Sudah Dua Tahun, Bagaimana Hubungan Dagang Inggris dan Uni Eropa?

Raihany Fahira
Mahasiswi Hubungan Internasional, Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
8 Juni 2022 19:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihany Fahira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi oleh Raihany Fahira (penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi oleh Raihany Fahira (penulis)
ADVERTISEMENT
British Exit atau biasa dikenal dengan BREXIT merupakan penarikan diri negara Inggris untuk lepas dari keanggotaan organisasi regional Uni Eropa (UE). BREXIT awalnya digagas oleh Perdana Menteri Inggris, David Cameron di mana keputusan ini dituangkan dalam referendum BREXIT pada 23 Juni 2016. Momen ini menjadi langkah pertama Inggris yang paling menentukan karena suara rakyat menjadi determinan utama apakah Inggris tetap menjadi anggota Uni Eropa atau tidak.
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai organisasi regional ini, UE dikenal sebuah organisasi pemerintahan yang terintegrasi dan menerapkan konsep shared-sovereignty yang berarti negara-negara anggotanya membagikan sebagian kedaulatannya kepada UE sehingga dalam konteks tertentu terdapat regulasi yang dikeluarkan oleh UE harus dipatuhi dan diterapkan di masing-masing negaranya. Dari segi ekonomi dan sosial, hal ini menguntungkan bagi negara anggota dengan adanya pasar tunggal (single market) yang memudahkan mobilitas barang, jasa, hingga manusia [1].
Namun, dibalik manfaat tersebut, salah satu kelemahan dari integrasi ini ialah segala bentuk ancaman dan peristiwa yang merugikan dapat berdampak pada keseluruhan negara anggota. Salah satu momen yang mengguncang Eropa ialah Krisis Finansial 2008 yang gagal direspons secara efektif oleh Bank Sentral Eropa. Akibatnya, Inggris mulai goyah dalam melihat prospek keanggotaannya di Uni Eropa apalagi harus membantu negara-negara lainnya dalam memulihkan perekonomiannya.
ADVERTISEMENT
Selain peristiwa tersebut, faktor lain yang mendorong BREXIT ialah penurunan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 dan migrasi masyarakat Uni Eropa dan para pencari suaka dari negara non Uni Eropa yang menyebabkan persaingan ketat dalam lapangan pekerjaan sehingga berkontribusi pada peningkatan angka pengangguran di Inggris.
Singkatnya, setelah Inggris resmi keluar pada 1 Februari 2020, Inggris menjalani fase transisi (1 Februari - 31 Desember 2020) untuk menegosiasikan Persetujuan Perdagangan dan Kerja sama UE dan Inggris atau UK-EU Trade and Cooperation Agreement (TCA). Setelah diberlakukannya persetujuan tersebut, terjadi penurunan dalam perekonomian Inggris terutama di bidang ekspor dan impor. Dilansir dari situs parlemen UE (europarl.europa.eu), TCA menjadi sebuah kondisi yang menyebabkan Inggris dan UE sama-sama dirugikan (lose-lose situation) akibat peningkatan kebijakan proteksionisme. Namun, Inggris disebut sebagai pihak yang paling terdampak dibandingkan UE.[2]
ADVERTISEMENT
London School of Economics and Political Science (LSE) menemukan bahwa TCA meningkatkan biaya perdagangan antara Inggris dan UE walaupun kebijakan bebas tarif dan kuota tetap diberlakukan. [3] Hal ini ditunjukkan oleh LSE perusahaan Inggris yang terkendala biaya birokrasi untuk melakukan ekspor dan impor ke UE. [4] Oleh karena itu, beberapa perusahaan Inggris memilih untuk berhenti melakukan ekspor ke UE.
Analisis dari LSE tersebut juga didukung oleh sebuah penelitian dari Universitas Sussex, Inggris. TCA berdampak pada penurunan ekspor Inggris ke UE sebanyak 14% dan impor dari UE sebesar 24% sehingga kegiatan ekspor secara perlahan menurun hingga Juli 2021. Sebagai akibatnya, perdagangan di Inggris diestimasikan mengalami kerugian sebesar 44 triliun Pound sterling. Beragam produk mulai dari produk sayuran, tekstil, pakaian, keramik, dan logam menjadi komoditas yang kuota penjualannya paling menurun dalam perdagangan. Sementara itu, di sektor jasa, ekspor dan impor jasa ke UE mengalami penurunan drastis pada paruh pertama tahun 2021 yang masing-masingnya berkisar -11.5% dan -37%.[5]
ADVERTISEMENT
Beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa relasi Inggris dan UE pasca BREXIT terkendala dalam bidang perdagangan di mana terdapat hambatan-hambatan berupa kebijakan proteksionisme dan perubahan-perubahan baru yang diterapkan dalam kegiatan ekspor dan impor. Akibatnya, banyak perusahaan Inggris berdalih untuk tidak melakukan ekspor dan impor ke UE dan beberapa komoditas mengalami penurunan pembelian. Maka tidak salah jika UE mengungkapkan bahwa situasi ini bersifat lose-lose di mana Inggris menjadi pihak yang paling merasakan dampak negatif ini.
Sumber dan referensi:
[1] Sherrill Brown Wells and Samuel F. Wells, “Shared Sovereignty in the European Union: Germany’s Economic Governance,” History and Neorealism (January 1, 2010): 307–321, https://www.cambridge.org/core/books/history-and-neorealism/shared-sovereignty-in-the-european-union-germanys-economic-governance/FAC58C3AB31EFD0B1B4EA9DC9E967F49.
[2] Bergman Jana, “Impacts of the EU-UK TCA on Fisheries and Aquaculture in the EU: Trade Aspects” (n.d.), www.europarl.europa.eu/supporting-analyses.
ADVERTISEMENT
[3] “Brexit: The Major Trade Disruption Came after the UK-EU Agreement Took Effect in 2021 | LSE Business Review,” https://blogs.lse.ac.uk/businessreview/2022/04/26/brexit-the-major-trade-disruption-came-after-the-uk-eu-agreement-took-effect-in-2021/.
[4] “Post-Brexit: Trade in Goods and Services (II) « UK Trade Policy Observatory,” https://blogs.sussex.ac.uk/uktpo/publications/post-brexit-ii-trade-in-goods-and-services/.
[5] “Post-Brexit: Trade in Goods and Services (II) « UK Trade Policy Observatory.”