Konten dari Pengguna

Meluruskan Stereotip Gender: Pandangan Islam tentang Laki-Laki dan Perempuan

Raisa Alifa
Mahasiswi Ilmu Al Quran Tafsir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2 Juli 2025 22:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Meluruskan Stereotip Gender: Pandangan Islam tentang Laki-Laki dan Perempuan
Kenapa laki-laki tidak boleh menangis? Kenapa perempuan selalu digambarkan lemah? Narasi ini terus diwariskan, tapi… apakah ini ajaran Islam?
Raisa Alifa
Tulisan dari Raisa Alifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Vlada Karpovich: https://www.pexels.com/id-id/foto/alam-pria-laki-laki-lelaki-8528884/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Vlada Karpovich: https://www.pexels.com/id-id/foto/alam-pria-laki-laki-lelaki-8528884/
ADVERTISEMENT
Dari kecil, kita sering dijejali gambaran bahwa laki-laki harus selalu kuat, tidak boleh menangis, dan harus menjadi pelindung. Di sisi lain, perempuan digambarkan sebagai sosok lemah, emosional, dan selalu membutuhkan pertolongan. Tanpa disadari, pola pikir ini membentuk cara kita melihat diri sendiri dan orang lain. Bahkan, ia meresap dalam film, novel, iklan, hingga interaksi sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Itulah yang disebut sebagai toxic masculinity dan damsel in distress, dua narasi sosial yang saling menguatkan dan mengakar dalam budaya masyarakat. Baik disadari maupun tidak, laki-laki seringkali didorong untuk menekan emosinya demi terlihat “macho”, sementara perempuan diminta untuk menunggu diselamatkan, bukan menyelamatkan. Tapi apakah Islam membenarkan cara pandang seperti ini?
Jawabannya: tidak.
Islam tidak pernah menuntut laki-laki untuk menjadi dingin dan keras. Justru, Nabi Muhammad ﷺ adalah teladan utama dalam menyeimbangkan keberanian dan kelembutan. Beliau menangis ketika kehilangan orang yang dicintai, menyatakan kasih sayang secara terbuka, dan bahkan membantu pekerjaan rumah tangga. Semua itu dilakukan tanpa mengurangi wibawanya sebagai pemimpin.
Sebaliknya, Islam juga tidak pernah menggambarkan perempuan sebagai makhluk lemah yang pasif. Cukup lihat sosok Maryam, yang menghadapi kehamilan dan fitnah kaumnya sendirian. Atau Asiyah, istri Firaun, yang melawan kekejaman suami sendiri demi mempertahankan imannya. Bahkan dalam sejarah Islam, banyak perempuan yang menjadi pejuang, ilmuwan, guru, dan pemimpin komunitas.
ADVERTISEMENT
Laki-laki dan perempuan dalam Islam diberi tanggung jawab yang adil, bukan identik, tapi seimbang. Ketika Al-Qur’an menyebut laki-laki sebagai qawwam (QS. An-Nisa: 34), itu bukan perintah untuk menguasai, melainkan amanah untuk memimpin dengan adil dan bertanggung jawab dalam konteks berkeluarga. Ayat itu tidak bisa dibaca lepas dari konteks dan tidak boleh dijadikan alat untuk membenarkan dominasi sepihak.
Yang sering dilupakan adalah bahwa Islam memuliakan keduanya sebagai manusia yang utuh. Firman Allah dalam QS. At-Taubah: 71,
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ۝٧١
Artinya: Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
ADVERTISEMENT
Allah menyebut laki-laki dan perempuan sebagai awliya—saling menjadi pelindung, penolong, dan kawan dalam menegakkan kebaikan. Tidak ada perkara yang membedakan antara kaum adam maupun kaum hawa dalam kerja sama untuk bertakwa dan berbuat baik.
Namun sayangnya, Masyarakat kita sering menetapkan standar gender yang sempit dan biner: laki-laki harus tegas, dominan, dan tidak emosional; sementara perempuan harus lembut, penurut, dan penuh ketergantungan. Akibatnya, laki-laki yang menunjukkan empati, menangis, atau memilih peran domestik dianggap “kurang jantan”. Sebaliknya, perempuan yang berani bersuara, tegas, atau mengambil kendali hidupnya sendiri sering dicap “terlalu keras” atau bahkan “tidak tahu tempatnya”.
Namun, di balik stigma itu, kita sebenarnya sedang kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga: keseimbangan emosional dan kejiwaan yang diajarkan Islam.
ADVERTISEMENT
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mulailah dari kesadaran. Kita bisa mulai mengkritisi cerita-cerita yang kita konsumsi, membangun komunikasi yang sehat antar-gender, dan menanamkan nilai bahwa kekuatan sejati adalah ketika seseorang bisa berlaku adil, lembut, dan bertanggung jawab—bukan karena jenis kelaminnya, tapi karena akhlaknya.
Karena pada hakikatnya, Islam menginginkan laki-laki dan perempuan menjadi pribadi yang kuat, lembut, dan saling melengkapi. Bukan saling mendominasi. Bukan saling melemahkan.