Akankah Budi Gunadi Sadikin Sukses Pimpin Kementerian Kesehatan?

Rais Reskiawan
Rais adalah Dokter alumni Universitas Hasanuddin. Saat ini, Rais sedang melanjutkan studi S3-nya di bidang Neurosains di University of Nottingham, UK.
Konten dari Pengguna
24 Desember 2020 18:59 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rais Reskiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan kedua tanpa latar belakang kesehatan di Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan kedua tanpa latar belakang kesehatan di Indonesia
ADVERTISEMENT
Penetapan Budi Gunadi Sadikin yang berlatar belakang non-medis sebagai menteri kesehatan (Menkes) memicu beragam respons baik dari masyarakat umum maupun kalangan tenaga kesehatan. Penunjukan ini dianggap tidak lazim karena hingga kini, baru ada satu Menkes Republik Indonesia yang berlatar belakang non-kesehatan.
ADVERTISEMENT
Sebelum Menteri Budi, Mananti Sitompul, seorang insinyur teknik sipil, pernah ditunjuk untuk menduduki jabatan Menkes di tahun 1948 dan menjabat hanya kurang dari 3 bulan.
Polemik apakah kementerian kesehatan harus dipimpin oleh seorang dokter atau seseorang dengan latar belakang kesehatan sebenarnya juga terjadi di beberapa Negara di dunia. Walaupun telah memiliki 2 Menkes yang bukan seorang dokter, penunjukan Dzulkefly Ahmad sebagai Menkes Malaysia di tahun 2018 silam tetap menuai banyak kritik.
Dzulkefly yang merupakan seorang dosen di bidang medical science pun menanggapi berbagai kritikan yang dialamatkan kepadanya dengan komentar “kita di sini bukan untuk menyelesaikan persoalan kedokteran yang kompleks. Kita di sini untuk memperbaiki manajemen kesehatan dan memberikan layanan kesehatan untuk semua orang.”
ADVERTISEMENT
Petisi yang dirilis oleh puluhan tenaga kesehatan baru-baru ini juga meminta pemecatan Moshe Bar Siman-Tov dari posisinya sebagai Direktur Jenderal di kementerian Kesehatan Israel. Pasalnya, Moshe adalah orang pertama non-dokter yang menduduki posisi tersebut.

Akankah lebih baik?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Adam Pilny et al membandingkan kualitas kepemimpinan Menkes dengan latar belakang dokter dan non-dokter di Jerman sepanjang tahun 1955 hingga tahun 2017.
Adam menemukan Menkes dengan latar belakang dokter terbukti mampu lebih baik dalam meningkatkan kapasitas, permodalan dan pendanaan rumah sakit dan berhasil meningkatkan tingkat kepuasaan tenaga medis. Peningkatan kualitas rumah sakit dan kesejahteraan tenaga medis juga berdampak pada peningkatan layanan kesehatan dan pengurangan angka kematian di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, total productivity product (TFP), yang diukur dengan membandingkan besarnya sumber daya yang telah dikeluarkan dengan luaran yang dicapai, menunjukkan jika dokter yang menjabat Menkes tidak efektif untuk mencapai nilai TFP yang optimal.
Walaupun penelitian ini melibatkan seluruh Menkes Jerman di rentan waktu tersebut, jumlah dokter yang pernah menjabat posisi Menkes hanya 12 orang (6.8%) sehingga mungkin tidak merepresentasikan kualitas kepemimpinan dari seorang dokter yang sebenarnya.
Selain itu, riset ini juga tidak mengamati secara komprehensif dampak kepemimpinan Menkes terhadap kualitas (layanan) kesehatan masyarakat seperti besarnya prevalensi penyakit, cakupan imunisasi dasar, kepuasaan masyarakat terhadap layanan kesehatan hingga jumlah dan distribusi tenaga kesehatan.

Faktor kunci

Indonesia saat ini disebut tengah menghadapi triple burden disease (tiga beban ganda sekaligus) yaitu penyakit menular (misalnya demam berdarah, malaria dan tuberculosis), penyakit tidak menular (seperti serangan jantung, diabetes dan stroke), dan munculnya penyakit-penyakit baru yang tidak pernah dikenali sebelumnya seperti Covid-19.
ADVERTISEMENT
Karena kompleksnya persoalan kesehatan kita, pendekatan multidispliner dengan menyentuh berbagai aspek krusial seperti kedokteran, ekonomi, pendidikan, lingkungan, teknologi dan antropologi menjadi mutlak harus dijalankan.
Berbagai tempat di Indonesia tetap akan menjadi daerah endemik tuberculosis selama masyarakatnya miskin, berpendidikan rendah, dan memiliki sanitasi dan ventilasi rumah yang buruk walaupun jutaan ton antibiotik telah didistribusikan.
Pemberian insulin kepada seluruh pasien diabetes juga tidak akan mampu mengatasi beban persoalan penyakit ini. Dibutuhkan instrumen kebijakan untuk mendorong masyarakat lebih aktif bergerak dan mengurangi konsumsi gula agar efektif mengurangi prevalensi diabetes di Indonesia.
Professor Klim McPherson dari London School of Hygiene and Tropical Medicine menyarankan agar pemimpin di sektor kesehatan paling tidak memiliki dua kriteria utama.
ADVERTISEMENT
Pertama, pemimpin di sektor ini harus profesional, yang berarti mampu memahami persoalan mendasar dan menyusun strategi yang tepat dan komprehensif untuk menyelesaikannya. Identifikasi persoalan kesehatan haruslah berbasis riset yang kuat sehingga pemahaman untuk membaca dan menganalisa data tentu menjadi sangat krusial.
Kedua adalah corporate, di mana Menteri kesehatan berperan sebagai executive director dari semua instrumen penting di bidang kesehatan. Kebijaksanaan juga dibutuhkan karena seringkali terdapat perbedaan pendapat antar bidang sehingga kebijaksanaan dan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain menjadi salah satu faktor kunci kesuksesan.

COVID-19

SARS-CoV-2, virus penyebab penyakit COVID-19, telah menyerang sekitar 80 juta orang dan membunuh hampir 2 juta orang di seluruh dunia. Pandemi ini adalah persoalan utama dan mendesak yang harus segera diatasi oleh seluruh negara di dunia, di mana Kementerian kesehatan harus menjadi leading sector-nya.
ADVERTISEMENT
Riset yang dilakukan oleh Nils Haug yang dipublikasi di salah satu jurnal bergengsi, Nature human behavior, mengindikasikan bahwa langkah radikal seperti lockdown adalah strategi paling efektif dalam menurunkan angka kasus COVID-19. Kesimpulan ini didapatkan dari pengamatan sistematik dan mendalam terhadap berbagai intervensi yang dilakukan pemerintah di 79 wilayah di seluruh dunia dan dampaknya terhadap reproduction number (Rt).
Persoalannya, implementasi pembatasan sosial berskala besar seperti ini akan diikuti berbagai efek samping yang merugikan seperti kelesuan ekonomi, meningkatnya pengangguran, terganggunya kesehatan mental masyarakat hingga pelanggaran hak asasi manusia.
Untuk itu, Menteri Budi selaku pimpinan di Kementerian kesehatan diharuskan untuk merancang sendiri formula kebijakan yang komprehensif dan efektif untuk mengurangi angka kasus COVID-19 tetapi dengan efek samping paling minimal. Pendekatan multisektroal yang berbasis riset dan perlindungan kepada kelompok yang rentan adalah kunci untuk mengatasi pandemi ini.
ADVERTISEMENT

Vaksin

Vaksin dianggap sebagai salah satu jalan keluar paling efektif dari pandemi COVID-19. Persoalannya, melakukan vaksinasi kepada 80% penduduk Indonesia bukanlah perkara sederhana. Menurut data Riset Kesehatan Dasar, cakupan imunisasi dasar kita saja masih di angka 50%-60%.
Jika kita mengasumsikan kapasitas vaksinasi negara ini sebesar 500.000 dosis per hari, maka dibutuhkan sekitar 540 hari untuk memvaksin 270 juta penduduk Indonesia. Jika vaksin yang kita gunakan membutuhkan paling tidak dua dosis pemberian, maka dibutuhkan sekitar 1080 hari atau hampir 3 tahun untuk memproteksi semua masyarakat.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, salah satu strategi kunci dalam penanganan pandemi COVID-19 adalah melindungi masyarakat yang rentan. Dalam konteks ini, vaksin COVID-19 seharusnya memprioritaskan penduduk usia lanjut dan tenaga medis yang merupakan frontliner dalam mengatasi pandemi ini. Strategi pemerintah yang memprioritaskan usia produktif untuk menerima vaksin jelas perlu dipertimbangkan kembali.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, mari kita berikan kesempatan kepada Menteri Budi untuk menunjukkan kualitas kepemimpinannya sembari berharap pandemi ini bisa segera berakhir.