De Omnibus Dubitandum: Era Post-Truth

Raja Faidz el Shidqi
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik - FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta//2019
Konten dari Pengguna
28 Oktober 2021 12:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raja Faidz el Shidqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: pixabay - OpenClipart-Vectors / 27396 images
zoom-in-whitePerbesar
Source: pixabay - OpenClipart-Vectors / 27396 images
ADVERTISEMENT
Oleh: Raja Faidz el Shidqi, Mahasiswa FISIP UMJ.
Barangkali sejumlah orang mengatakan bahwa kita dewasa ini hidup di era Post-Truth, semenjak digunakannya frasa tersebut oleh Steve Tesich pada tahun 1992 dalam tulisannya The Government of Lies di majalah The Nation, yang dikatakan bahwa kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan untuk menentukan kita ingin hidup di dunia post truth. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘post-truth’ itu sendiri? Era Post-Truth atau era pasca-kebenaran adalah sebuah zaman di mana standar dari sebuah kebenaran sulit atau bahkan tak terdefinisikan, sebagian ahli berpendapat bahwa keyakinan seseorang akan terverifikasi oleh suatu kebenaran tetapi di dalam era post-truth seperti sekarang ini justru kebenaran yang akan diverifikasi oleh keyakinan. Jadi, singkatnya kebenaran ditentukan oleh apa yang kita yakini sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Di era serba modern seperti sekarang ini ada banyak sekali aplikasi-aplikasi chat yang memfasilitasi setiap orang untuk berkomunikasi dengan orang lain dari berbagai daerah bahkan dari luar negara selain itu, berbagai media pemberitaan juga semakin tersebar luas, peran pers semakin mudah dan besar dalam mencari informasi dan menyebarkan berita yang dibuat. Hal tersebut sudah pasti mendatangkan keuntungan untuk sebagian besar masyarakat dan perusahaan-perusahaan. Namun, yang juga perlu diperhatikan adalah semakin mudahnya mencari dan menyebarkan informasi akan ada banyak juga informasi-informasi yang bohong tidak sesuai fakta dan realita atau lebih disebut kepada hoaks.
Selain daripada itu, faktor terjadinya debat kusir di sosial media juga menjadi salah satu penyakit di era sekarang ini. Beberapa masyarakat memperdebatkan suatu hal bukan berdasarkan pada argument yang diperkuat oleh data, fakta dan teori (ilmiah) melainkan hanya melalui cocoklogi dan ‘kata orang’ saja, lebih miris lagi banyak masyarakat yang mengafirmasi suatu pernyataan yang hanya memang memiliki kesamaan dengan pola pikirnya saja lalu lantas menjustifikasi pernyataan atau perbuatan yang lainnya sebagai sebuah kesalahan. Miris melihat kondisi yang demikian terjadi di dalam masyarakat kita yang mungkin saja faktor minimnya mendapatkan Pendidikan yang layak dan tuntas membuat mereka mengonfirmasi sebuah kebenaran atas keyakinan pribadinya sendiri bukan keyakinan yang justru akan terkonfirmasi ketika seseorang mendapatkan sebuah kebenaran.
ADVERTISEMENT
Memang bicara kebenaran di dunia adalah sebuah hal yang cukup absurd, artinya ada banyak orang dengan perspektif yang berbeda-beda pula dalam menanggapi apa itu kebenaran dan seperti apa kebenaran itu dan apakah pengetahuan kita terhadap sesuatu itu benar adanya? Amsal Bakhtiar dalam buku Filsafat Ilmu mengatakan bahwa manusia hidup di dunia pada hakikatnya mempunyai keinginan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan yang diartikan secara sempit adalah hasil proses dari usaha manusia untuk mengetahui sesuatu, dan sebuah keputusan yang benar dan pasti. Sedangkan bagi penganut pragmatis, seperti John Dewey tidak membedakan antara pengetahuan dan kebenaran yang berarti kedua hal ini memiliki keterkaitan yang cukup dekat.
Beberapa berpendapat bahwa kebenaran adalah suatu penyesuaian antara pikiran dan kenyataan. Apa yang ada di dalam pikiran dan ter-realisasikan di kehidupan melalui kenyataan adalah sebuah kebenaran. Namun, lagi-lagi selalu banyak pertentangan terhadap kebenaran itu sendiri khususnya di dalam kajian filsafat yang membagi kebenaran menjadi 2, yaitu kebenaran mutlak dan kebenaran relatif. Penulis sendiri lebih sepakat bahwa kebenaran itu bersifat relatif dikarenakan suatu kenyataan akan berubah seiring berjalannya waktu tanpa harus meminta persetujuan dari pemikiran kita sendiri. Suatu fakta yang menjadi alat pendukung suatu kebenaran bisa berubah karena ada fakta-fakta lainnya yang baru ditemukan dan berakibat juga dalam mengubah sudut pandang yang ada.
ADVERTISEMENT
Penulis ambil contoh perjuangan KH. Ahmad Dahlan di awal mendirikan organisasi Muhammadiyah yang banyak sekali ditentang oleh masyarakat Kauman, Jogja. Bahkan, beberapa dari keluarganya pun ikut menolak, lebih sedih lagi ketika KH. Ahmad Dahlan berusaha meluruskan arah kiblat masjid gede, hingga melaksanakan sholat berjamaan di Langgar Kidul pada saat itu hingga di cemooh sebagai Kyai Kafir akibat ijtihad atau pembaharuannya yang dianggap keliru karena menggunakan fasilitas atau alat pembantu buatan penjajah seperti peta dunia pada waktu itu. Hingga waktu dan fakta menjawab bahwa memang arah kiblat masjid Gede saat itu salah dan sekarang masih bisa dibuktikan dengan miringnya karpet masjid yang menjadi penanda arah shaf salat di Masjid Gede, Jogjakarta.
ADVERTISEMENT
Dari uraian tersebut bisa kita simpulkan bersama, terlepas dari mutlak atau tidak mutlak nya kebenaran adalah kita sebagai masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka khususnya para kaum Intelektual dan Mahasiswa mampu mensortir suatu hal dan pemberitaan serta mampu menilai dan memahami persoalan dengan pertimbangan yang objektif dengan tujuan mencari kebenaran terhadap suatu hal tanpa intervensi dari keyakinan diri sendiri. Sebagaimana yang disinggung di atas bahwa seharusnya kebenaranlah yang akan mengafirmasi keyakinan bukan sebaliknya, keyakinan yang mengafirmasi kebenaran, karena jika sampai itu menjadi suatu hal yang di normalisasi semua orang berhak memilih kebenarannya masing-masing dan itu hanya akan membuat situasi menjadi kacau.
Seorang tokoh filsuf, Rene Descartes sendiri pernah mengatakan “De Omnibus Dubitandum” yang artinya adalah segala sesuatu harus diragukan, kutipan tersebut menarik untuk dijadikan konsep kita bersama dalam mengonfirmasi segala hal bahwa segala sesuatu harus diragukan terlebih dahulu hingga benar-benar terverifikasi oleh fakta dan data yang benar-benar terjadi di kehidupan nyata. KH. Ahmad Dahlan juga mengatakan bahwa, “Kebenaran suatu hal tidaklah ditentukan dari seberapa banyak orang yang mempercayainya.” Maka dari itu penting menjaga integritas diri dari segala isu dan pemberitaan yang diterima sebagai seorang Intelektual dan seorang Muslim teramat lucu jika kita mudah mempercayai suatu hal tanpa dasar yang kuat dan lebih menginginkan untuk memilih kebenaran kita sendiri berdasarkan keyakinan sebelumnya yang kita pegang.
ADVERTISEMENT
Bukankah Allah SWT. Mengatakan melalui firman-Nya dalam Surat Al-Hujurat ayat 6, yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”