Konten dari Pengguna

Undang-Undang Hak Cipta vs Pembajakan Film: Apakah Hukum Cukup Kuat?

Rai Yananndika Putra
A Legal Enthusiast - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
16 September 2024 14:22 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rai Yananndika Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Hukum (Gambar oleh Towfiqu barbhuiya/Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hukum (Gambar oleh Towfiqu barbhuiya/Pexels)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembajakan film di Indonesia telah menjadi masalah serius yang merugikan industri kreatif dan pemegang hak cipta. Meskipun pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta untuk melindungi karya sinematografi dan hak ekonomi pencipta, praktik pembajakan masih marak terjadi, terutama melalui platform digital. Karya-karya film seringkali didistribusikan secara ilegal terutama di situs streaming, yang mengakibatkan kerugian bagi pemegang Hak Cipta. Pertanyaan besar yang muncul adalah Apakah hukum yang ada cukup kuat untuk menangani masalah ini? Artikel ini akan membahas efektivitas UU Hak Cipta dalam memerangi pembajakan film serta peran pemerintah dalam penegakan hukum di era digital.
ADVERTISEMENT
Apa itu hak cipta dalam dunia per-Filman?
Pesatnya perkembangan teknologi dunia memudahkan setiap orang untuk mendapatkan informasi ataupun akses terhadap suatu hal. Hal ini juga berlaku terhadap pelanggaran – pelanggaran yang terjadi pada hak cipta. Lahirnya Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta bertujuan untuk melindungi hak – hak para pencipta yang dilanggar oleh oknum – oknum tertentu. Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 dikatakan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan perundang undangan. Hak cipta yang merupakan hak eksklusif adalah hak yang hanya diperuntukkan bagi Pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin Pencipta. Pemegang Hak Cipta yang bukan Pencipta hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif berupa hak ekonomi. Hal ini berarti hak moral tidak dapat dialihkan kepada pihak lain karena melekat pada diri pencipta atau pemegang hak cipta. Hak cipta sebagai hak eksklusif terdiri dari :
ADVERTISEMENT
1. Hak Moral
Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk :
Hak moral tidak dapat dialihkan selama pencipta masih hidup, tetapi pelaksanaan hak dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan setelah pencipta meninggal dunia.
2. Hak Ekonomi
Hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan :
ADVERTISEMENT
Pembajakan Film sebagai bentuk Pelanggaran Hak Cipta
Hak cipta memberikan perlindungan bagi pemiliknya untuk membatasi penggunaan dan mencegah pemanfaatan tidak sah atas ciptaannya oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Berdasarkan Pasal 40 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, karya-karya yang dilindungi mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, termasuk karya sinematografi seperti film. Film, sebagai salah satu bentuk karya cipta, dilindungi sebagai kekayaan intelektual yang melekat pada pencipta. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, film adalah karya cipta seni budaya yang berfungsi sebagai pranata sosial dan media komunikasi massa, yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi, baik dengan suara maupun tanpa suara, dan ditampilkan untuk publik. Salah satu bentuk pelanggaran hak cipta yang paling umum adalah pembajakan film, baik dalam bentuk penggandaan, pembocoran, pendistribusian ilegal, maupun streaming tanpa izin. Selain itu, ilegal downloading juga termasuk pelanggaran hak cipta, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pelanggaran-pelanggaran ini dapat menimbulkan kerugian besar, tidak hanya bagi pemegang hak cipta, tetapi juga bagi pemerintah. Kerugian yang dialami oleh pemegang hak cipta salah satunya adalah hilangnya royalti yang seharusnya mereka terima. Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi dari suatu ciptaan, yang seharusnya menjadi sumber pemasukan bagi pencipta atau pemilik hak terkait. Royalti ini diberikan ketika karya diperbanyak, diproduksi, atau dijual.
ADVERTISEMENT
Upaya Hukum Dalam Pelanggaran Hak Cipta
Cara penanggulangan yang dapat dilakukan pemerintah terhadap tindakan-tindakan pelanggaran seperti pembajakan film, penggandaan, maupun pembocoran hak cipta tersebut yang mengakibatkan kerugian kepada pemegang hak cipta atau pencipta ialah dengan memblokir situs-situs, ataupun website yang ada secara ilegal. Adapun cara penanggulangan yang menimbulkan kerugian tersebut dibutuhkan penegakan sanksi hukum yang tegas dan jelas agar pihak-pihak yang melakukan tindakan tersebut dapat jera dan sadar sehingga tidak mengulangi kesalahan terhadap pelanggaran hak cipta lagi. Penegakan perlindungan hukum dapat dilakukan melalui upaya :
1. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberi batasan dalam melakukan suatu kewajiban. Dalam hal ini pemerintah sudah melakukan upaya preventif untuk mengurangi tindakan pelanggaran hak cipta berupa Undang- Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang dimana di dalamnya memberikan perlindungan-perlindungan terhadap pencipta. Dalam Pasal 54-56 dalam Undang-Undang Hak Cipta menjelaskan untuk mencegah pelanggaran hak cipta dan hak terkait melalui sarana berbasis teknologi maka pemerintah berwewenang melakukan pengawasan terhadap pembuatan serta penyebarluasan konten, kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dan pengawasan terhadap tindakan perekaman dengan menggunakan media apa pun terhadap ciptaan dan produk hak terkait di tempat pertunjukan seperti di bioskop. Sehingga untuk memberikan perlindungan maka pemerintah membuat Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 14 Tahun 2015 dan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 26 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan/atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam Sistem Elektronik.
ADVERTISEMENT
2. Perlindungan Hukum Represif
a. Upaya Non Litigasi
Upaya ini memiliki tujuan untuk melakukan penyelesaian di luar pengadilan dengan melakukan pendekatan di luar pengadilan yang melakukan komunikasi serta negosiasi antara para pihak guna untuk mencapai kesepakatan bersama yang menjadikan suatu aturan atau pelaksanaan perintah bagi para pihak untuk dilakukan atau menempuh upaya non-litigasi tersebut terhadap pihak yang dirugikan. Upaya non-litigasi ini dapat disebut dengan istilah lain sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa yang terdiri dari negosiasi, mediasi serta konsiliasi.
b. Upaya Litigasi
Upaya yang dilakukan melalui jalur pengadilan dengan mengikuti aturan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Adapun bentuk upaya yang dapat dilakukan dalam Litigasi ini yaitu dapat melalui Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan dapat ditempuh jalur Arbitrase sebagai salah satu bentuk dari penyelesaian sengketa. Pengaturan mengenai perlindungan pidana tertuang dalam Pasal 120 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur mengenai bahwa setiap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang merupakan delik aduan. Kemudian secara jelas dapat diberikan untuk pencipta atau pemegang hak cipta sebenarnya telah tertuang dalam Pasal 9 Ayat (1) UUHC terdapat hak ekonomi dari pencipta atau pemegang hak untuk mendistribusikan, menerbitkan, mempertunjukkan, menggandakan, menerjemahkan, mengadaptasi, mengumumkan, mengkomunikasikan serta menyewakan. Selanjutnya dalam Pasal 9 Ayat (2) dan Ayat (3) UUHC disebutkan bahwa setiap orang yang menggunakan hak ekonomi yang sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 Ayat (1) wajib mendapat izin dari sang pencipta atau pemegang hak cipta dan dilarang untuk melakukan penggandaan serta penggunaan secara komersial. Dengan demikian apabila terjadi pembajakan yaitu seperti mempertunjukkan dalam situs internet tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta sudah merupakan suatu pelanggaran hak cipta. Pada Pasal 113 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang mengatur mengenai mempertunjukkan serta pembajakan tanpa izin terkait perlanggaran hak cipta dalam situs di internet. Pembajakan film dalam situs di internet juga diatur dalam Pasal 32 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak dan melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik pribadi atau milik umum. Sehingga, jika terjadi pelanggaran hak cipta dalam situs internet dapat dikenakan Pasal 48 UU ITE dengan pidana penjara 8 tahun dan denda 2 miliar rupiah.
ADVERTISEMENT
Peran Pemerintah dalam Menangani Kasus Pelanggaran Hak Cipta
Di era digital, perlindungan hak cipta menjadi tantangan besar karena kemajuan teknologi yang belum sepenuhnya dikuasai. Karya yang dilindungi hak cipta dapat dengan mudah direplikasi, dimodifikasi, dan disebarluaskan tanpa izin dari pencipta atau pemilik hak cipta. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam penegakan hukum sangat penting untuk memastikan perlindungan hak cipta berjalan efektif. Perlindungan hak cipta di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menggantikan UU Nomor 19 Tahun 2002. Undang-undang ini melindungi hak moral dan hak ekonomi para pencipta. Meskipun UU Hak Cipta tidak secara langsung menetapkan negara sebagai pengawas pelanggaran hak cipta, peran pemerintah dijelaskan dalam Pasal 54 yang memberikan wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten yang melanggar hak cipta. Pengawasan ini dapat dilakukan melalui upaya preventif dan represif. Upaya preventif bertujuan untuk mencegah pelanggaran sebelum terjadi. Pemerintah menyusun undang-undang untuk mengatur hak cipta dan memberikan kesempatan kepada pemegang hak untuk memberikan pendapat sebelum tindakan diambil. Salah satu langkah preventif yang dilakukan adalah sosialisasi peraturan perundang-undangan kepada masyarakat. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus lebih proaktif dalam menyebarluaskan informasi mengenai hak cipta melalui media cetak dan elektronik, seperti televisi, media sosial, serta platform lainnya. Pemerintah juga berperan dalam penutupan konten ilegal yang melanggar hak cipta. Tindakan ini dilakukan melalui kerja sama antara Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), seperti yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM No. 14 Tahun 2015 dan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 26 Tahun 2015.
ADVERTISEMENT
Selain upaya preventif, pemerintah juga melaksanakan upaya represif setelah terjadi pelanggaran. Pemerintah menerima laporan terkait pelanggaran hak cipta melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJHKI), sebuah unit di bawah Kementerian Hukum dan HAM. DJHKI memiliki tugas untuk merumuskan kebijakan, menyelesaikan sengketa, dan menangani laporan pelanggaran hak kekayaan intelektual.Ketika laporan terbukti, Kominfo bekerja sama dengan DJHKI untuk memblokir konten yang melanggar hak cipta. Data menunjukkan bahwa Kominfo berhasil memblokir sejumlah besar situs yang melanggar hak cipta. Contohnya, pada tahun 2017 terdapat 190 konten yang diblokir, meningkat menjadi 412 konten pada tahun 2018, dan 1.143 konten pada tahun 2019. Selain itu, Kominfo juga memblokir lebih dari 2.300 situs streaming pembajakan sejak 2019, bekerja sama dengan Video Coalition of Indonesia (VCI). Pelanggaran hak cipta dapat dijerat hukum melalui UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pelanggar dapat dikenakan pidana hingga 10 tahun penjara dan denda hingga 4 miliar rupiah, seperti yang diatur dalam Pasal 113 Ayat (3) dan (4) UU Hak Cipta. Meskipun regulasi telah diperketat, pelanggaran hak cipta di Indonesia masih sering terjadi, terutama dalam bentuk pembajakan film di situs ilegal dan media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum belum sepenuhnya efektif, baik dalam ruang lingkup online maupun offline. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menghormati hak cipta juga turut menjadi hambatan dalam pemberantasan pelanggaran. Peran pemerintah sangat penting dalam menegakkan perlindungan hak cipta di Indonesia, baik melalui upaya preventif seperti sosialisasi dan pengawasan, maupun upaya represif berupa penutupan konten ilegal dan penegakan hukum. Namun, efektivitas dari langkah-langkah ini masih memerlukan perbaikan, terutama dalam penegakan hukum yang lebih tegas dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menghormati hak cipta. Tanpa penegakan yang konsisten, pelanggaran hak cipta seperti pembajakan akan terus merugikan pencipta dan mempengaruhi kualitas industri kreatif di Indonesia.
ADVERTISEMENT