Konten dari Pengguna

Film Horor Indonesia: Cerminan dalam Masyarakat?

Raisa M
Anak Sesdilu 78
9 April 2025 8:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raisa M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Melihat deretan film bioskop selama libur Lebaran ini membuat saya geleng-geleng kepala. Hampir seluruh bioskop didominasi oleh film-film horor. Bahkan, film Pabrik Gula telah berhasil menembus lebih dari 2 juta penonton dalam waktu seminggu penayangan.
Inspired by true events, katanya (Sumber: MD Entertainment)
zoom-in-whitePerbesar
Inspired by true events, katanya (Sumber: MD Entertainment)
Pada tahun 2024, tujuh dari sepuluh film Indonesia terlaris adalah film horor. Film horor komedi Agak Laen berada di puncak dengan menembus lebih dari 9 juta penonton. Berdasarkan rangkuman filmindonesia.or.id, yang menyusun daftar film dengan peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2007 – 2025, film ini menempati posisi kedua film Indonesia terlaris sepanjang masa.
ADVERTISEMENT
Lalu film apa di peringkat pertama? Lagi – lagi film horor, yakni KKN di Desa Penari tahun 2022 yang ditonton oleh lebih dari 10 juta penonton dan menghasilkan spin-off Badarawuhi di Desa Penari, yang menarik 4 juta penonton di tahun 2024.
Film horor memang bukan hanya dimiliki oleh Indonesia saja. Tapi dalam debat art imitating life vs life imitating art, saya bertanya-tanya apakah kondisi perfilman Indonesia yang demikian ini menjadi cerminan masyarakat Indonesia juga?
Kita Memang Suka Hal-hal Mistis
Dari sisi art imitating life (seni meniru kehidupan), kita harus akui bahwa dalam masyarakat kita, banyak beredar mitos dan urban legends yang menjadi inspirasi film-film horor.
Film seperti Sekawan Limo dan Petaka Gunung Gede, misalnya, berangkat dari mitos-mitos pendaki gunung yang sedianya juga merupakan sebuah peringatan untuk mawas diri di lingkungan sekitar. Lokasi urban legends seperti Rumah Kentang dan Lawang Sewu juga tidak luput sebagai sumber cerita.
ADVERTISEMENT
Tidak lupa, banyak film horor laris yang berasal dari kisah viral di media sosial seperti KKN di Desa Penari, Pabrik Gula, dan Vina: Sebelum 7 hari.
Film-film horor Indonesia juga kerap merepresentasikan, jika tidak bisa dibilang mengeksploitasi, ketakutan dan rasa penasaran masyarakat terhadap hal-hal ‘misterius’.
Sedihnya, kadang-kadang sebetulnya hal ini menunjukkan gejala bagaimana hal-hal yang dianggap di luar nalar bukannya ditelaah dengan ilmu pengetahuan malah justru dijelaskan sebagai hal gaib dan ilmu hitam.
Sleep paralysis pun menjadi fenomena ketindihan di film berjudul… Ketindihan.
Dan jika film-film Hollywood memiliki genre horor religi pengusiran setan ala The Exorcist, film horor religi di Indonesia juga tidak kalah dengan jin versus ustadz berbekal ayat kursi: ayat suci dan ritual agama menjadi senjata melawan kekuatan jahat.
Film aksi - horor religi: ustadz gagah melawan pemilik pabrik kapitalis syirik pengguna ilmu hitam. Kurang lengkap apa? (Sumber: Rapi Film)
Seperti namanya, film horor religi menjadikan agama dan kepercayaan sebagai suatu komoditas dengan dalih pesan moral tentang keimanan dan kekuatan doa. Yah, tidak hanya untuk menjual film, agama kini jadi dagangan politik hingga alasan menutupi aib si yang katanya pemuka agama.
ADVERTISEMENT
Datang untuk Adrenalin, Pulang Bawa Trauma Batin
Novelis dan penyair Oscar Wilde berargumen bahwa “Life imitates art far more than art imitates life.” Dalam hal ini, perilaku masyarakat bisa jadi terpengaruhi oleh karya fiksi dan seni seperti film.
Film horor dapat mempengaruhi pandangan dan keyakinan masyarakat terhadap hal-hal mistis. Gambaran makhluk halus atau kejadian mistis dalam film dapat memperkuat atau bahkan menciptakan ketakutan dan keyakinan baru di masyarakat.
Ayo angkat tangan, siapa yang justru jadi kenal dan takut dengan (konsep) pocong, genderuwo, kuntilanak, suster ngesot, dan teman-temannya justru setelah menonton film?
Kembali lagi ke film horor religi, beberapa film bukannya mendorong orang untuk bertaubat malah membuat orang takut untuk beribadah atau meragukan kesakralan praktik ibadah. Misalnya saja film Makmum, yang membuat orang setelah menonton justru membayangkan ada jin jahat yang mengikuti di saat shalat.
Siapa berani tengok belakang? (Sumber: MD Entertainment)
Meskipun doa sebagai senjata melawan setan kerap disimplifikasi maknanya dan didramatisir penggunaannya (dan Pak Ustadz tidak selalu kebal sehingga turut menjadi korban di Pengabdi Setan), penggambaran orang yang sering diganggu setan saat beribadah juga sesungguhnya menimbulkan keresahan.
ADVERTISEMENT
Jadi apa meniru apa nih?
Pada dasarnya kita bisa melihat film sebagai media untuk melegitimasi dan mengamplifikasi hal-hal yang tadinya memang sudah beredar di Masyarakat.
Ya, utas di media sosial mengenai kesurupan masal yang kamu baca memang sudah viral lebih dulu, tapi ketika dituangkan dalam film horor, kisah tersebut seolah-olah menjadi realita yang baru dengan visualisasi konteks dan pelaku.
In this economy, dimana masyarakat resah dan takut tentang kepastian hidup di masa depan, memang lebih mudah ditakuti-takuti oleh makhluk yang juga tidak berwujud seperti di film-film. Di sini film menjalankan fungsi rekreasinya sebagai pelarian, tapi mestinya sineas jangan lupa fungsi edukasi yang lebih baik.
Sineas mungkin bisa bilang, lewat film kami hendak menunjukkan bahwa ilmu hitam itu merugikan. Masyarakat jangan tergoda ilmu hitam. Namun dengan penggambaran fantastis B-film dan diragukannya literasi masyarakat Indonesia sendiri, pesan yang ditangkap menjadi parsial: tumbal dan santet is working, dikejar setan ah itu hanya di film!
ADVERTISEMENT
Yah, libur Lebaran kali ini, di antara sederetan film di bioskop hanya ada dua yang mungkin bisa dibilang feel good movie: Komang (drama romansa) dan Jumbo (animasi keluarga). Jangankan di bioskop, di layanan streaming pun, film Indonesia terbaru didominasi oleh film-film horor.
Ada hantu, tapi tidak horor (Sumber: Visinema)
Sama seperti lingkaran setan sumber cerita film horor menjadi sumber cerita baru yang diulang-ulang, industri film juga terjebak dalam lingkaran "masyarakat menyukai film horor maka produser terus menelurkan film horor meski murahan".
Mudah-mudahan, ke depannya sineas kita bisa membuat film – film yang lebih berkualitas dan menggeser preferensi masyarakat ke kisah kehidupan yang lebih inspiratif atau menjadi cermin yang lebih baik untuk kita refleksi diri.
ADVERTISEMENT