Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memperjuangkan Kesejahteraan ASN Melalui Collective Bargaining Power
20 Mei 2023 17:14 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Raja Pranatha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jagat media sosial selalu dipenuhi kisruh mengenai masih banyaknya ASN yang belum sejahtera di Indonesia, yang menerima penghasilan minim bahkan sangat timpang jika dibandingkan dengan instansi tertentu. Semakin panas dengan diperlihatkannya oknum ASN Kementerian Keuangan yang gemar memamerkan harta kekayaan dan gaya hidup mewah. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana bisa sesama ASN yang secara normatif dilindungi dan dijamin kesejahteraannya oleh Undang-Undang yang sama, diperlakukan dengan berbeda oleh negara?
ADVERTISEMENT
Selama ini, profesi ASN selalu dianggap ladang pengabdian bagi negara. KBBI mengartikan “abdi” sebagai bawahan, pelayan, atau hamba. Internalisasi pekerja publik sebagai abdi negara menciptakan konstruksi sosial yang merugikan ASN dari dua sisi yaitu masyarakat dan pemerintah. Masyarakat menganggap ASN tidak berhak dibayar layak dan hidup sejahtera karena mereka harus ikhlas bekerja kepada negara dan melayani masyarakat.
Semakin pahit tatkala melihat fakta bahwa ada beberapa kelompok instansi yang seolah diistimewakan oleh negara melalui tunjangan kinerja atau insentif tambahan yang besar, sebut saja Kementerian Keuangan (termasuk di dalamnya Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea Cukai), Badan Pemeriksa Keuangan, PPATK, dan beberapa instansi lainnya.
Nilai pengabdian yang terus ditanamkan kepada ASN alih-alih sebagai pekerja profesional berdampak buruk pada kualitas birokrasi dan pelayanan publik. “You pay peanuts, you get monkeys”. Seberapa keras pun pemerintah mendorong ASN untuk bekerja dan melayani dengan baik, jujur, dan penuh integritas, semua akan percuma jika tidak ada insentif penghasilan yang layak.
ADVERTISEMENT
Kecenderungan manusia adalah untuk selalu bekerja sesuai penghasilan yang diterima. Biaya hidup yang tinggi, penghasilan tidak layak, serta tuntutan negara untuk bekerja dengan baik menjadi katalis untuk menyuburkan praktik-praktik ilegal dan korup yang dilakukan oleh ASN, tetapi itu adalah bahasan lain.
Data dan Potensi
Buku Statistik ASN dari BKN pada Juni 2022 memetakan persebaran ASN di Indonesia menurut kelompok usia. Total ASN yang berada pada kelompok usia milenial dan gen Z (18-40) berjumlah 1.234.328 orang. Persebaran ASN berdasarkan usia ini membentuk piramida terbalik dimana lebih banyak proporsi ASN yang berada pada usia 51-60 tahun atau mendekati masa pensiun.
Apa yang bisa dioptimalkan dari hal ini ke depannya? Kemampuan rasional dan rasa kritis untuk bersuara. Golongan milenial dan Gen Z selalu identik dengan rasa kritis yang tinggi, rasional, dan eksposur ke tinggi ke internet dan informasi. Ke depannya, dominasi kelompok muda pada ASN memiliki potensi kekuatan untuk bersatu memperjuangkan kesejahteraannya melalui collective bargaining power.
ADVERTISEMENT
Dikotomi Usang
Sebelum lanjut, harus ada kesepakatan terlebih dahulu bahwa ASN dan pekerja sektor privat memiliki status sama yaitu profesi yang berhak mendapat penghasilan layak. Dikotomi pengabdian dan profesional harus dihilangkan sebelum membahas collective bargaining power. AFL-CIO (serikat buruh Amerika) menjelaskan collective bargaining sebagai proses di mana para pekerja bersatu untuk memengaruhi pembuatan kebijakan.
ASN harus bersatu untuk bersama bernegosiasi atau merepresi pemerintah dalam penentuan besaran penghasilan, jam kerja, cuti, kebijakan kesehatan, keselamatan kerja, bahkan isu work-life balance. Kesejahteraan yang layak bisa menjadi salah satu isu sentral yang diangkat. Seluruh ASN harus rasional dan sadar bahwa doktrin pengabdian sudah usang. ASN adalah pekerja profesional yang bekerja sesuai pendidikan dan keahliannya sehingga ASN berhak atas kesejahteraan yang layak dan tidak timpang.
ADVERTISEMENT
Urgensi
Collective bargaining power sangat mendesak untuk dilakukan oleh ASN karena tiga alasan. Pertama, agar langsung dapat menyasar inti permasalahan yaitu kesejahteraan yang kurang layak dan timpang di antara instansi. Peningkatan kesejahteraan melalui jalur reformasi birokrasi pada realitanya sangat sulit dilakukan. Beberapa pengajuan kenaikan tunjangan kinerja ditolak oleh Kementerian Keuangan atau legislatif walau instansi yang mengajukan sudah mencukupi secara scoring dan persyaratan lainnya.
Bisa dikatakan bahwa memang ada tendensi untuk mempertahankan status quo minimnya kesejahteraan ASN. ASN harus sadar dan mencoba cara lain, bersatu dan bergerak bersama untuk bersuara serta melakukan negosiasi. Contoh paling ekstrem adalah apa yang baru-baru ini terjadi di Inggris.
Setengah juta public workers melakukan mogok kerja dan demonstrasi besar-besaran menuntut kenaikan gaji kepada pemerintah Inggris. Collective bargaining power dimiliki oleh mereka yang bersatu dalam jumlah besar, karena berhentinya berbagai layanan publik akan merugikan masyarakat sekaligus menekan pemerintah untuk mendengar aspirasi para ASN.
ADVERTISEMENT
Selain itu, collective bargaining power ASN juga penting demi outcome dari birokrasi itu sendiri. Proses negosiasi serta komunikasi antara ASN dengan penguasa maupun pembuat kebijakan akan mencapai kesepakatan yang mengenai kondisi kerja yang ideal, terutama dari segi kesejahteraan. Kesepakatan ini akan memotivasi ASN untuk lebih fokus bekerja sehingga akan meningkatkan kualitas layanan publik. Alasan terakhir perlunya collective bargaining power adalah demi kesimbangan dan rasa demokratis di tataran kerja birokrasi.
Para ASN akan memiliki ruang lebih untuk terlibat dan berdiskusi secara demokratis. Keseimbangan juga tercipta dalam konteks hubungan pekerja publik dan negara sebagai pemberi kerja. Komunikasi dan negosiasi yang teratur antara negara dan pekerjanya akan menciptakan hubungan dua arah yang lebih baik dan harmonis, sehingga bisa mencegah konflik di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Penyaluran aspirasi dengan collective bargaining power tidak harus melalui demonstrasi, mogok kerja, atau cara frontal lainnya. ASN juga bisa bersatu untuk merumuskan dokumen kajian aspiratif untuk disodorkan kepada pemerintah. KORPRI selaku serikat pekerja publik yang resmi di Indonesia berperan aktif di sini dalam mengkoordinasikan pergerakan ASN dan menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, utamanya pihak legislatif dan Kementerian Keuangan. Alternatif collective bargaining power lain juga bisa dilakukan melalui pemilihan umum. ASN yang bersatu dalam suatu serikat ini bisa melakukan kajian internal untuk mencapai kesepakatan tentang siapa calon wakil rakyat yang harus dipilih untuk bisa memperjuangkan kepentingan mereka.
Pada akhirnya, ASN harus berhenti berkubang dalam nilai-nilai abstrak pengabdian karena ini nilai-nilai ini sudah usang dan sangat merugikan. Semakin kesini, semakin banyak rekrutmen ASN yang cerdas, rasional, dan kritis. Ini bisa menjadi sumber daya dalam collective bargaining power, untuk bersatu, untuk bersuara, dan untuk memperjuangkan kesejahteraan yang layak dan merata bagi seluruh ASN.
ADVERTISEMENT