Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kilas Balik Proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung hingga Dituding Jebakan Utang
1 Oktober 2022 19:57 WIB
Tulisan dari Raihan Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam rangka meningkatkan pelayanan transportasi nasional, PT Kereta Cepat Indonesia China membangun proyek kereta cepat Jakarta - Bandung. Perusahaan ini merupakan gabungan perusahaan antara konsorsium BUMN melalui PT Pilar Sinergi BUMN dan konsorsium perusahaan kereta api Cina melalui Beijing Yawan High Speed Railway Company Limited.
ADVERTISEMENT
Sejarah awal
Pada awalnya, mega proyek ini direncanakan akan memiliki rute Jakarta - Surabaya pada tahun 2008. Akan tetapi, pemerintah memperkirakan pembangunannya akan mengeluarkan banyak dana, yang mencapai hingga 100 triliun. Adanya minat dari Jepang dan Cina membuat proyek kereta cepat Jakarta - Bandung mulai terealisasi. Pada tahun 2014, Japan International Cooperation Agency, perusahaan Jepang, rela memberikan modal untuk melakukan uji kelayakan pada proyek ini sebesar 3,5 juta dolar AS. Berdasarkan hitungan Jepang, nilai investasi proyek kereta cepat mencapai 6,2 miliar dolar AS. 75 persen dari nilai investasi dibiayai oleh Jepang dengan pinjaman berjangka waktu empat puluh tahun dengan bunga 0,1 persen per tahunnya.
Di sisi lain, Jepang yang lebih dahulu mendanai dan melakukan uji kelayakan, tiba-tiba Cina ikut melakukan uji kelayakan pada proyek kereta cepat dan mendapat sambutan yang baik oleh Mantan Menteri BUMN saat itu, Rini Soemarno. Kemudian, Cina menawarkan nilai investasi yang lebih murah dari Jepang yaitu sebesar 5,5 miliar dolar AS. Dengan skema investasi 40 persen didanai Cina dan 60 persen didanai perusahaan negara. Pinjaman berjangka waktu lima puluh tahun dengan bunga 2 persen per tahunnya. Melalui proses seleksi, pemerintah memilih Cina untuk menangani proyek kereta cepat Jakarta - Bandung. Bukan tanpa alasan, Cina dipilih karena berani membangun tanpa membebani dana APBN.
ADVERTISEMENT
Permasalahan
Indonesia dalam kasus kereta cepat Jakarta - Bandung selama proses penawaran proyek, Cina mengajukan penawaran yang jauh lebih rendah daripada Jepang. Akan tetapi, ketika Cina memenangkan tawaran, gambarannya berubah secara dramatis. Selama tahap konstruksi proyek ada berbagai eskalasi dan berbagai penundaan yang kemungkinan biaya akhirnya akan jauh lebih tinggi diatas 30 persen, membuat proyek ini tidak layak secara ekonomi dan akan menggerogoti keuangan negara.
China Development Bank terang-terangan meminta pemerintah ikut turun tangan memikul biaya yang bengkak luar biasa, padahal poin utama pemerintah memilih Cina adalah komitmen B to B (Business to Business) tanpa membebani dana APBN, biaya yang lebih murah, dan transfer teknologi secara terbuka.
ADVERTISEMENT
Tujuan pembangunan proyek
Keberadaan proyek ini tentu saja memiliki tujuan yang penting, yaitu:
Apakah memenuhi kebutuhan masyarakat?
Menanggapi akan kebutuhan sarana transportasi berupa kereta cepat, maka bisa dilihat melalui aktivitas masyarakat Indonesia, sebagian besar masyarakat tidak bisa lepas dari penggunaan transportasi. Dengan angka mobilitas yang cukup tinggi, jelas transportasi umum sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Mengurangi pengeluaran biaya serta waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tempat tujuan, kereta cepat adalah solusi yang efisien.
Kondisi perkembangan pembangunannya saat ini
ADVERTISEMENT
Sejak proyek kereta cepat Jakarta - Bandung ini mulai digarap, hingga kini pembangunannya belum juga tercapai. Tertanggal 5 September 2022, secara progres fisik kereta cepat Jakarta - Bandung sudah mencapai 76,34 persen, progres investasi mencapai 85,39 persen, perkembangan pembangunan bridge mencapai 95 persen, dan subgrade sudah mencapai 82 persen. Untuk tunnel, seluruhnya sudah bisa ditembus. Targetnya, proyek ini bisa beroperasional pada bulan Juni 2023 mendatang.
Faktor keterlambatan
Belum tercapainya pembangunan, diakibatkan oleh adanya keterlambatan. Faktor yang menghambat dalam proses pembangunan proyek ini, yaitu bengkaknya biaya lahan, kondisi geologi tunnel 2 yang ekstrem, penggunaan GSM-R yang mahal, instalasi listrik, dan juga pandemi covid-19.
Dampak dari keterlambatan
Dengan demikian, hal itu akan berdampak pada berbagai aspek terutama terhadap keuangan negara. Pada akhirnya, pembengkakan anggaran proyek tak bisa dihindarkan. Pembengkakan diprediksikan antara Rp 18,3 triliun - Rp 22,5 triliun dengan kurs (Rp 14.100/US$). Awalnya proyek ini diperhitungkan akan memakan biaya senilai US$ 6,07 miliar ekuivalen Rp 86,5 triliun, namun kini bengkak hingga mencapai US$ 7,9 miliar atau Rp 113,1 triliun karena adanya keterlambatan dalam penyelesaian.
ADVERTISEMENT
Langkah pemerintah
Proses pembangunan proyek ini tidak berjalan mulus. China Development Bank meminta pemerintah Indonesia untuk ikut memikul biaya dari proyek ini. Dilansir dari salah satu media nasional, Selasa (12/10/2021). Melihat dari dampak tersebut, lalu pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021, yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta - Bandung. Adanya revisi di sejumlah ketentuan, di antaranya pendanaan proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung pakai APBN, dari sebelumnya sempat tidak diperbolehkan.
Dampak memakai dana APBN
Dampak yang timbul akibat memakai dana APBN yaitu terancamnya proyek-proyek lain yang sedang dibangun di luar pulau Jawa karena tidak berimbangnya alokasi dana dari pemerintah. Dalam jangka panjang, dana APBN yang terpusat pada satu hal akan membahayakan beban utang yang meningkat dan membebani aspek fiskal negara. Bahaya risiko yang semakin besar dengan target defisit anggaran yang masih berada pada level 4,85 persen dari Produk Domestik Bruto.
ADVERTISEMENT
Sisi gelap dibalik proyek
Meningkatnya utang pemerintah secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh adanya beban. Proyek uji kelayakan dibuat bermasalah, berdampak pada biaya yang membengkak, dan pada akhirnya pemerintah harus ikut memikul biaya proyek tersebut. Penggunaan APBN berbanding terbalik dengan skema yang sudah disepakati oleh Cina, di mana hal ini diindikasikan sebagai debt trap yang ditujukan kepada negara miskin dan berkembang.
Hal yang mengusik adalah sejauh mana kredibilitas dan uji kelayakan oleh Cina hingga biaya proyek bengkak luar biasa. Semua masalah yang menghambat pembangunan proyek seharusnya sudah tuntas pada uji kelayakan. Apakah ini tidak akan membentuk sebuah jebakan utang yang membahayakan apabila APBN dipaksa untuk menalangi? Indonesia harus belajar dari Sri Langka yang terjerat utang dari Cina. Agar tidak bernasib yang sama, alangkah baiknya bagi Indonesia untuk melakukan uji dan audit yang lebih matang mengenai kemampuan dalam melakukan pembayaran utang dan menegakkan regulasi.
ADVERTISEMENT