhi pembuatan kebijakan. Dengan sumber daya finansial, mereka bisa melobi politisi dan pejabat pemerintah untuk mengamankan kebijakan yang menguntungkan bagi mereka, bahkan jika itu tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat luas.
Selain itu, adanya bayang-bayang plutokrasi juga merenggut kedaulatan rakyat, sehingga membuat banyak orang yang tidak percaya dengan demokrasi. Di Indonesia saat ini, terdapat perkembangan demokrasi yang mendasarkan diri pada sistem plutokrasi, yang mana bisa diartikan sebagai demokrasi yang dikuasai oleh para cukong (pemilik modal).
ADVERTISEMENT
Dengan kebrutalan yang memprihatinkan, pemilik modal menggunakan mekanisme khusus untuk mencapai keuntungan, yang pada gilirannya didukung oleh pemerintah melalui kebijakan tertentu. Ironisnya, hibrida antara pemilik modal dan pemerintah berujung pada korupsi yang sangat meluas.
Ilustrasi korupsi. Foto: Andrey_Popov/Shutterstock
Tentu hal ini melecehkan Indonesia sebagai negeri (yang katanya) menganut demokrasi, budaya politik plutokrasi tentu harus dicegah dan dibasmi. Untuk mencegah dan mengatasi budaya politik plutokrasi, bisa melakukan pelbagai cara:
ADVERTISEMENT
Dengan mengadopsi pendekatan ini, diharapkan masyarakat dan pemangku kepentingan politik bisa bekerja sama untuk mencegah dan menghilangkan budaya politik plutokrasi, dan membangun sistem politik yang lebih inklusif, transparan, dan responsif terhadap kepentingan masyarakat luas.
Plutokrasi sejatinya bertentangan dengan demokrasi: demokrasi memusatkan pada kepentingan rakyat, sedangkan plutokrasi hanya memusatkan pada cukong atau kaum kapitalis, sehingga plutokrasi harus dibasmi dari perpolitikan di Indonesia.