Konten dari Pengguna

Dialektika Peradaban di Warung Kopi

Raja Faidz el Shidqi
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik - FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta//2019
13 Februari 2021 17:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raja Faidz el Shidqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kopi  Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kopi Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Oleh: Raja Faidz el Shidqi, Mahasiswa FISIP UMJ
Penyebaran kedai-kedai kopi yang ada di Indonesia saat ini terbilang cukup pesat, hal ini rasanya tanpa perlu didukung oleh data-data formal dari suatu Lembaga survei tertentu saya yakin para pembaca bisa merasakannya sendiri ketika berjalan-jalan di jalan utama perkotaan maupun hingga perkampungan khususnya bagi para pembaca yang bertempat tinggal di area Jabodetabek. Kedai kopi bisa ditemui hampir diseluruh ruas jalan dan bahkan hanya berjarak ratusan meter antar satu kedai dan kedai lainnya atau kurang dari itu, kedai atau coffee shop yang berkembang menjadi sebuah tren tongkrongan tersendiri bagi sebagian besar anak-anak muda di Indonesia. Bahkan, tidak jarang mereka para orang tua pun justru sekarang lebih memilih menghabiskan waktu luangnya di kedai-kedai kopi dengan mengajak istri dan anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Di abad ke-15, Mark Pandergrast menjelaskan di dalam buku Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed Our World (2010) bahwa kopi telah menjadi minuman sehari-hari orang kaya di Yaman dan sekitarnya sehingga punya ruangan khusus buat menikmati kopi, dan bagi yang uangnya pas-pasan mereka akan ngopi di kaveh kanes atau kedai-kedai kopi. Dan pada saat itu kedai-kedai kopi sering diisi oleh orang-orang yang dihiasi dengan perbincangan-perbincangan terkait persoalan sekitar dalam masyarakat hingga perbincangan yang bertema politik, pada tahun 1511 Gubernur Mekkah yang bernama Khair-Beg mengetahui adanya obrolan-obrolan yang menyangkut dirinya dan menutup kedai-kedai kopi dengan mengeluarkan fatwa bahwa kopi sama seperti anggur, alias haram.
Di era seperti sekarang ini masih banyak model kedai-kedai kopi yang seperti di atas, membuka perbincangan-perbincangan terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, beberapa dari kedai kopi tersebut malah sampai menyediakan media buku-buku bacaan yang terbilang cukup banyak agar pelanggannya dapat berdiskusi dan membaca. Tetapi, hal ini juga dipengaruhi oleh faktor karyawan atau barista yang menjadi tukang seduh kopi di kedai tersebut, beberapa kedai memiliki barista yang juga senang berbaur terhadap pelanggan lantas ikut berdiskusi dan hal ini selain membuat pemikiran kita terasa lebih hidup juga menguntungkan bagi kedai tersebut dan menjadi salah satu cara branding pasar terhadap konsumen dengan memperkenalkan bahwa di tempat tersebut pelanggan bukan hanya disediakan segelas kopi tetapi juga disediakan teman bicara terkait apa pun.
ADVERTISEMENT
Kedai-kedai kopi pada era sekarang ini bisa juga disebut sebagai platform politik bagi generasi milenial maupun generasi Z, terlebih menurut seorang Analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago melihat bahwa adanya geliat politik yang besar di antara generasi Z yang mana sebelumnya sangat anti dan alergi dengan diksi serta frasa politik. Faktor yang menjadi pendukung bahwa generasi Z lebih tertarik terhadap politik sekarang dibanding dengan Generasi Millenial adalah adanya attention-seeking atau keinginan agar dapat diterima suatu kelompok atau bisa dibilang rasa ingin diakui oleh kelompok lainnya, dan hal ini dibuktikan oleh generasi Z atau kelompok usia yang terlahir antara tahun 1995-2010 dengan unjuk pemikiran atau pendapat dalam ranah politik, seperti ketika demo besar-besaran yang dilakukan oleh Mahasiswa pada September 2019 lalu hingga Demo Omnibus Law 2020 yang lalu, di Amerika Serikat sendiri mayoritas generasi Z mendukung dan ikut serta dalam sebuah Gerakan sosial seperti Black Lives Matter.
ADVERTISEMENT
Namun, di samping nilai-nilai positif itu semua di era sekarang ini juga banyak kedai-kedai kopi atau yang lebih bagus disebut cafe justru menjadi ajang perlombaan menaikkan derajat gengsi anak muda, mereka lebih mementingkan sebuah pemandangan yang aesthetic daripada substansi apa yang seharusnya ada di dalam sebuah kedai kopi, dan bisa dikatakan beberapa dari mereka tidak mampu menyerap ilmu dari segelas kopi yang mereka nikmati. Memang hal-hal tersebut tidak bisa kita tolak begitu saja atau memaksa mereka yang nongkrong di kedai kopi agar ikut serta membicarakan berbagai persoalan, tetapi hal ini justru semestinya menjadi sebuah tantangan agar masyarakat khususnya kaum muda memiliki wawasan yang luas dan pemikiran yang hidup sebab selalu diasah dengan diskusi-diskusi entah itu tentang filsafat, agama, budaya, politik atau kopi itu sendiri. Penulis sendiri pernah mengatakan beberapa hal kepada teman yang juga seorang barista di kedai kopi, bahwa semestinya pemerintah harus semakin memperhitungkan kedai-kedai kopi ini dan membentuk sebuah wadah tersendiri bagi penikmat kopi dan sering-seringlah membuat kegiatan formal yang sebelumnya selalu berada di perhotelan atau di mal-mal dipindah ke kedai-kedai kopi agar segala hal yang disampaikan oleh Pemerintah menjadi maksimal tersampaikan kepada masyarakat umum khusus nya generasi muda.
ADVERTISEMENT
Jika pemerintah membantah ini dengan mengatakan bahwa instansi-instansi pemerintah juga sering mengadakan acara di sebuah kedai kopi, perlu dipahami bahwa setiap kedai kopi memiliki ciri khas tersendiri dan juga pelanggan yang berbeda-beda latar belakangnya. Selama penulis memiliki hobi berkeliling kedai kopi dari kedai yang satu dan yang lainnya juga ada semacam ‘gap’ atau pemisah dan memiliki pelanggan dengan karakteristik yang berbeda-beda, jika saja semua diwadahi dalam satu komunitas yang didukung oleh pemerintah setempat dan memanfaatkannya dengan semaksimal mungkin bisa jadi kedai kopi ini menjadi salah satu sarana pendidikan untuk meningkatkan daya nalar kritis dan memperluas wawasan anak-anak muda sehingga mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda bisa saling menerima ilmu yang sama rata dan menciptakan paradigma berpikir moderat sebagai manusia yang tumbuh berkembang di era digital dan banyak mengusung isu toleransi serta pluralisme ini.
ADVERTISEMENT