Konten dari Pengguna

UU Minerba, Perguruan Tinggi, dan Praktik Autocratic Legalism

Raka Aprillia Eka Putra
Mahasiswa Program Studi Hukum Pidana Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10 Februari 2025 16:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raka Aprillia Eka Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Undang-Undang yang merupakan produk dari DPR haruslah mempunyai tujuan yang jelas dan rigid. Tidak adanya alasan yang jelas dalam pembuatan undang-undang akan membuat banyak masyarakat bertanya-tanya urgensi dari produk tersebut. Terbaru, Revisi UU Minerba yang dilakukan oleh Badan Legislasi (BALEG) DPR yang dilakukan secara tertutup pada 20 Januari 2025. Rapat tersebut menimbulkan banyak tafsiran khususnya dari para akademisi, praktisi, maupun masyarakat sipil mengenai isi pasal dan alasan mengapa UU Minerba harus direvisi. Pasalnya beberapa poin yang tersorot adalah mengenai perguruan tinggi yang dapat mengelola tambang.
pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
pixabay.com
Keluar dari Fungsi Perguruan Tinggi
ADVERTISEMENT
Selain perancangannya yang terkesan serampangan karena hanya memerlukan waktu satu hari rapat dan minimnya partisipasi publik, Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai bahwa penyusunan revisi UU Minerba ini untuk memuluskan pemberian izin badan usaha milik ormas, ditambah dengan badan usaha milik perguruan tinggi dan UMKM yang menggunakan frasa “atau diberikan secara prioritas” seperti yang tertera pada pasal 51A ayat (1) yang mengatur Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas. Indonesian Corruption Watch (ICW) menambahkan bahwa tidak ada urgensi sama sekali untuk ormas maupun perguruan tinggi untuk mengelola tambang karena tidak ada pengalaman atau kompetensi di bidang pertambangan.
Pemberian izin tambang yang serampangan dan beresiko menyebabkan kerusakan lingkungan di batubara maupun mineral juga tidak sesuai dengan fungsi dari perguruan tinggi itu sendiri. Berdasarkan UU Pendidikan, perguruan tinggi memiliki tiga fungsi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Jelas bahwa jika perguruan tinggi mengelola tambang akan menabrak undang-undang tersebut dan bertentangan dengan fungsi dari perguruan tinggi itu sendiri. Dan dengan mengelola tambang, perguruan tinggi termasuk ikut berkontribusi dalam perusakan lingkungan yang padahal selama ini perguruan tinggi mempelopori upaya melestarikan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Seharusnya perguruan tinggi fokus pada penyiapan sumber daya manusia (SDM), pengetahuan, dan kapasitas yang mendukung percepatan transisi energi. Juga perguruan tinggi dalam hal hilirisasi dapat bermain peran dalam mendukung adanya transfer of knowledge dari investor, membuat lab-lab yang mendukung industri, dan menghasilkan SDM yang paten di bidang pertambangan.
Praktik Autocratic Legalism
Hal yang menjadi sorotan adalah bahwa revisi UU Minerba ini adalah upaya untuk melanggengkan kekuasaan bagi pemerintah hari ini. Pada beberapa kesempatan, pemerintah melakukan praktik autocratic legalism untuk menutupi penilaian masyarakat bahwa revisi UU Minerba dilakukan untuk meredam kekritisan mahasiswa dan dosen melalui pejabat kampus terhadap kondisi Indonesia hari ini.
Praktik autocratic legalism merupakan upaya penguasa untuk memanipulasi hukum dan konstitusi yang tujuannya untuk memperkuat dan memperbesar kekuasaan politik kelompoknya. Dalam praktik autocratic legalism, semuanya dilakukan sesuai dengan koridor hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum. Tujuan akhir dari adanya praktik tersebut adalah untuk memperbesar kekuasaan dan politik bagi kelompoknya.
ADVERTISEMENT
Revisi UU Minerba bukan kali pertama praktik autocratic legalism dilakukan, hal demikian dapat dilihat dari banyaknya “sulap regulasi” yang dilakukan oleh penguasa beberapa waktu terakhir. Salah satu yang paling mencuat dan menimbulkan polemik adalah mengenai batasan usia pencalonan presiden dan wakil presiden dalan UU Pemilu. Batasan usia di pasal 169 UU Pemilu menyebutkan bahwa batasan pencalonan adalah paling rendah 40 tahun. Namun, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait dengan ketentuan persyaratan usia minimal untuk menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden menjadi salah satu bukti kuat bahwa terjadi praktik autocratic legalism dengan meloloskan putra presiden (Gibran Raka Buming) menjadi calon wakil presiden.
Bivitri Susanti berpendapat bahwa autocratic legalism lebih berbahaya daripada otoritarianisme seperti masa orde baru karena yang terjadi hari ini dianggap baik-baik saja. Hal ini menjadi jelas bahwa pemerintah Indonesia masih melanggengkan praktik yang tidak sesuai dengan nilai dan prinsip negara demokrasi. Hukum tidak ditempatkan sebagai perangkat nilai (HAM dan pembatasan kekuasaan, prinsip negara hukum) sebagai kerangka bernegara, namun sebagai justifikasi kebijakan yang dibuat untuk kepentingan kelompoknya.
ADVERTISEMENT