news-card-video
7 Ramadhan 1446 HJumat, 07 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Industri Kendaraan Listrik (EV) sebagai Pertempuran Ekonomi Jepang dan Tiongkok

Raissa Rahmadini
Students from the International Relations Study Program at Sriwijaya University who are concentrating on international trade diplomacy and international strategy and security studies.
6 Maret 2025 19:43 WIB
ยท
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raissa Rahmadini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Persaingan Sengit di Pasar Kendaraan Listrik
(Ilustrasi 1. Persaingan industri kendaraan listrik (EV) antara Jepang dan Tiongkok di Asia Tenggara) Sumber: Ilustrasi dibuat dengan AI.
zoom-in-whitePerbesar
(Ilustrasi 1. Persaingan industri kendaraan listrik (EV) antara Jepang dan Tiongkok di Asia Tenggara) Sumber: Ilustrasi dibuat dengan AI.
Industri kendaraan listrik (EV) di Asia Tenggara kini menjadi ajang pertarungan sengit antara dua kekuatan ekonomi global: Jepang dan Tiongkok. Dengan meningkatnya permintaan kendaraan listrik yang didorong oleh kesadaran lingkungan dan kebijakan pemerintah negara-negara ASEAN yang mengedepankan energi hijau, kawasan ini telah bertransformasi menjadi medan tempur bagi produsen otomotif raksasa. Tiongkok, dengan agresivitasnya dalam teknologi dan investasi besar-besaran, berhasil menguasai rantai pasok baterai dan menawarkan kendaraan listrik dengan harga yang sangat kompetitif.
ADVERTISEMENT
Melansir Nikkei Asia, ASEAN merupakan basis bagi beberapa pabrik pembuat mobil Jepang, termasuk Toyota dan Honda. Setiap tahunnya, lebih dari tiga juta kendaraan dirakit di kawasan Asia Tenggara oleh produsen mobil Jepang, yang menyumbang sekitar 80% dari total produksi di ASEAN. Sebagian besar kendaraan ini diekspor ke Timur Tengah dan berbagai wilayah lainnya. Di sisi lain, Jepang, yang telah lama mendominasi industri otomotif Asia, berusaha memanfaatkan reputasi dan pengalaman yang telah dibangun selama bertahun-tahun, dengan fokus pada inovasi seperti pengembangan baterai solid-state.
Namun, siapa yang lebih unggul dalam persaingan ini masih menjadi tanda tanya. Jepang memiliki kepercayaan pasar yang kuat dan pendekatan jangka panjang yang lebih stabil, sementara Tiongkok menawarkan kecepatan dalam inovasi dan produksi massal. Ketegangan ini menciptakan suasana kompetitif yang menarik, di mana kedua negara saling berusaha menarik perhatian konsumen dan pemerintah di kawasan ini. Dampak dari persaingan ini tidak hanya akan membentuk industri otomotif, tetapi juga mempengaruhi ekonomi dan kebijakan energi di seluruh Asia Tenggara, menciptakan tantangan dan peluang baru bagi semua pemangku kepentingan.
ADVERTISEMENT
Jepang: Raja Otomotif yang Terancam
Sejak lama, Jepang telah menjadi pemimpin dalam industri otomotif Asia Tenggara. Merek-merek seperti Toyota, Honda, dan Nissan menguasai pasar dengan teknologi yang andal dan efisiensi bahan bakar yang tinggi. Sebagian besar produsen Jepang lebih fokus pada teknologi hybrid dan hydrogen un, dalam revolusi kendaraan listrik, Jepang menghadapi tantangan besar. Fuel cell, sementara kendaraan listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) belum menjadi prioritas utama mereka. Akibatnya, ketika tren global mulai bergeser ke kendaraan listrik sepenuhnya, Jepang sedikit tertinggal dibandingkan pesaing utamanya, Tiongkok.
Selain itu, biaya produksi EV Jepang lebih mahal dibandingkan Tiongkok karena kurangnya skala ekonomi dalam produksi baterai dan keterbatasan akses ke bahan baku penting seperti litium dan nikel. Jepang juga masih bergantung pada pabrik konvensional, yang membuat transisi ke EV lebih lambat dibandingkan strategi ekspansi agresif Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, pendekatan Jepang dapat dianalisis melalui teori liberalisme, yang menekankan pentingnya kerja sama dan interdependensi ekonomi. Jepang aktif membangun aliansi dengan negara-negara ASEAN untuk menciptakan ekosistem EV yang stabil dan berkelanjutan, menunjukkan pendekatan kolaboratif dalam meningkatkan daya saing industrinya.
Tiongkok: Pemain Baru dengan Strategi Agresif
Di sisi lain, Tiongkok telah berkembang menjadi pemimpin global dalam produksi dan inovasi kendaraan listrik. Dengan dukungan besar dari pemerintahnya, perusahaan-perusahaan seperti BYD, Nio, Geely, dan Xpeng mampu menawarkan kendaraan listrik dengan harga lebih murah dan teknologi yang lebih maju.
Keunggulan utama Tiongkok dalam persaingan ini adalah:
ADVERTISEMENT
Misalnya, BYD telah menginvestasikan miliaran dolar untuk membangun pabrik di Thailand dan Indonesia, menjadikan kawasan ini sebagai basis produksi EV mereka. Dengan langkah ini, Tiongkok tidak hanya mendominasi pasar domestiknya tetapi juga memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara sebagai pusat produksi dan distribusi EV global.
Melihat dari apa yang terjadi, teori realisme dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana Tiongkok melihat industri EV sebagai alat untuk memperkuat posisinya sebagai kekuatan ekonomi global. Investasi besar-besaran Tiongkok tidak hanya bertujuan untuk menguasai pasar, tetapi juga untuk memperluas pengaruh strategisnya di kawasan, terutama dalam menghadapi persaingan dengan Jepang dan Barat.
Dari perspektif geopolitik dan industri, dominasi China dalam sektor kendaraan listrik juga didorong oleh kebijakan strategis pemerintahnya. Pemerintah China telah lama memberikan insentif besar untuk industri kendaraan listrik, mendorong investasi dalam teknologi baterai, dan membangun ekosistem yang mendukung pertumbuhan industri ini.
ADVERTISEMENT
Banyak negara ASEAN mulai tertarik dengan model EV buatan Tiongkok karena harganya yang lebih terjangkau dan inovasi teknologinya yang cepat berkembang. Keunggulan dalam teknologi baterai, terutama baterai LFP (lithium iron phosphate) yang lebih murah dan tahan lama, menjadi faktor utama yang mendorong keberhasilan EV Tiongkok di pasar internasional.
Langkah Jepang untuk Menghadapi Tantangan
Meskipun menghadapi tekanan besar dari ekspansi Tiongkok dalam industri kendaraan listrik (EV), Jepang tidak tinggal diam. Untuk mempertahankan dominasinya di Asia Tenggara, Jepang mulai mengambil langkah-langkah strategis yang dirancang untuk meningkatkan daya saing dan memastikan keberlanjutan industri otomotifnya. Dalam konteks persaingan yang semakin ketat ini, Jepang menyadari bahwa inovasi dan kolaborasi menjadi kunci untuk bertahan dan berkembang di pasar yang dinamis ini. Beberapa Langkah yang diambil oleh Jepang diantaranya:
ADVERTISEMENT
1. Investasi dalam Teknologi dan Produksi EV
Saat ini, Toyota dan Honda tengah mengambil langkah proaktif untuk mempercepat pengembangan kendaraan listrik sepenuhnya, menyadari bahwa mereka perlu beradaptasi dengan cepat dalam era di mana kendaraan listrik semakin diminati. Toyota, misalnya, memiliki rencana ambisius untuk meluncurkan baterai solid-state yang dijanjikan akan lebih efisien dibandingkan dengan baterai lithium-ion konvensional. Inovasi ini diharapkan akan memberikan keunggulan kompetitif, baik dari segi performa maupun biaya produksi.
Sementara itu, Nissan tidak tinggal diam. Perusahaan ini telah meluncurkan model EV yang cukup dikenal, yaitu Nissan Leaf, yang merupakan salah satu kendaraan listrik terlaris di pasar. Namun, Nissan menyadari bahwa untuk tetap bersaing, mereka perlu mengembangkan model kendaraan listrik yang lebih kompetitif dari segi harga. Oleh karena itu, Nissan sedang berupaya untuk menciptakan solusi yang memungkinkan mereka menawarkan kendaraan listrik dengan biaya yang lebih terjangkau, sehingga dapat menarik lebih banyak konsumen di pasar yang semakin ketat ini.
ADVERTISEMENT
Dengan berbagai upaya ini, baik Toyota maupun Nissan menunjukkan komitmen mereka untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga memimpin dalam perkembangan industri kendaraan listrik di Asia Tenggara.
2. Kolaborasi dengan Negara ASEAN
Jepang secara aktif menjalin kemitraan strategis dengan pemerintah negara-negara ASEAN untuk membangun infrastruktur yang mendukung pengembangan kendaraan listrik (EV). Salah satu fokus utama dari kolaborasi ini adalah pembangunan stasiun pengisian daya yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan pasar EV. Dengan meningkatnya jumlah kendaraan listrik di jalan, keberadaan stasiun pengisian yang memadai menjadi krusial untuk memberikan kenyamanan kepada pengguna dan mendorong adopsi yang lebih luas.
Selain itu, Jepang juga berupaya mendorong insentif bagi kendaraan listrik, sehingga dapat menarik lebih banyak konsumen untuk beralih dari kendaraan berbahan bakar fosil ke EV. Dengan adanya insentif ini, diharapkan akan tercipta lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan industri kendaraan listrik di kawasan.
ADVERTISEMENT
Thailand, sebagai salah satu pusat manufaktur otomotif di ASEAN, menjadi sorotan utama bagi produsen Jepang dalam mengembangkan ekosistem kendaraan listrik. Negara ini tidak hanya memiliki infrastruktur yang mendukung, tetapi juga kebijakan yang memfasilitasi investasi dalam sektor otomotif. Jepang melihat Thailand sebagai lokasi strategis untuk memperluas produksi kendaraan listrik dan memenuhi permintaan yang terus meningkat di kawasan ini. Dengan kerjasama yang erat, Jepang dan Thailand berharap dapat menciptakan ekosistem kendaraan listrik yang berkelanjutan, yang tidak hanya menguntungkan kedua belah pihak, tetapi juga meningkatkan daya saing di pasar global.
3. Mengamankan Rantai Pasok Global
Dalam upayanya untuk tetap kompetitif di industri kendaraan listrik (EV), Jepang memahami pentingnya mengamankan rantai pasok global. Ketergantungan pada baterai buatan Tiongkok telah menjadi titik lemah yang harus diatasi, mengingat dominasi Tiongkok dalam produksi baterai lithium dan komponen lainnya. Oleh karena itu, Jepang menjalin kerjasama strategis dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa untuk mengurangi ketergantungan ini dan memperkuat posisi mereka di pasar global.
ADVERTISEMENT
Salah satu langkah konkret yang diambil Jepang adalah berinvestasi di sektor pertambangan, terutama dalam eksplorasi dan pengembangan sumber daya mineral yang krusial bagi produksi baterai, seperti lithium, kobalt, dan nikel. Dengan menjalin kemitraan dengan negara-negara penghasil mineral ini, Jepang berusaha untuk memastikan pasokan yang stabil dan berkelanjutan. Misalnya, kerjasama dengan negara-negara di Afrika dan Australia yang kaya akan sumber daya mineral ini menjadi bagian dari strategi jangka panjang Jepang untuk membangun rantai pasok yang lebih mandiri.
Selain itu, Jepang juga berinvestasi dalam inovasi teknologi baterai. Pengembangan baterai solid-state menjadi fokus utama, karena teknologi ini menjanjikan efisiensi yang lebih tinggi dan keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan baterai lithium-ion konvensional. Dengan teknologi yang lebih unggul, Jepang berharap dapat memproduksi kendaraan listrik yang lebih menarik bagi konsumen sekaligus mengurangi biaya produksi.
ADVERTISEMENT
Melalui langkah-langkah ini, Jepang tidak hanya berusaha untuk mengurangi ketergantungan pada Tiongkok, tetapi juga untuk membangun ekosistem yang lebih terintegrasi dan resilien dalam produksi EV. Dengan mengamankan pasokan bahan baku dan berinvestasi dalam teknologi mutakhir, Jepang berupaya untuk meningkatkan daya saingnya di pasar kendaraan listrik global. Fokus pada keberlanjutan dan inovasi ini diharapkan akan menghasilkan keuntungan jangka panjang, baik bagi industri otomotif Jepang maupun bagi konsumen yang semakin peduli dengan aspek lingkungan dari kendaraan yang mereka pilih.
Dampak bagi Asia Tenggara: Peluang atau Dilema?
Bagi negara-negara Asia Tenggara, persaingan antara Jepang dan Tiongkok dalam industri kendaraan listrik (EV) membawa dampak yang beragam. Di satu sisi, investasi besar dari kedua negara tersebut menciptakan lapangan kerja, meningkatkan transfer teknologi, dan mempercepat transisi ke energi bersih. Hal ini sejalan dengan komitmen negara-negara ASEAN untuk mengurangi emisi karbon dan mempromosikan kendaraan ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Namun, di sisi lain, negara-negara ASEAN menghadapi dilema dalam memilih mitra strategis. Ketergantungan pada salah satu negara dapat menimbulkan risiko, terutama dalam konteks geopolitik yang semakin kompleks. Mari kita lihat beberapa contoh spesifik dari negara-negara di kawasan ini:
a) Indonesia
Sebagai produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia menjadi rebutan antara Jepang dan Tiongkok untuk pasokan baterai EV. Nikel merupakan bahan baku krusial dalam produksi baterai lithium, sehingga penguasaan sumber daya ini sangat penting. Pemerintah Indonesia kini tengah mengembangkan strategi hilirisasi nikel, yang akan memungkinkan mereka untuk lebih mengontrol rantai pasok EV dan meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alamnya. Dengan demikian, Indonesia berupaya untuk tidak hanya menjadi penyedia bahan mentah, tetapi juga berperan lebih besar dalam industri EV global.
ADVERTISEMENT
b) Thailand
Negara ini telah menjadi pusat manufaktur otomotif di ASEAN dan menawarkan berbagai insentif bagi produsen EV. Hal ini menarik perhatian produsen besar seperti BYD dari Tiongkok, yang berinvestasi besar-besaran untuk membangun fasilitas produksi. Dengan kebijakan yang mendukung, Thailand berpotensi menjadi pusat produksi EV di kawasan ini, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
c) Vietnam
Di tengah persaingan ini, Vietnam sedang mengembangkan produsen kendaraan listrik lokal, VinFast. Dengan dukungan dari investor global, VinFast berambisi untuk menjadi pesaing baru bagi Jepang dan Tiongkok di pasar EV. Strategi ini tidak hanya akan memperkuat posisi Vietnam dalam industri otomotif, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Melihat persoalan bagaimana kemudian Jepang dan Tiongkok tidak hanya bersaing, tetapi juga saling berinteraksi dalam sistem ekonomi yang kompleks, kita dapat memahami Teori Kompleks Interdependensi dari Keohane dan Nye yang juga relevan. Negara-negara ASEAN diuntungkan dari investasi kedua negara, tetapi juga menghadapi dilema dalam menentukan mitra utama dalam pengembangan industri EV.
ADVERTISEMENT
Misalnya, Vietnam menerima investasi besar dari Tiongkok dalam produksi baterai EV, tetapi di sisi lain, negara seperti Indonesia lebih banyak bekerja sama dengan Jepang dalam proyek pembangunan ekosistem EV. Situasi ini menunjukkan bahwa hubungan antarnegara dalam industri EV tidak hanya didasarkan pada kekuatan politik, tetapi juga pada interdependensi ekonomi dan teknologi.
Meskipun ASEAN mendapat manfaat dari meningkatnya persaingan ini, negara-negara di kawasan tersebut harus berhati-hati dalam mengelola ketergantungan terhadap satu pihak. Terjebak dalam monopoli ekonomi dari Jepang atau Tiongkok dapat mengurangi fleksibilitas dan kemandirian ekonomi negara-negara ASEAN. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk mempertimbangkan aspek-aspek strategis dalam memilih mitra dan mengembangkan kebijakan yang dapat memaksimalkan keuntungan dari investasi asing tanpa kehilangan kendali atas sumber daya dan industri domestik.
ADVERTISEMENT
Siapa yang Akan Menang?
Persaingan antara Jepang dan Tiongkok dalam industri kendaraan listrik (EV) di Asia Tenggara masih jauh dari kata selesai, dan dinamika ini menciptakan ketegangan serta peluang yang signifikan. Saat ini, Tiongkok unggul dalam produksi massal dan teknologi, terutama dalam hal efisiensi biaya dan kapasitas produksi. Dengan fasilitas manufaktur yang besar dan teknologi yang terus berkembang, Tiongkok telah menjadi pemimpin dalam memproduksi kendaraan listrik murah yang dapat diakses oleh berbagai kalangan konsumen. Keunggulan ini diperkuat oleh penguasaan Tiongkok atas rantai pasok baterai, di mana mereka mengendalikan sebagian besar pasokan bahan baku dan proses produksi yang diperlukan untuk membuat baterai lithium-ion.
Di sisi lain, Jepang masih memiliki kepercayaan pasar yang kuat dan strategi jangka panjang yang dirancang untuk mengejar ketertinggalan. Merek-merek otomotif Jepang seperti Toyota dan Nissan telah lama dikenal dengan reputasi mereka dalam hal kualitas dan teknologi. Jepang berfokus pada inovasi yang berkelanjutan, termasuk pengembangan baterai solid-state, yang menjanjikan efisiensi lebih tinggi dan keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan teknologi baterai yang ada saat ini. Pendekatan ini mencerminkan komitmen Jepang untuk tidak hanya bersaing dalam jumlah, tetapi juga dalam kualitas dan inovasi.
ADVERTISEMENT
Satu faktor penting yang akan menentukan pemenang akhir dari persaingan ini adalah kemampuan masing-masing negara untuk menyesuaikan strategi mereka terhadap perubahan permintaan pasar dan kebijakan energi di masa depan. Dengan meningkatnya kesadaran akan isu lingkungan dan perubahan iklim, permintaan untuk kendaraan listrik yang lebih bersih dan efisien akan terus meningkat. Negara-negara di Asia Tenggara juga mulai mengimplementasikan kebijakan yang mendukung adopsi teknologi hijau, yang dapat menguntungkan produsen yang mampu berinovasi dan beradaptasi dengan cepat.
Selain itu, aliansi global dan kemitraan strategis juga akan memainkan peran penting dalam menentukan keunggulan kompetitif. Jepang telah berinvestasi dalam kemitraan dengan negara-negara ASEAN dan produsen lokal, yang memungkinkan mereka untuk membangun ekosistem yang lebih kuat dan saling menguntungkan. Sementara itu, Tiongkok terus mencari cara untuk memperluas pengaruhnya melalui investasi langsung dan proyek infrastruktur, yang dapat memberikan akses ke pasar yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Konsep hegemoni (Robert Keohane) dapat digunakan untuk melihat bagaimana Tiongkok berupaya menjadi pemimpin global dalam industri kendaraan listrik. Dengan dominasi dalam produksi baterai dan infrastruktur, Tiongkok sedang membangun hegemoni baru yang menantang dominasi Jepang.
Namun, teori dependensi juga perlu dipertimbangkan. Negara-negara Asia Tenggara yang terlalu bergantung pada investasi Jepang atau Tiongkok dapat menghadapi risiko ketergantungan ekonomi. Misalnya, jika industri EV di suatu negara terlalu bergantung pada teknologi baterai dari Tiongkok, maka negara tersebut akan sulit mengembangkan industri domestiknya secara mandiri.
Namun, satu hal yang pasti: pertarungan ini akan terus membentuk masa depan industri otomotif di Asia Tenggara. Dampak dari persaingan ini tidak hanya akan dirasakan oleh perusahaan-perusahaan otomotif, tetapi juga akan mempengaruhi ekonomi dan kebijakan energi kawasan secara keseluruhan. Masyarakat Asia Tenggara akan menghadapi pilihan yang lebih beragam dalam hal kendaraan listrik, sementara pemerintah akan dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan kebijakan yang mendukung transisi menuju energi bersih. Dalam konteks ini, keberhasilan salah satu negara tidak hanya akan berdampak pada industri otomotif, tetapi juga pada aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan di seluruh kawasan.
ADVERTISEMENT
Referensi:
๐Ÿš€ Bagaimana menurut kamu? Apakah Jepang masih bisa mengejar ketertinggalan dari Tiongkok dalam revolusi kendaraan listrik ini? Tulis pendapatmu di kolom komentar! ๐Ÿ˜‰