Konten dari Pengguna

ASN dalam Kontestasi Politik: Tetap Netral, tetapi Pragmatis Total

Raja Pranatha
ASN yang sedang Tugas Belajar di Kampusnya Kemenkeu
25 April 2023 19:59 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raja Pranatha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petugas KPPS menyiapkan surat suara pada pemungutan suara ulang di TPS 71, Cempaka Putih, Tangerang Selatan. Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Petugas KPPS menyiapkan surat suara pada pemungutan suara ulang di TPS 71, Cempaka Putih, Tangerang Selatan. Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sekitar satu tahun lagi, pemilu dan pilkada serentak akan dilaksanakan. Pesta demokrasi terbesar di Indonesia, ketika rakyat menentukan siapa yang akan mewakili mereka di parlemen, dan yang akan memimpin mereka di tingkat daerah maupun nasional. Salah satu bagian dari rakyat tersebut, adalah Aparatur Sipil Negara, profesi pekerja publik yang digaji oleh negara.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan ASN dalam pemilihan umum dan berbagai kontestasi politik diatur secara ketat demi menjaga netralitas mereka. ASN yang katanya ‘abdi negara’ dalam dikotomi klasik yang salah, diharuskan untuk loyal bekerja terlepas siapa pun yang nanti terpilih di atas sana sebagai legislator atau pemimpin. Setidaknya ada dua aturan hukum yang mengharuskan netralitas ASN di setiap pemilihan umum yaitu:
Kedua aturan ini dengan jelas melarang ASN untuk terlibat aktif dalam keberpihakan kepada suatu calon atau partai politik, apalagi langsung terjun ke dalam politik praktis. ASN harus netral agar tetap fokus dan loyal dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab mereka. Pelanggaran terhadap berbagai aturan tersebut bisa dikenakan sanksi disiplin sesuatu dengan aturan yang berlaku.
ADVERTISEMENT

Netral Wajib, Pragmatis Harus

ASN memang diharamkan untuk berpartisipasi aktif dalam politik praktis tetapi bukan berarti ASN tidak memedulikan politik. Hanya karena ASN tidak boleh menunjukkan keberpihakan secara jelas kepada suatu calon, bukan berarti ASN tidak boleh ikut dalam pemilu/pilkada sebagai pemilih.
Hingga detik ini belum ada larangan bagi ASN untuk masuk ke bilik suara dan mencoblos. Asas ‘bebas’ pada pemilu juga berlaku bagi ASN. ASN bebas mau memilih siapa pun sepanjang tidak secara jelas menunjukkan siapa yang mereka pilih dan tidak mengkampanyekan siapa yang mereka coblos. Apa artinya ini? Artinya 4,2 juta ASN di Indonesia juga berhak menentukan nasib mereka ke depannya melalui calon presiden atau legislatif yang mereka pilih.
ADVERTISEMENT
ASN wajib hukumnya untuk paham politik. Aristoteles sendiri mengartikan politik sebagai usaha warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Pandangan klasik menyatakan politik sebagai alat yang seharusnya digunakan masyarakat untuk mencapai kepentingan umum bersama yang memiliki nilai moral yang lebih tinggi.
ASN adalah warga negara dan ASN juga adalah masyarakat, sehingga ASN juga berhak untuk mewujudkan kebaikan bagi sesama ASN dan memperjuangkan kepentingan sesama ASN. Salah satu caranya adalah dengan memilih calon presiden atau legislatif yang memang menyuarakan kepentingan ASN dalam program-programnya. Ya, ASN harus tetap pragmatis di tengah tekanan untuk tetap netral.
Banyak sekali isu mengenai ASN yang krusial seperti kesejahteraan yang minim, ketimpangan ekstrem dengan instansi tertentu, pola mutasi, kenaikan pangkat jabatan, kesempatan pengembangan diri, dan lain-lain. Isu kesejahteraan yang minim dan ketimpangan pendapatan adalah salah satu isu sentral yang terus menerus disuarakan oleh segenap umbi ASN di media sosial, dan semakin panas dengan peristiwa yang terjadi 1-2 bulan belakangan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, isu kesejahteraan dan ketimpangan ASN jarang sekali disuarakan oleh para politisi, karena memang tidak sexy dan cenderung tidak populis karena ASN sendiri semakin mendapat stigma negatif dari masyarakat awam. Nah, justru terkait hal itu lah ASN harusnya tidak ambil pusing. ASN harus pragmatis dan fokus pada kepentingannya selalu pekerja publik. ASN harus benar-benar melihat siapa saja calon presiden atau calon legislatif yang membawa isu ASN ke dalam program kerjanya.
ASN harus benar-benar menilai gagasan dan ide-ide yang disampaikan oleh capres atau caleg dan jika tidak memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan pendapatan bagi ASN, skip saja. Minimal, pilihlah calon presiden atau calon legislatif yang menyenggol tipis mengenai kesejahteraan ASN yang minim dan ketimpangan pendapatan ekstrem, itu berarti mereka sadar ada yang cacat dalam birokrasi sehingga kita selaku ASN memiliki harapan pada mereka.
ADVERTISEMENT
Memang, ini menjadi effort besar bagi kita untuk membaca dan menilai program serta gagasan mereka, tetapi bukannya sudah selayaknya kita seperti itu jika kita mau dianggap pemilih cerdas? Bukankah sudah selayaknya seperti itu jika kita selaku ASN memang mau diangkat harkat dan derajatnya oleh pemerintah?

Politik Identitas sudah Usang

Benda bernama “politik identitas” memang masih sulit dilepaskan dari kontestasi politik kita selaku negara berkembang yang masih belajar demokrasi dengan benar. ASN golongan boomer yang pada umumnya masih saja terpaku pada kesamaan suku dan agama dalam memilih calon presiden atau calon legislatif. Konservatisme masih dirasakan ketika berdiskusi dengan sesama ASN yang lebih senior atau lebih tua.
Sulit untuk mengajak mereka berdiskusi atau berdialog mengenai politik dalam bingkai pragmatisme. Sulit untuk menghentikan mereka untuk membicarakan suku dan agama di masa-masa menjelang pemilu. Peluang besar untuk bersikap rasional dan cerdas justru ada pada ASN-ASN muda yang masih semangat bekerja dan ‘mengabdi’. Sangat disayangkan jika anak muda ini masih saja mempertimbangkan agama dan suku dalam memilih caleg atau capres.
ADVERTISEMENT
Kesamaan suku dan agama SAMA sekali tidak membantu ASN untuk bisa hidup sejahtera dengan penghasilan yang layak. Jangan mau diadu domba dan dipecah belah oleh politisi atau calon yang licik, yang sekadar membutuhkan rakyat sebagai lumbung suara. ASN harus pragmatis atas kepentingannya semata. ASN harus melakukan analisis dalam atas program-program kerja yang diusulkan capres atau caleg, tidak peduli apa pun agama yang dia anut, dan tidak peduluisuku apakah dia.
Logikanya, jika setiap pemilih dianggap satu suara terlepas dari apa pun keyakinan dan sukunya, mengapa kita selaku pemilih memperlakukan dan membeda-bedakan para caleg dan capres berdasarkan identitasnya. Mereka semua sama, sama-sama orang Indonesia yang ingin dipilih dan menang, tinggal kita memilih siapa yang memperjuangkan kita.
ADVERTISEMENT
Hanya karena dia beragama X, bukan berarti serta merta dia akan memperjuangkan kepentingan pemilik agama X. Hanya karena dia suku Y, bukan berarti dia serta merta akan memperjuangkan orang bersuku Y. Ingat, kita ini hanya lumbung suara di hadapan mereka yang mengadu domba dan meraup untung melalui identitas. Bersikap cerdas lah dalam memilih dan membedakan para calon dari program yang dibawanya. Pilihlah yang benar-benar memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan pendapatan ASN.

Cerdas dan Waras

ASN harus cerdas. ASN harus waras. Jangan pernah mau diakali dengan politik identitas, apalagi politik uang. Mereka yang kita pilih akan menentukan nasib kita lima tahun ke depan, atau bahkan mungkin sepuluh tahun ke depan. Sudah cukuplah kita menjadi ‘pesakitan’ melalui stigma buruk yang dialamatkan masyarakat kepada kita dan diperparah oleh bureaucracy bashing yang dilakukan para politisi. Pilihlah dia yang ingin kalian sejahtera, karena dengan itulah kita bisa menaruh asa atas nasib kita.
ADVERTISEMENT