Konten dari Pengguna

Promosi Bikin Risih

raisya rizaldi
padjadjaran university student
22 Mei 2021 16:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari raisya rizaldi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era yang sudah serba praktis, hampir semua orang tidak melewati kegiatan menggeser media sosial dalam harinya. Apalagi selama pandemi ini apa saja dikerjakan dan diakses dari rumah. Bekerja, sekolah, kuliah, belanja, berdagang, semua sangat bergantung pada teknologi agar tetap berjalan. Sepertinya sudah tidak berlaku lagi istilah melihat dunia dari jendela, lebih cocok disebut melihat dunia dari layar gawai. Pasti juga di antara warganet tidak jarang muncul perasaan seperti ada tugas yang terlewat jika belum membuka dunia maya.
ADVERTISEMENT
Tidak berkegiatan rutin di luar rumah —meskipun dibebani oleh tanggung jawab work from home yang sangat menguras waktu, memberikan segelintir waktu luang. Secara kolektif masyarakat pengguna internet hijrah ke aplikasi ini. Tidak bisa dipungkiri kalau ini sudah menjadi tren bagi semua orang dari berbagai kalangan untuk menghabiskan waktu masing-masing. Apabila anda menebak aplikasi TikTok, maka anda benar. Jujur saja setelah satu tahun menggunakan aplikasi ini seringkali muncul pertanyaan seperti, “apa sih yang gak ada di sini?”
Di luar konten lucu dan menari seadanya di atas lagu hits, ada satu genre video yang ramai mundar-mandir. Ialah konten mempromosikan usaha kecil yang dirintis oleh pengguna media ini, biasanya dengan slogan support small businesses. Mengingat Tiktok juara umum arus lalu lintas yang padat, tentunya menjadi lokasi yang strategis untuk pemasaran produk terutama untuk pengusaha kecil yang tidak bisa memasang iklan di media massa. Selain harus mengeluarkan biaya mahal dan tenaga yang besar, tidak menjamin produk bisa menarik mata pelanggan jika disandingkan dengan brand besar.
ADVERTISEMENT
Bahkan dari kacamata kaum awam bisnis seperti saya, promosi pakai video singkat yang bisa masuk ke dinding akun publik sangatlah menggairahkan. Sebelum ini, biasanya mayoritas pemilik toko daring berbondong-bondong untuk menghubungi artis atau selebgram pemilik banyak pengikut media sosial untuk berpose dengan produk mereka. Meskipun tetap saja, dari jasa yang disediakan datang tarif yang tidak kecil. Semakin besar audiensnya dan semakin bagus kualitas konten promosinya, maka semakin tinggi juga biaya yang harus dikeluarkan. Setidaknya kan, dengan adanya lapak baru ini pengeluaran pebisnis lokal bisa berkurang.
Selain itu kalau dipukul rata, siapa yang tidak merasa mulia sesudah membantu para pengusaha kecil dengan membeli produk mereka? Mendapatkan barang yang dibutuhkan—atau hanya diinginkan, sambil meningkatkan penjualan bisnis independen.
ADVERTISEMENT
Namun patut disayangkan ada sekian faktor yang membuat penonton merasa jengkel dan membalikkan badan alih-alih melakukan transaksi. Pernyataan ini bisa dengan percaya diri dikatakan karena sangat jelas keberadaannya. Di dunia yang menganut kebebasan berpendapat seakan mempersilakan pemirsa Tiktok mengutarakan isi pikirannya.
“Yah, guilt tripping lagi…”
Kutipan tersebut adalah salah satu ekspresi yang umum digunakan netizen kala bertemu dengan konten seperti ini. Jelasnya, video promosi yang menerapkan strategi guilt tripping. Di mana kreator iklan menarasikan karyanya dengan kalimat-kalimat yang memojokkan audiens jika tidak membeli produk mereka. Misal, “apa video ku kurang menarik di mata kalian?” atau seperti, “[...] aku udah siapin bahan packing tapi sampai sekarang belum ada yang beli,” bahkan bisa juga, “di usia ku yang masih segini, harus bersekolah sambil merintis bisnis [...]” dan banyak lagi. Mendengar pernyataan seperti itu sebenarnya membingungkan, memangnya mereka memulai bisnis disuruh siapa?
ADVERTISEMENT
Mengacu pada beberapa jurnal maupun artikel yang membahas tentang teknik pemasaran, strategi ini eksistensinya lumayan umum. Sudah sering dipakai dan terbukti efektif sampai batas tertentu. Dimulai dari sedikit memancing emosi publik agar muncul guilt atau perasaan bersalah. Suasana hati seperti ini tidak melulu timbul karena konsekuensi negatif, tapi bisa juga akibat perasaan tanggung jawab akan hasil atau dampak dari suatu perbuatan. Reaksi emosional publik bisa menarik mereka untuk menjadi konsumen, juga menjadi objek perancangan strategi pemasaran selanjutnya.
Dari contoh yang beredar, sistem ini lebih tepat sasaran ketika dipergunakan untuk mempromosikan program amal atau kegiatan yang berbau kemanusiaan. Hati audiens lebih mudah tergerak karena konten guilt trip dalam konteks ini memiliki tujuan yang jelas. Berbeda dengan bisnis online yang tadi sudah dijelaskan. Ketika menggunakan taktik promosi ini, yang sampai kepada penonton justru perasaan menuntut untuk membeli produk mereka.
Dokumentasi pribadi.
Lagipula tanpa kita mengamati dengan baik, bisa terlihat secara eksplisit barang yang dijual termasuk ke golongan tersier. Rasanya barang yang mengandalkan bungkus cantik tidak bisa dijadikan prioritas, kala masyarakat dilanda keterbatasan di masa seperti ini. Bisa jadi kenyataan ini salah satu penyebab mengapa banyak calon konsumen merasa jengah karena terpojokkan ketika bertemu dengan sistem tersebut.
ADVERTISEMENT