Emosi pada Usia Remaja

Raisa Adelia Kasmizar
Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta
Konten dari Pengguna
4 Desember 2022 16:41 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raisa Adelia Kasmizar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak orang bilang usia remaja adalah usia muda yang masih berapi-api atau masih semangat untuk meraih banyak mimpi. Usia remaja merupakan salah satu fase kehidupan yang harus dilewati oleh setiap manusia. Seperti yang sudah diketahui bersama, bahwa kita dimulai dari fase dalam kandungan, fase bayi, fase kanak-kanak, fase remaja, fase dewasa, dan fase lansia (lanjut usia). Masa remaja merupakan masa di mana pertumbuhan dan perkembangan secara signifikan mulai terjadi pada manusia. Fase ini adalah pusat transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Namun, remaja juga tidak bisa dikatakan sebagai makhluk dewasa sepenuhnya, hal ini bisa dilihat dari segi emosional dan psikologis remaja itu sendiri. Pernahkah anda melihat remaja yang suka marah-marah dan bersikap egois pada orang lain? Atau pernahkah anda mendengar sosok remaja yang suka menangis terus menerus? Atau bahkan, perubahan emosi apa yang anda rasakan ketika remaja dibanding dengan sudah benar-benar dewasa?
ADVERTISEMENT
Apa itu Emosi? Emosi merupakan suatu hakikat yang ada dalam diri manusia. Emosi menurut J.P Chaplin sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme, mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan ada perubahan perilaku. Banyak orang yang salah mendefinisikan emosi sebagai suatu peristiwa memuncaknya kemarahan. Padahal, emosi bukan sekedar perasaan marah saja, bisa jadi perasaan sedih, senang, bahagia, dan benci.
Bagaimana Emosi pada Remaja? Namun, emosi pada remaja meningkat lebih besar dibandingkan pada masa anak-anak dan dewasa. Mengapa demikian? Emosi remaja yang menggebu-gebu dikarenakan adanya perubahan atau transisi dari anak-anak menuju dewasa. Di mana emosi remaja belum mengalami proses kematangan sepenuhnya. Remaja juga masih kesulitan untuk mengungkapkan, mengendalikan, dan mengatur emosinya. Misalnya, remaja perempuan yang merasa bentuk tubuh mereka berubah, lalu mereka merasa lebih gemuk. Bahkan, teman-teman sekelasnya menjadikan itu bahan olokan. Remaja yang kesulitan mengungkapkan emosinya, akan mulai menangis diam-diam atau justru memberontak dengan memarahi orang sekitar. Pikunas (1976) menyatakan bahwa periode remaja ini dipandang sebagai masa frustasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralienasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Pikunas. Tentu sudah tidak jarang kita melihat, bahwa usia remaja adalah saat manusia mulai merasakan jatuh cinta pada lawan jenis. Istilah keren yang biasa digunakan seperti "cinta monyet" atau "cinta pandangan pertama". Perasaan cinta yang menggebu-gebu juga merupakan bagian dari emosi remaja yang harus dikontrol. Karena jika remaja tidak diberi arahan saat jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan orang lain, maka dikhawatirkan akan menimbulkan sesuatu yang tidak-tidak. Misalnya, hamil di luar nikah. Oleh karena itu, masa remaja adalah masa yang perlu pembinaan dari orang tua dan guru. Karena pada masa ini, remaja berusaha mencari jati diri, remaja berusaha menentukan tindakan yang beyangnar dan salah. Saat ini pula, emosi remaja mudah berubah-ubah, salah satunya disebabkan oleh hormon dan adanya masa transisi.
ADVERTISEMENT
Peran Orang Tua dalam Mengatasi Emosi Remaja Suatu penelitian dengan 220 remaja di dalamnya, menunjukkan bahwa kondisi emosi menjadi semakin negatif pada masa remaja (Larson, Moneta, Richards, Wilson, 2002). Oleh kerena itu, perlunya bimbingan dari orang tua serta guru. Khususnya bimbingan dan peran orang tua dalam mengendalikan emosi anak remaja. Karena orang tua, merupakan sosok yang senantiasa berada dekat dengan anak dan memiliki ikatan emosional dengan anaknya.
Langkah yang dapat dilakukan orang tua, untuk mengetahui dan mengendalikan emosi anak di antaranya: 1. Cobalah mengajak anak mengobrol setiap pekan untuk mencari tahu perasaan dan kegiatan yang dia lakukan. 2. Jangan menganggap remaja sebagai anak kecil lagi. Walaupun kita adalah orang tuanya, namun kita juga harus mengetahui cara bersikap yang benar pada anak yang sudah berusia remaja. 3. Senantiasa menasehati anak dengan cara yang baik dan sopan. Karena sejatinya, remaja adalah masa di mana ego sedang memuncak. Orang tua akan kesulitan mengendalikan anak remaja, jika terbiasa membentak dan memarahi secara kasar.
ADVERTISEMENT
4. Jika remaja terus memberontak, maka berilah mereka sedikit konsekuensi atas perbuatan mereka. Misalnya, anak remaja tersebut tawuran dengan teman-teman satu sekolahnya. Ibu atau Ayah sudah menasehati dengan baik, namun masih terus diabaikan dan masih saja tawuran antar sekolah. Maka, orang tua tidak boleh lemah. Dan harus memberi konsekuensi sewajarnya atas kesalahannya. Misalnya, dengan tidak membolehkan anak keluar rumah setelah jam 6 sore dan lainnya. 5. Berilah kasih sayang dan cinta pada anak remaja. Meskipun mereka sudah tumbuh besar, namun bukan berarti mereka bisa hidup mandiri dan tidak butuh cinta dari orang tuanya. Justru, remaja adalah fase ketika manusia butuh dicintai dan dikasihi. Oleh sebab itu, sebagai orang tua yang memiliki anak remaja, sebaiknya memberikan kasih sayang kepada anak tersebut. Misalnya, dengan memeluk anak dan menyemangati dirinya. Oleh karenanya, mari sebagai orang tua belajar untuk memahami emosi anak, khususnya kepada mereka yang sudah tumbuh sebagai remaja.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka:
Larson, R. W., Ham, M. (1993). Stress and “storm and stress” in early adolescence: The relationship of negative events with dysphoric affect. Dev Psychol. 29:130–140 Pikunas, L. (1976). Human Development. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd.
Sumber Foto: Pexels