Konten dari Pengguna

Sesat Pikir Pemuka Agama Kristen dan Boomers dalam Konflik Palestina-Israel

Raja Pranatha
ASN yang sedang Tugas Belajar di Kampusnya Kemenkeu
3 November 2023 15:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raja Pranatha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang pendeta Ortodoks Yunani berjalan melewati jamaah Kristen Palestina saat Misa Minggu di Gereja Saint Porphyrius di Kota Gaza, pada 30 Mei 2021. Foto: Thomas Coex / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pendeta Ortodoks Yunani berjalan melewati jamaah Kristen Palestina saat Misa Minggu di Gereja Saint Porphyrius di Kota Gaza, pada 30 Mei 2021. Foto: Thomas Coex / AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beredarnya sebuah video khotbah seorang pendeta Kristen legendaris menggelitik pikiran dengan nurani saya. Pendeta tersebut mengutarakan opininya tentang “perdamaian” dalam konflik Palestina-Israel, dengan tone yang terkesan utopis dan mengawang-ngawang.
ADVERTISEMENT
Narasi yang dibawa, secara mengejutkan, adalah idiom Perjanjian Lama mengenai “mata ganti mata dan gigi ganti gigi”, bahwa Israel hanya “membalas dan mempertahankan diri”. Sebelumnya, saya tegaskan bahwa stand saya jelas disini: Israel adalah occupier (penjajah) dan Palestina adalah occupied (yang dijajah).
Omong kosong tentang narasi usang “Bangsa Pilihan Tuhan”. Ketika Yesus datang ke dunia dan melaksanakan karyaNya, keselamatan adalah milik segala bangsa dan seluruh umat yang percaya kepadaNya. Narasi “Bangsa Pilihan Tuhan” sudah tidak relevan.
Kritik saya adalah pendeta tersebut seharusnya menyampaikan tentang cara seorang Kristen bersikap, bukan malah terkesan mengompori. Mengenai idiom perjanjian lama yang dibawa pendeta tersebut, prinsip “mata ganti mata, dan gigi ganti gigi” sebenarnya adalah prinsip zaman baheula yang aslinya dimuat di Codex Hammurabi (1750 SM) sebelum dimuat kembali dalam kitab Ulangan dan Keluaran.
ADVERTISEMENT
Inti dari idiom tersebut adalah reciprocal justice atau keadilan yang bersifat timbal balik. Sebagai seorang Kristen, kita perlu tahu bahwa prinsip jahiliyah ini jelas terpatahkan oleh Yesus di dalam Matius 5:38-48, ketika Yesus memerintahkan suatu hal yang sangat sulit:
ADVERTISEMENT
Seorang Kristen wajib “mengasihi musuh dan mendoakan pembenci” walaupun sulitnya setengah mati. Love is the point. Harusnya pendeta tersebut cukup mengkampanyekan posisi seorang Kristen yang mengutamakan kasih dalam berbagai konflik. Pendeta tersebut seolah mewajarkan tindakan brutal pembalasan, alih-alih mengajak untuk mengasihi.
Secara tidak langsung, pendeta tersebut berpandangan “wajar” untuk membalas kejahatan dan kejahatan. Sungguh sangat aneh jika seorang pendeta yang harusnya memiliki tingkat intelektualitas tinggi dalam Kekristenan malah mengkampanyekan prinsip jahiliyah balas dendam dalam khotbahnya. Sungguh ironi karena Kristen sendiri dikenal adalah Agama Kasih.
Masalah semakin pelik mengingat pandangan “Israel sebagai bangsa pilihan Tuhan” juga dipegang oleh mayoritas orang-orang tua atau boomers Kristen. Sering sekali saya temui pandangan jemaat-jemaat gereja yang di luar nalar. Mereka malah mendukung pendudukan dan penjajahan Israel. Gila. Warga dari negara yang pernah dijajah ratusan tahun malah menjadi diehard fans bangsa penjajah yang brutal. Saya tegaskan, tidak ada lagi God’s chosen nation.
ADVERTISEMENT
Semua setara dan sama berharganya di mata Tuhan. Anugerah adalah milik semua orang tanpa eksklusifitas pada golongan tertentu. Trivianya, sebuah fenomena menyedihkan terjadi: semakin kontemporer & kekinian suatu denominasi Kekristenan, biasanya semakin mereka mendukung Israel dan semakin klasik/tua suatu Kekristenan (Katolik, Ortodoks, Lutheran, Kalvinis) semakin mereka berpihak pada kasih & perdamaian.
Untuk kasus ini saya hanya bisa mendoakan agar Tuhan ubahkan hati orang-orang tersebut. Semakin banyak yang berubah, semakin banyak pula yang mendoakan. Mendoakan perjuangan mereka yang dijajah dan mendoakan agar segera terjadi perdamaian.