Konten dari Pengguna

Huru-Hara Politik: Dari Pecah Belah Hingga Standar Ganda

Raja Faidz el Shidqi
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik - FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta//2019
26 Februari 2024 11:51 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raja Faidz el Shidqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Raja Faidz el Shidqi
https://pixabay.com/id/photos/catur-permainan-papan-politik-4869961/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/id/photos/catur-permainan-papan-politik-4869961/
Pemilu Serentak 2024 yang telah berlangsung lebih dari seminggu yang lalu, selain menyisakan tahapan rekapitulasi suara juga menyisakan residu politik dalam bermasyarakat hari ini. Ada setidaknya beberapa kasus dilapangan secara nyata dan jelas kita temukan polarisasi masyarakat akibat gaya kampanye yang digunakan oleh oknum-oknum pendukung Capres-Cawapres dan seolah dibenarkan oleh Capres yang didukung tanpa adanya sikap menolak gaya kampanye dan narasi tertentu yang justru membuat masyarakat terpecah belah, selain itu juga banyaknya pemikiran yang cenderung double standard dapat ditemui di masyarakat ketika melihat dan menilai suatu kasus yang sama dengan penilaian yang berbeda atau tidak objektif hanya karna suka, tidak suka, atau bahkan karna kebencian.
ADVERTISEMENT
Divide et Impera
Politik pecah belah atau politik adu domba bukan menjadi hal baru di tanah Nusantara ini, Kongsi dagang Hindia Belanda atau VOC pernah melakukan politik divide et impera ini untuk mendapatkan kekuasaan atas sumber daya alam yang ada di Nusantara untuk memperkuat posisinya sebagai Kongsi dagang dalam melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah Nusantara ke seluruh daratan Eropa. Ada setidaknya beberapa sorotan peristiwa mengenai praktik politik divide et impera ini di Indonesia ketika perhelatan Pemilu Serentak 2024 sedang berlangsung.
Pertama, adalah ketika PDIP membuat framing terhadap Gerindra yang telah ‘membajak’ kader nya yaitu Budiman Sudjatmiko untuk kepentingan dukungan terhadap Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden, demikian juga ketika Gerindra yang seolah memunculkan framing bahwa PDIP dan Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden dari PDIP bahkan gagal untuk meyakinkan kadernya untuk mendukung calon yang diusung oleh Partainya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kedua, gaya kampanye menggunakan politik identitas menjadi salah satu langkah pemecah belah serta adu domba yang bisa menyebabkan perang saudara di tanah Nusantara. Hal ini dapat dilihat melalui pendukung Capres Anies Baswedan yang beberapa kali ter-highlight menggunakan narasi-narasi yang cukup keras mengenai identitas, seperti “Umat Islam yang tidak mendukung Anies Baswedan patut dipertanyakan Ke-Islamannya.” Atau klaim Anies Baswedan sebagai Imam Mahdi, seorang yang dipercaya Umat Islam sebagai Pemimpin Akhir Zaman yang memerangi pasukan Dajjal, hingga pengeluaran Fatwa wajib memilih Anies Baswedan oleh Ulama tertentu dengan pertanggung jawaban dunia akhirat bisa menjadi faktor terkuat masyarakat di bawah terpecah belah hanya persoalan pilihan presiden yang berbeda dan juga menimbulkan perang saudara hingga ke ranah terkecil dalam keluarga.
ADVERTISEMENT
Ketiga, make friends and create common enemy serta manajemen isu berkaitan dengan cawe-cawe Presiden Jokowi. Dalam proses tahapan Pemilu yang sedang berjalan, terlebih dalam tahapan debat Capres-Cawapres muncul gerakan yang menyuarakan #Salam4Jari yang dimaksudkan untuk masyarakat lebih baik mencoblos nomor urut 1 atau 3 untuk kebaikan negara, tak jarang narasi yang terlontar pun seolah adanya praktik ‘kerja kelompok’ dalam kontestasi Pemilu 2024 ini hanya untuk melawan satu Paslon, yaitu 02 yang dinilai hasil daripada cawe-cawe Presiden Jokowi karena Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres dari Prabowo Subianto. Padahal rekam jejak di media online jelas dapat dilihat bahwa semua paslon 01 maupun 03 pernah memiliki harapan yang sama untuk menggandeng Gibran sebagai cawapres.
ADVERTISEMENT
Politik dan Standar Ganda
Politik kita penuh dengan intrik, ya setidaknya itu adalah suatu kebenaran yang secara sadar harus kita akui. Hari ini atau setidaknya sejak tahapan Pemilu Serentak 2024 itu berjalan sosial media dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki standar ganda dalam memvonis suatu intrik atau permainan politik para elit, memberikan satu penilaian dan standar yang berbeda atas kasus yang bisa dikatakan sama hanya berbeda warna partai atau tokoh yang terlibat. Misalnya, kita ambil contoh kasus masa perpanjangan periodesasi Kepala Desa hingga 9 tahun atau isu yang pernah bergulir tentang masa jabatan Presiden 3 periode, mayoritas masyarakat Indonesia menolak dan menentang ide gila itu dengan alasan bahwa jabatan publik diperlukan adanya regenerasi yang normal dan tidak terkesan lama untuk menghindari kekuasaan yang absolut, karena kekuasaan yang absolut cenderung memiliki prilaku koruptif.
ADVERTISEMENT
Namun, di dalam kamar jabatan yang lain bahkan ada yang berpuluh-puluh tahun menjabat tak pernah diganti dan sialnya tidak pernah ada yang memprotes itu, misalnya pada jabatan Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW) yang penulis berpendapat 2 posisi tersebut juga amatlah penting untuk dilakukan regenerasi untuk menghadapi persoalan-persoalan kecil yang terjadi di masyarakat, tentu dalam setiap zaman akan selalu muncul persoalan yang berbeda dan membutuhkan cara penanganan yang berbeda pula. Selain itu, hal tersebut juga menjadi salah satu variabel keuntungan tersendiri bagi beberapa tokoh yang memang menjabat sebagai Anggota Legislatif (DPRD Kab/Kota, Prov atau DPR RI). Pasalnya, ada tokoh anggota Dewan yang bahkan menjabat sampai 7 periode berturut-turut yang tak segan-segan menkonsolidasikan kekuatan RT-RW ini sebagai basis pencari dan pertahanan suara sang Anggota Dewan atau dalam kata lain menjadi Timses dari Anggota Dewan tersebut, lagi-lagi sialnya hampir tak ada orang yang memperhatikan itu.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 ini juga prilaku standar ganda mudah ditemukan dan bisa berasal dari semua kubu pendukung pasangan Capres-Cawapres, dalam contoh kasus misalnya adalah isu kecurangan Pemilu. Mahfud MD sendiri pernah mengatakan sewaktu masih menjabat menjadi Menkopolhukam bahwa pihak yang kalah dalam Pemilu pasti akan selalu berteriak curang, dan hal tersebut terbukti hari ini, ada banyak opini bertebaran yang berusaha menggiring perspektif masyarakat lainnya untuk melihat bahwa memang Pemilu ini penuh dengan kecurangan dan hanya bermodalkan bukti selisih suara C-Hasil dengan angka yang diinput dalam sistem SiRekap milik KPU RI.
@jagasuara2024 meliris penelitian hasil selisih SiRekap vs C-Hasil yang selama ini menjadi fokus perdebatan, dalam data yang dirilis menunjukkan bahwa Paslon 01 terdapat 1.00% selisih suara pada SiRekap dan C-Hasilnya, Paslon 02 terdapat 0.40%, dan Paslon 03 terdapat 1.41%. Dari angka-angka tersebut jelas membuktikan bahwa penggelembungan suara dalam sistem SiRekap tidak hanya terjadi dan menguntungkan Paslon 02 saja seperti yang selama ini dinarasikan, akan tetapi masih ada saja yang mempertahankan narasi bahwa Pemilu curang dan hanya bermodalkan error system pada SiRekap tersebut.
ADVERTISEMENT
Fakta yang penulis hadapi di lapangan adalah para pendukung yang paslonnya mengalami kekalahan cenderung memiliki pandangan yang standar ganda, dengan mengatakan bahwa selisih suara yang menguntungkan 02 adalah mutlak sebuah kecurangan sedangkan selisih suara yang menguntungkan 01 atau 03 adalah mutlak kesalahan sistem atau human error. Hal ini menunjukkan betapa lucunya masyarakat kita dalam memvonis suatu kesalahan yang sama tapi dengan penilaian yang berbeda, dan sekaligus menunjukkan bahwa objektifitas seseorang bisa lumpuh sementara hanya persoalan perbedaan pilihan dalam politik.
Mekanisme Pemilu dan Perhitungan Angka-Angka
Mekanisme Pemilu di Indonesia sendiri sudah diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan disana segala hal dijelaskan terkait aturan main dalam Pemilihan Umum di Indonesia. Bahkan, lebih rigid lagi sampai pada tingkat pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016 menunjukkan bahwa para anggota Dewan yang juga mewakili partai nya serius menggarap ‘cara main’ dalam kontestasi politik, dan akan sangat menggelikan ketika paslon yang mereka usung ternyata harus kalah atas aturan main yang mereka tetapkan sendiri sampai berteriak curang hanya karna perolehan suaranya secara nasional sangat tidak memuaskan atau bisa dikatakan memalukan untuk ukuran paslon yang diusung partai yang besar.
ADVERTISEMENT
Padahal, jika kita berbicara angka-angka yang saat ini muncul pada Real Count KPU RI tentu seharusnya itu sudah bisa diprediksi sendiri oleh masing-masing Pasangan Capres-Cawapres yang penulis yakin pasti mereka memiliki survei internal sendiri dalam mengetahui elektabilitas dirinya dan lawan politiknya. Tentu ini menjadi persoalan yang absurd dan hanya akan menambah keterbelahan di masyarakat, bukan bermaksud menolak mentah-mentah tuduhan kecurangan Pemilu yang hari ini beredar, akan tetapi seharusnya dari sana lah para Capres-Cawapres beserta koalisi nya sudah mulai berhitung sebelum hari dimana pencoblosan itu datang untuk mengatasi defisit suara jagoannya untuk memenangkan Pemilu.
Dalam kontestasi, menang kalah adalah hal biasa. Jika mengikuti kontestasi hanya memiliki mental untuk menang maka lebih baik urungkan niat untuk maju dalam pertarungan, jika kalah dan tidak menerima itu atas argumentasi kecurangan lebih baik siapkan bukti-bukti kecurangan yang ada untuk menggugat di Mahkamah Konstitusi sesuai aturan main yang sudah ditetapkan secara bersama itu. Semoga politik Indonesia beranjak menjadi kedewasaan dalam berpolitik dan mengutamakan aspek kesatuan dan kepentingan bangsa diatas kepentingan dan egoisme golongan, tokoh dan partai politik.
ADVERTISEMENT