Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menakar Masa Depan Demokrasi di Kepulauan Riau
19 November 2024 14:56 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rajabbul Amin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak yang akan berlangsung pada tanggal 27 November 2024 di seluruh provinsi di Indonesia, khususnya provinsi kepulauan riau dan di seluruh kabupaten/kota di provinsi kepulauan riau, yang menjadi momen penting dalam perjalanan demokrasi lokal. Tidak hanya memilih kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota, masyarakat Kepulauan Riau juga akan memilih kepala daerah gubernur yang akan memimpin provinsi ini selama lima tahun ke depan. Dengan karakteristik wilayah yang tersebar di berbagai pulau, dinamika politik di Kepulauan Riau menawarkan tantangan sekaligus peluang untuk menakar seberapa jauh demokrasi substantif dapat diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Kepulauan Riau merupakan provinsi yang wilayahnya terdiri dari 97% perairan dan 3% daratan yang terdiri dari tujuh wilayah administrasi yakni Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Lingga, Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Natuna. Setiap wilayah memiliki konteks sosial, budaya dan politik yang unik yang tentunya sangat mempengaruhi dinamika yang terjadi pada tahapan PILKADA di masing-masing daerah. Misalnya pada Kota Batam sebagai pusat ekonomi menghadapi tantangan demokrasi yang berbeda dibandingkan dengan Kabupaten Anambas yang memliki keterbatasan dan komunikasi.
Namun, terlepas dari perbedaan tersebut, masyarakat Kepulauan Riau memiliki satu identitas bersama, yakni sebagai bagian dari kebudayaan melayu. Filosofi “Takan Melayu Hilang di Bumi” menjadi perekat yang menjaga harmoni di tengah perbedaan, termasuk dalam proses demokrasi. Filosofi ini mengingatkan bahwa meskipun terjadi perbedaan pandangan dan pilihan politik, persatuan dan solidaritas tetap harus dijaga.
ADVERTISEMENT
Hegemoni Politik Lokal dan Konsensus Semu
Antonio Gramsci, dalam konsep hegemoni menjelaskan bahwa kekuasaan bukan hanya soal dominasi fisik tetapi juga penciptaan Konsensus melalui pengendalian wacana. Di Kepulauan Riau, elite politik sering kali memanfaatkan hubungan patronase untuk membangun hegemoni. Hal ini terlihat dalam pola kampanye yang cenderung mengandalkan program populis, bantuan sosial dan pendekatan berbasis komunikasi adat.
Kandidat tertentu dapat memanfaatkan kedekatan dengan tokoh adat atau tokoh agama untuk menggalang dukungan. Strategi ini menciptakan ilusi keterwakilan, di mana masyarakat merasa aspirasinya diperjuangkan, padahal consensus yang terbentuk lebih condong pada penguatan status qou elite politik. Antonio Gramsci memperkenalkan konsep hegemoni, yaitu dominasi yang tidak hanya dilakukan melalui kekerasan tetapi juga melalui kepemimpinan moral dan intelektual.
ADVERTISEMENT
Di Kabupaten Bintan dan Lingga, sering kali narasi Kemelayuan menjadi salah satu alat untuk menarik simpati pemilih. Namun strategi ini menciptakan kesan bahwa kandidat tertentu lebih mewakili aspirasi lokal, tetapi juga memperkuat posisi elite dalam sistem politik. Namun, hegemoni ini memiliki dampak negatif, saat kandidat lain untuk mencoba masuk ke panggung politik, karena kurangnya akses ke sumber daya dan jaringan patronase. Akibatnya, kompetisi politik menjadi kurang sehat dan pilihan masyarakat terbatas pada figure-figur yang sudah mapan.
Pemilihan Gubernur Kepulauan Riau pada 27 November 2024 memiliki signifikansi strategis. Gubernur yang terpilih tidak hanya bertanggung jawab atas kebijakan di tingkat provinsi, tetapi juga berperan sebagai simbol persatuan di tengah keragaman budaya dan wilayah. Dengan tantangan seperti pembangunan yang merata, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta pengelolaan sumber daya alam, gubernur mendatang harus mampu menghadirkan kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Namun, keberhasilan Pilkada ini tidak hanya bergantung pada kandidat dan penyelenggara, tetapi juga pada masyarakat sebagai pemilih. Dalam konteks ini, pendidikan politik menjadi elemen penting. Masyarakat Kepulauan Riau harus didorong untuk memilih berdasarkan program dan visi kandidat, bukan sekadar karena hubungan personal atau janji-janji populis.
Ruang Publik sebagai Arena Diskursus Demokratis
Menurut Jurgen Habermass menekankan bahwa ruang publik harus menjadi arena bagi dialog yang rasional dan inklusif. Dalam konteks PILKADA, ruang publik seharusnya menjadi tempat di mana masyarakat dari berbagai kabupaten dan kota dapat menyampaikan aspirasi, berdiskusi, dan mengevaluasi program para kandidat. Kota Batam sebagai pusat ekonomi, misalnya, memiliki tantangan khusus terkait dengan isu ketimpangan sosial, yang harus diakomodasi dalam diskusi publik. Sementara itu, di Kabupaten Natuna dan Kepulauan Anambas, isu kedaulatan maritim sering kali menjadi perhatian utama.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks PILKADA Kepulauan Riau, ruang publik tidak hanya terbatas pada forum fisik seperti debat kandidat atau pertemuan warga, tetapi juga meluas ke ruang digital. Media sosial menjadi platform utama bagi masyarakat untuk berdiskusi, mengkritik dan mengawasi jalannya PILKADA. Namun, penggunaan ruang digital juga menghadapi tantangan berupa maraknya disinformasi dan ujaran kebencian.
Namun, di sisi lain, ruang digital ini rentan terhadap penyebaran disinformasi dan ujaran kebencian. Oleh karena itu, literasi digital menjadi kunci agar masyarakat dapat memanfaatkan ruang ini secara optimal untuk mendukung proses demokrasi.
Namun, realitas di lapangan menunjukan bahwa ruang public sering kali terdistorsi. Kampanya politik tidak jarang didominasi oleh elite lokal yang menggunakan pengaruhnya untuk mengontrol narasi publik. PILKADA yang seharusnya menjadi ajang demokrasi, terkadang berubah menjadi arena untuk mempertahankan kekuasaan melalui politik uang dan patronase.
ADVERTISEMENT
Tantangan dan Harapan PILKADA Kepulauan Riau
Selaing menghadapi tantangan hegemoni, politik PILKADA di Kepulauan Riau juga harus mengatasi berbagai hambatan struktural. Politik uang, manipulasi administrasi hingga politisasi identitas adalah ancaman nyata yang dapat merusak integritas PILKADA. Namun, di balik tantangan ini terdapat harapan besar untuk memperkuat demokrasi lokal.
PILKADA 2024 bisa menjadi momentum bagi Provinsi Kepulauan Riau untuk menunjukkan bahwa demokrasi yang sehat dan inklusif dapat terwujud meskipun di tengah keterbatasan geografis. Dengan memperkuat peran ruang publik, baik fisik maupun digital serta mendorong keterlibatan masyarakat yang lebih luas, PILKADA di Kepulauan Riau dapat menjadi model bagi provinsi lain.
Dalam setiap proses demokrasi, perbedaan pendapat dan pilihan politik adalah hal yang wajar. Namun, perbedaan ini tidak seharusnya memecah belah persatuan masyarakat. Prinsip “Takan Melayu Hilang di Bumi” harus menjadi pedoman untuk menjaga harmoni di tengah keberagaman. Perbedaan pandangan politik harus dilihat sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang sehat, di mana setiap individu memiliki hak untuk menyuarakan aspirasinya.
ADVERTISEMENT
Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kebersamaan, masyarakat Kepulauan Riau dapat melalui PILKADA ini dengan kepala tegak, menunjukkan bahwa meskipun berbeda pilihan mereka tetap Bersatu demi masa depan yang lebih baik. Mari sukseskan PILKADA Kepulauan Riau 2024 dengan berpartisipasi aktif, memilih dengan cerdas, dan menjaga integritas proses demokrasi. Masa depan Kepulauan Riau ada di tangan kita semua, dengan semangat persatuan dan partisipasi yang tinggi, kita dapat memastikan bahwa demokrasi tidak hanya hidup, tetapi juga berkembang di bumi melayu ini “Takan Melayu Hilang di Bumi!
Rajabbul Amin, S.Sos
Aktivis Mahasiswa Kepulauan Riau
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.