Gerakan Mahasiswa: Eksistensi, Substansi dan Literasi

Raja Faidz el Shidqi
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik - FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta//2019
Konten dari Pengguna
25 September 2021 6:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raja Faidz el Shidqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/id/illustrations/demonstrasi-siswa-pekerja-mahasiswa-1882229/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/id/illustrations/demonstrasi-siswa-pekerja-mahasiswa-1882229/
ADVERTISEMENT
Oleh: Raja Faidz el Shidqi, Mahasiswa FISIP UMJ
Bulan September menjadi bulan yang cukup bersejarah sekaligus memilukan bagi masyarakat Indonesia. September berdarah, September kelam, September hitam, begitu para aktivis menyebutnya khususnya bagi mereka yang memang menyandang status sebagai seorang aktivis mahasiswa dan hal tersebut disebabkan oleh cukup banyaknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di bulan September, sebut saja misalkan tragedi Semanggi, Pembunuhan Munir dan Marsinah, G30S/PKI, tragedi Demonstrasi Mahasiswa 23-24 September 2019 hingga yang terbaru adalah diputuskannya pemberhentian terhadap kurang lebih 50 karyawan KPK di akhir September 2021 ini.
ADVERTISEMENT
Eksistensi dan Nafsu Kekuasaan
Beberapa teman-teman mahasiswa cukup antusias dalam membuat sebuah kajian atau aksi-aksi tertentu untuk memperingati peristiwa yang pernah terjadi di bulan September, hal tersebut perlu di apresiasi sebagai wujud nyata hidupnya empati kita selaku bangsa Indonesia dan selaku seorang Mahasiswa dalam mengingat perjuangan-perjuangan para aktivis yang telah lalu. Namun, perlu direnungkan juga bahwa sebagian besar mahasiswa dewasa ini terlihat cukup simbolistik atau mengedepankan eksistensi belaka dalam artian beberapa organisasi atau pergerakan mahasiswa melakukan aksi-aksi dan diskursus tertentu tidak benar-benar ingin mengambil nilai dan contoh pergerakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh aktivis lainnya seperti Munir dan Marsinah dalam hal keberanian bergerak dan melawan guna mengusahakan terwujudnya perubahan sosial dan politik, akan tetapi hanya didasarkan kepada tujuan menariknya minat mahasiswa-mahasiswa baru untuk ikut bergabung kedalam pergerakan atau organisasi mereka saja dalam hal ini adalah momentum untuk menambah jumlah massa.
ADVERTISEMENT
Teman-teman mahasiswa dewasa ini seolah terhipnotis oleh tarikan eksistensial untuk menambah jumlah massa yang mereka miliki dan tergiur oleh politik-politik kampus untuk mendapatkan suatu jabatan tertentu dalam organisasi kampus seperti BEM atau DPM yang memang memiliki kuasa atas massa mahasiswa. Padahal, sebagai mahasiswa seharusnya kita memiliki orientasi terhadap nilai-nilai yang ideal dan benar agar memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap persoalan-persoalan di lingkungan sekitar terlebih hal yang menyangkut pelanggaran dan penyelewengan, dengan peran mahasiswa sebagai pewarna masyarakat untuk menghasilkan perkembangan, perubahan sosial dan kehidupan politik seperti yang disinggung dalam buku “Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia” karya A. Prasetyantoko dan Wahyu Indriyo tahun 2001. Gerakan-gerakan yang bersimpul pada eksistensi dan pragmatis tersebut acap kali dibudidayakan oleh mereka-mereka yang memang haus akan pengakuan tanpa mawas diri terhadap kualitas diri sendiri, memang tidak salah juga berpendapat jika faktor eksistensi dan nafsu kekuasaan juga menjadi pendorong teman-teman mahasiswa untuk bersaing satu sama lain antara satu individu dengan individu lainnya atau satu organisasi dengan organisasi lainnya, akan tetapi hal tersebut perlu difilter dan ditentukan batas maksimalnya jangan sampai justru merusak peran dan fungsi mahasiswa sebagai agent of change, social control, iron stock dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Cukup berat rasanya membopong sebuah tanggung jawab besar sebagai seorang mahasiswa yang dikenal sebagai elemen pembaharu yang membawa perubahan pada sebuah bangsa terlebih dengan berbagai label-label yang melekat di dalam diri seorang mahasiswa, semua akan tambah sulit jika teman-teman mahasiswa dewasa ini hanya memikirkan eksistensi dan nafsu kekuasaan belaka yang tidak memiliki arti dan makna apapun. Immanuel Kant, seorang filsuf asal Jerman pernah mengatakan bahwa, “Sejarah bukanlah sesuatu yang terjadi, tapi sejarah adalah sesuatu yang terjadi dan memiliki arti.” Maka dari itu Gerakan-gerakan mahasiswa hemat penulis harus dikembalikan kepada dasarnya, yaitu idealisme, kebenaran dan kejujuran tanpa ada maksud dan tujuan lainnya, apapun yang berkaitan dengan eksistensi dan nafsu kekuasaan adalah bonus dari sebuah perjuangan yang telah diupayakan.
ADVERTISEMENT
Substansi dan Literasi Gerakan Mahasiswa
“Narasi, Diskusi, Aksi” tiga kata yang sempat penulis dengar ketika awal-awal menjadi seorang yang menyandang status sebagai mahasiswa, tiga kata yang mencerminkan seorang mahasiswa dan pergerakan mahasiswa ketika menyikapi suatu persoalan dalam bangsa ini. Membangun narasi di internal fakultas dan universitas, mendiskusikannya bersama lalu turun ke jalan dalam aksi demonstrasi untuk memberikan dan menuntut poin-poin yang sudah didiskusikan bersama-sama. Suatu hal yang menggambarkan bahwa sesungguhnya budaya literasi itu juga melekat dalam tubuh pergerakan mahasiswa, karena hal tersebut yang akan menentukan substansi, isi atau inti dari sebuah aksi dan tuntutan yang dibawa mahasiswa kepada penguasa, namun akhir-akhir ini selain dari faktor eksistensi yang sudah disinggung diatas juga minimnya literasi yang menyebabkan substansi dari sebuah aksi juga benar-benar nyata adanya.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja pada aksi demonstrasi 23-24 September 2019 lalu ketika ada beberapa mahasiswa yang ditanya tentang apa isu atau tuntutan yang mereka bawa mereka tidak mampu menjelaskannya secara rijit atau jelas, hal tersebut sudah cukup membuktikan bahwa mereka mengikuti aksi demonstrasi hanya ingin sekedar ikut-ikutan tanpa memahami apa sebetulnya isu yang mereka bawa dan kenapa harus isu tersebut yang dibawa. Beberapa junior dan teman sekelas dalam kuliah penulispun mengalami hal yang sama, beberapa dari mereka tidak tahu betul apa sebetulnya yang mereka tuntut dan mengapa mereka harus menuntut hal tersebut, seharusnya itu menjadi tamparan keras bahwa budaya literasi dewasa ini sangat amat lemah di kalangan mahasiswa.
Perlu ditegaskan pula bahwa budaya literasi perlu dikembangkan dan dijunjung tinggi agar teman-teman mahasiswa semacam tadi memiliki bekal intelektual yang cukup agar tidak terjadinya sebuah kesalah pahaman ketika mereka turun ke jalan untuk melakukan aksi demonstrasi, lagipula perlu diakui bahwa Gerakan mahasiswa pasca reformasi mengalami pelemahan seperti apa yang dikatakan oleh Wilson Obrigados, alumnus jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dan juga mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) bahwa, terjadinya pergeseran cara mahasiswa dalam merespons isu-isu aktual di tengah masyarakat pasca-reformasi terlebih perubahan sistem Pendidikan yang disinyalir mempersempit ruang bagi mahasiswa menciptakan diskusi bagi mahasiswa untuk mengawal agenda reformasi, juga adanya batasan waktu kuliah dan biaya yang semakin mahal membuat mahasiswa bertindak lebih pragmatis.
ADVERTISEMENT
Turut campurnya sistem Pendidikan, batasan waktu kuliah dan biaya yang semakin mahal tidak bisa dipungkiri menjadi faktor melemahnya pergerakan mahasiswa dalam mengawal agenda reformasi. Tetapi, hal yang paling menjadi dasar tetaplah budaya literasi yang juga memang sudah terkikis oleh perilaku dan gaya hidup mahasiswa yang terlalu tenggelam dalam euforia dunia kampus sehingga meninggalkan budaya-budaya penting seperti literasi. Semoga saja berbagai faktor tersebut dapat dijadikan bahan ber-kontemplasi bagi semua teman-teman mahasiswa agar menggalakkan kembali budaya literasi bukan hanya sekedar membangun narasi dan diskusi tanpa adanya landasan pikiran yang jelas dan hanya mengandalkan cocoklogi belaka.