Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
OPINI: Mengapa Natuna–Anambas Layak Jadi Provinsi Baru?
7 Mei 2025 18:43 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Rajabbul Amin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah tensi Laut Cina Selatan dan ketimpangan pembangunan, pemekaran Natuna dan Anambas bukanlah ambisi daerah, melainkan upaya negara merawat keutuhan.
ADVERTISEMENT
Usulan pemekaran wilayah Natuna dan Kepulauan Anambas menjadi provinsi baru di Indonesia tak jarang disambut sinisme. Sebagian menilai usulan itu prematur, tidak realistis secara ekonomi, bahkan dituding hanya ambisi elite lokal. Narasi seperti ini kerap diulang tanpa mempertimbangkan konteks strategis dan kebutuhan mendesak di lapangan.
Memang, jika hanya dilihat dari jumlah penduduk yang tak lebih dari 150 ribu jiwa atau dari posisi fiskal yang belum mapan, Natuna dan Anambas belum layak menjadi provinsi sendiri. Tapi apakah hanya itu indikator membangun daerah? Bagaimana jika ukurannya adalah ketimpangan layanan publik, lambannya respon birokrasi provinsi induk, serta posisi geopolitik yang sangat vital?
Natuna dan Anambas adalah gerbang utara Indonesia di Laut Cina Selatan, kawasan yang belakangan kembali memanas. Kehadiran kapal asing, pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), hingga manuver kapal militer asing menunjukkan bahwa wilayah ini tak boleh dipandang sebelah mata. Dalam buku Indonesia dan Laut Cina Selatan (2022), akademisi Dewi Fortuna Anwar menekankan pentingnya kehadiran negara yang konkret, tidak sekadar secara militer, tetapi juga administratif dan sipil.
Saat ini, Natuna dan Anambas masih berada di bawah kendali Provinsi Kepulauan Riau. Namun, jarak geografis yang sangat jauh membuat akses pelayanan publik, pengawasan sumber daya, dan pembangunan infrastruktur berjalan lambat. Pemerintah daerah merasa seperti anak tiri. Maka, bukan tidak masuk akal jika pemekaran wilayah dianggap sebagai salah satu solusi mempercepat layanan dan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Laporan riset Universitas Maritim Raja Ali Haji pada 2024 menyebut bahwa pemekaran akan meningkatkan efisiensi birokrasi, mempercepat alokasi anggaran, dan membuka peluang eksplorasi potensi ekonomi kelautan dan migas yang besar di blok Natuna. Bahkan, dengan kewenangan provinsi, pengelolaan wilayah pesisir bisa lebih terkoordinasi dalam mencegah eksploitasi ilegal.
Tentu, membentuk provinsi baru tak bisa gegabah. Pemerintah pusat perlu menyiapkan rencana induk, mengukur kesiapan SDM, serta memastikan tidak terjadi duplikasi birokrasi. Namun, tantangan ini bukan alasan untuk menunda keadilan wilayah. Apalagi jika kita benar-benar serius menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Saya menulis ini sebagai warga yang hidup dan tumbuh di kawasan perbatasan. Di sana, setiap kali kapal asing muncul, warga lebih dulu cemas daripada merasa dilindungi. Anak-anak sekolah harus menempuh pulau dan waktu panjang hanya demi ikut ujian nasional. Rumah sakit rujukan terlalu jauh. Dan pemerintah provinsi, meskipun tidak abai, tetap terasa jauh.
Mendukung pemekaran Natuna dan Anambas bukan tentang menambah provinsi baru demi peta. Ini tentang menghadirkan negara secara nyata, menjawab keresahan warga di garis depan, dan memastikan bahwa kedaulatan tak hanya dijaga dengan kapal perang, tetapi juga dengan administrasi dan pelayanan publik yang adil.
Dari pulau-pulau kecil yang jauh dari hiruk pikuk kota besar, suara kami mungkin tak terdengar lantang. Tapi harapan kami sederhana, kami ingin menjadi bagian dari Indonesia yang tak hanya disebut-sebut dalam wacana geopolitik, tapi juga hadir dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Oleh :
Rajabbul Amin
Aktivis Mahasiswa Kepri
Mahasiswa Magister KPI UIN SUKA