Konten dari Pengguna

Muhammadiyah dan Konsesi Pertambangan

Raja Faidz el Shidqi
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik - FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta//2019
29 Juli 2024 10:02 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raja Faidz el Shidqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Raja Faidz el Shidqi
Excavator dan dump truck yang bekerja di tambang batu bara, ilustrasi vektor datar. Sumber : iStockPhoto
zoom-in-whitePerbesar
Excavator dan dump truck yang bekerja di tambang batu bara, ilustrasi vektor datar. Sumber : iStockPhoto
Akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan bahwa Muhammadiyah berakhir sepakat menerima konsensi pengelolaan tambang yang diperkuat dengan adanya Risalah Konsolidasi Nasional Muhammadiyah yang diselenggarakan di Yogyakarta, 27 – 28 Juli 2024. Sebagai sebuah catatan, Muhammadiyah menerima tawaran Pemerintah tersebut dengan berorientasi pada kesejahteraan sosial dan menjaga kelestarian alam secara seimbang, pembaca bisa membayangkan bagaimana model pengelolaan tambang mineral dengan menjaga kelestarian alam secara seimbang ketika tujuan pertambangan adalah meraup keuntungan yang tidak mungkin mengambil sesuatu yang berpotensi merugikan? Bagaimana mungkin di dalam kondisi bumi yang krisis iklim ini seolah diskursus yang berkaitan dengan energi terbarukan seolah stagnan tanpa ada kemajuan yang justru berakhir dengan bagi-bagi izin pengelolaan tambang terhadap Organisasi Masyarakat yang menjadikannya seolah-olah Ormas-Ormas ini terbeli oleh Pemerintah untuk suatu kepentingan lain.
ADVERTISEMENT
Potensi Masalah Aktivitas Pertambangan
Energy Infomration Administration di Amerika Serikat menjelaskan bahwa fly ash atau limbah debu pertambangan telah dilarang untuk dilepaskan ke udara melalui pembakaran dikarenakan dianggap sebagai limbah berbahaya dan berisiko tinggi atas kesehatan dan kualitas udara yang dihirup oleh masyarakat, upaya yang dilakukan salah satunya ialah merancang sebuah perangkat pengendalian polusi yang menangkap fly ash dan juga bottom ash yang dihasilkan oleh aktivitas pertambangan batu bara. Namun hal ini berbanding terbalik di Indonesia, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengeluarkan fly ash dan bottom ash dari kategori limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang ditanda tangani oleh Presiden Joko Widodo sejak 2 Februari 2021. Selama fly ash dan bottom ash dikategorikan sebagai limbah B3, maka limbah hasil pembakaran batu bara (FABA) tersebut tidak bisa dimanfaatkan, berdasarkan klaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) klaim atas beberapa kajian ilmiah FABA bukanlah limbah B3 dan dapat dimanfaatkan untuk beberapa produk seperti bahan bangunan. Namun, lagi-lagi yang menjadi pertanyaan apakah praktik pemanfaatan limbah FABA di Indonesia untuk menjadi bahan bangunan sudah maksimal dan tak ada pengusaha yang nekat bandel membuang FABA ke udara dibanding harus mengeluarkan operational cost tambahan untuk pemanfaatan FABA?
ADVERTISEMENT
Menurut Johansyah,, Koordinator JATAM kepada BBC News Indonesia telah terdapat 14 orang meninggal dunia akibat FABA yang ditimbulkan oleh PLTU Batu Bara di Palu yang mayoritas meninggal akibat kanker nasofaring, paru-paru hitam, dan kanker paru-paru dan di Kalimantan Timur, abunya masuk ke sumber-sumber air warga saat hujan dan terbang masuk ke rumah-rumah ketika musim kemarau. Hal tersebut memperkuat bahwa alih-alih memaksimalkan pemanfaatan limbah FABA untuk produk bahan bangunan justru terdapat adanya praktik pembiaran yang dilakukan Perusahaan atas limbah FABA karena menganggap bahwa FABA bukanlah limbah kategori B3 dan bukan tanggung jawab Perusahaan.
Menurut Reno Fitriyanti dalam jurnalnya PERTAMBANGAN BATUBARA: Dampak Lingkungan, Sosial dan Ekonomi – Jurnal Redoks, Teknik Kimia – Universitas PGRI Palembang Vol. 1, No. 1, Periode Januari-Juni 2016 ada setidaknya beberapa poin yang menjadi dampak nyata dari aktivitas pertambangan Batubara atas dampak lingkungan, yaitu Perubahan Bentang Lahan yang berakhir dengan meninggalkan lubang-lubang tambang yang besar dengan limbah yang tersisa didalamnya, Penurunan Tingkat Kesuburan Tanah yang diakibatkan dari kegiatan pengupasan tanah pucuk (top soil) dan tanah penutup (sub soil/overburden), Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati (biodiversity) akibat pembukaan lahan, Penuruan Kualitas Perairan dan Penuruan Kualitas Udara. Selain itu, dampak sosial yang terjadi atas aktivitas pertambangan bagi masyarakat disekitarnya tentu adanya konflik yang terjadi antara masyarakat dan Perusahaan berkaitan pembebasan lahan, pencemaran air dan udara serta kecemburuan sosial antara penduduk lokal dan warga pendatang, menurunnya kualitas kesehatan akibat debu yang memungkinkan masyarakat enggan beraktivitas di luar rumah, perubahan pola pikir masyarakat yang menganggap munculnya Perusahaan tambang menjadi sumber penghasilan baru yang memaksa masyarakat beralih profesi seperti petani menjadi Karyawan Perusahaan yang menyebabkan butterfly effect atas hasil pertanian yang menurun, struktur sosial yang juga ikut terpengaruh.
ADVERTISEMENT
Inkonsistensi atas Lingkungan Hidup dan Energi Terbarukan
Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah menyampaikan dalam agenda peluncuran Program 1.000 Cahaya yang dilakukan oleh Majelis Lingkungan Hidup (MLH) bahwa isu perubahan iklim dan energi terbarukan menjadi agenda gerakan Muhammadiyah, bahwa Keputusan Muktamar Muhammadiyah tentang Perubahan Iklim sebetulnya telah dikaji sejak Muktamar Muhammadiyah di Makassar dan kepedulian Muhammadiyah atas isu itu tidak berhenti pada perubahan iklim saja melainkan tentang energi yang terbarukan. Selanjutnya, Abdul Mu’ti juga mengatakan bahwa gerakan penyalamatan lingkungan harus didukung oleh banyak pihak dan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri terlebih saat ini dunia sedang berada pada situasi mendidih akibat dari pemanasan global. Padahal, beberapa rekomendasi hasil Muktamar Muhammadiyah ke – 47 di Makassar jelas terdapat beberapa poin yang menegaskan posisi Muhammadiyah dalam situasi pemanasan global dan kebencanaan, seperti Muhammadiyah meminta Pemerintah dapat tanggap dan tangguh menghadapi bencana karena Indonesia merupakan negara yang rawan akan bencana hal ini tak terlepas dari faktor pengerukan sumber daya alam yang berlebihan tanpa memperhatikan dampak jangka panjangnya seperti perubahan geografis, pemanasan global hingga naiknya permukaan air laut, serta Muhammadiyah merekomendasikan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat menimbulkan krisis ekonomi, krisis lingkungan, krisis kemanusiaan dan krisis politik.
ADVERTISEMENT
Terlebih Abdul Mu’ti dalam forum yang sama mewakili pandangan Muhammadiyah telah menyadari masalah tersebut, alih-alih mengambil alternatif dan solusi lain Muhammadiyah hari ini justru ikut terlibat menerima tawaran mengelola tambang di Indonesia, beliau mengatakan bahwa perubahan alam yang berdampak pada kerusakan lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal, khususnya ulah tangan manusia seperti maraknya industrialisasi di segala lini yang sulit dikontrol dan menegaskan agenda penyelamatan lingkungan oleh Muhammadiyah juga terfokus pada isu energi terbarukan dan berupaya mendorong kesadaran ini supaya diterapkan oleh setiap institusi di Persyarikatan Muhammadiyah.
Dan kemarin Muhammadiyah telah menunjukkan sikap inkonsistensinya dengan menerima tawaran mengelola tambang oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu, Reformasi Tata Kelola Filantropi Islam yang menjadi salah satu hasil rekomendasi Muktamar Muhammadiyah ke – 48 di Surakarta juga sepertinya seolah dilupakan, tujuan pengelolaan untuk kesejahteraan masyarakat seolah tanpa didasari nilai dan etis yang dijunjung tinggi, persoalan tata kelola dan keadilan distribusi tanpa melihat concern gerakan itu sendiri justru akan berujung pada konflik kepentingan dan gugatan dari publik yang hari ini dapat kita saksikan bersama terhadap Muhammadiyah maupun Nahdlatul ‘Ulama.
ADVERTISEMENT
Pertambangan dan Konflik Kepentingan Politik
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Baru Bara, Presiden Joko Widodo memeberikan izin khusus kepada Organisasi Keagamaan untuk mengelola tambang dengan jangka waktu 5 tahun sejak aturan diterbitkan. Jika izin yang diberikan Pemerintah kepada Ormas dalam melakukan pengelolaan tambang sebatas 5 tahun bukankah secara naluri bisa kita asumsikan bahwa konsensi ini hanya sebatas alat kekuasaan untuk membeli Ormas yang dianggap besar dan memiliki anggota yang banyak untuk kepentingan tahunan yang akan datang? Selain itu, bagaimana teknis daripada pengelolaan tambang oleh Ormas ini yang berkaitan dengan segala kebutuhan operasionalnya? Tentu sebagai masyarakat awam kita akan mempertanyakan darimana datangnya kendaraan-kendaraan alat berat tambang yang digunakan oleh Ormas dalam mengelola tambang atau bagaimana cara Ormas-ormas ini melakukan rekrutmen Karyawan hingga melakukan penggajian ketika operational cost pertambangan terlampau besar? Apakah dalam kurun waktu 5 tahun yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan mampu untuk menutup itu semua jika yang kita bahas dari segi ekonomi praktisnya?
ADVERTISEMENT
Lantas selanjutnya berbicara operational cost pertambangan ini bagaimana teknis yang diterapkan jika Ormas ikut serta mengelola? Apakah akan diserahkan terhadap Perusahaan Sekoci dari masing-masing ormas dengan mulai dari 0 sekalipun itu menggandeng Perusahaan lain yang telah profesional dan berpengalaman dalam pengelolaan tambang bukankah itu hanya akan menimbulkan konflik kepentingan disuatu hari nanti? Serta bagaimana pembagian keuntungan demi kemaslahatan masyarakat yang digaungkan itu jika sejak awal berproduksi saja Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi untuk pertambangan Mineral Logam dan Batu Bara wajib membayar sebesar 4% kepada Pemerintah dan 6% kepada Pemerintah Daerah dari total keuntungan bersih dalam aturan UU Mineral dan Batubara (Minerba)?
Diluar pertimbangan-pertimbangan itu semua tentu masyarakat awam memiliki hak untuk mempertanyakan apa kesepakatan lainnya yang ditawarkan maupun yang disetujui antara Ormas ini dengan Pemerintah? Bagaimana jika diakhir nanti keputusan yang pada awalnya didasari oleh kepentingan umum dan kemaslahatan masyarakat luas justru memberikan dampak negatif yang tak bisa dikendalikan dan menjadi alat pengikat kekuasaan terhadap Ormas yang ada sehingga berdampak pada Ormas yang tak lagi bergerak dan berorientasi pada masyarakat justru menjadi pelindung dan buzzer kekuasaan dalam skala besar?
ADVERTISEMENT