Sumbu Filosofis Yogyakarta, Kota yang Kaya Akan Tradisi dan Budaya

Raka Kumara Jati
S.Pd Pendidikan Sejarah Universitas Jember
Konten dari Pengguna
5 April 2022 14:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raka Kumara Jati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Sumbu filosofis kota Yogyakarta yang memiliki makna nilai kehidupan bagi masyarakatnya

ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai kota Yogyakarta memang tidak ada habisnya. Yogyakarta sangat kaya akan tradisi, eksistensinya tak pernah luntur hingga sekarang. Bahkan Yogyakarta diakui sebagai World Heritage City oleh UNESCO.
ADVERTISEMENT
Yogyakarta adalah tempat yang penuh makna dan budaya tentang tanah Jawa. Keindahan dan keistimewaan kota Yogyakarta tidak serta-merta didapatkan begitu saja, banyak sejarah panjang yang tak bisa dilupakan.
Kota Yogyakarta didirikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada 1755, berada diantara gunung dan laut yang diapit dengan 3 sungai.
HB I juga mendirikan keraton Yogyakarta yang berada di antara gunung dan laut. Tentunya secara kosmologis, kota Yogyakarta merupakan cerminan dari alam semesta.
Kota Yogyakarta memiliki sumbu filosofis yang sudah ada sejak kota ini berdiri dan ditata oleh HB I.
Sumbu ini adalah garis lurus imajiner yang terhubung dari utara ke selatan, dari Merapi hingga ke Pantai Selatan melewati bangunan penting bagi masyarakat Yogyakarta, yaitu Tugu Jogja, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.
ADVERTISEMENT
Ilustrasinya kurang lebih seperti ini.
Ilustrasi garis lurus imajiner dari Merapi hingga Pantai Selatan. Sumber: Raka Kumara
Sumbu filosofis kota Yogyakarta menjadi satu-satunya yang ada di dunia dalam hal penataan tata kota dengan nilai universal kehidupan.
Sumbu filosofis ini menggambarkan siklus kehidupan manusia (Sangkan Paraning Dumadi) dan hubungan manusia dengan Tuhan (Hablun min Allah), manusia dengan manusia (Hablun min Annas), serta manusia dengan alam jagad seisinya atau dalam istilah Jawa-Islamnya disebut Manunggaling Kawula Gusti.
Bukan hanya terbatas pada filosofi Jawa-Islam itu saja, tetapi sumbu ini juga dipercayai memiliki makna keseimbangan antara unsur api (Merapi) dan unsur air (Pantai Selatan).
Keraton Yogyakarta yang berada diantaranya berperan sebagai penyeimbang. Selain itu, Keraton Yogyakarta juga menjadi pusat untuk manusia berproses.
Jika dirinci secara detail, Panggung Krapyak merepresentasikan sangkan paran, yaitu asal usul manusia untuk berproses menuju eksistensinya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan tugu dan keraton melambangkan paraning dumadi, yaitu manusia yang berproses menjalani kehidupannya. Proses tersebut meliputi kehidupan untuk mendapatkan jalan kesejahteraan, kemuliaan, dan menjauhi larangan.
Tugu Yogyakarta atau Tugu Golog Gilig merepresentasikan makna manunggaling kawula gusti, yaitu menyatunya rakyat dengan penguasa dan menyatunya penguasa dengan Sang Pencipta.
Secara geografis, di utara kota Yogyakarta terdapat gunung Merapi yang melambangkan ketenangan dan tempat suci.
Di tengah kota menandakan adanya aktivitas manusia, pusat manusia berproses. Di selatan kota Yogyakarta terdapat Pantai Selatan yang melambangkan siklus kehidupan bahwa semuanya akan bermuara ke laut, berakhir dan hanyut di laut.
Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan makna siklus kehidupan manusia (sangkan paraning dumadi) bahwa semuanya akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa.
ADVERTISEMENT
Secara legenda, masyarakat Jawa percaya bahwa Merapi adalah tempat kerajaan roh-roh gaib. Disana terdapat kehidupan layaknya kerajaan dengan raja, prajurit, dan para pekerjanya.
Legenda ini konon memiliki makna bahwa Keraton Yogyakarta sebagai penyeimbang dua kubu kerajaan roh yang ada di Merapi, dan Ratu Kidul di Laut Selatan.
Selain itu, Pantai Selatan juga dipercaya sebagai tempat dari Kanjeng Ratu Kidul, sang penguasa laut selatan.
Dikisahkan pada babad tanah Jawi, Panembahan Senopati pernah bertemu dengan Ratu Kidul ketika Senopati bertapa di Pantai Selatan untuk mendirikan kerajaan Yogyakarta.
Mereka berinteraksi dan membuat perjanjian agar kota Yogyakarta terlindungi dari bahaya Merapi.
Lalu legenda ini melahirkan tradisi dan kepercayaan yang melekat di masyarakat Yogyakarta secara turun-temurun hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
Beberapa diantaranya adalah tradisi upacara Labuhan dan kepercayaan yang ada di sekitar Merapi bahwa roh-roh akan melindungi warga sehingga mereka tak mau dievakuasi saat terjadi letusan.
Sumbu filosofis kota Yogyakarta memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Yogyakarta.
Meskipun tak terlihat secara nyata, hanya sebuah garis imajiner yang menghubungkan dari utara ke selatan, tetapi terdapat nilai-nilai kehidupan yang sangat bermakna.
Kota Yogyakarta dibuat tidak sembarangan oleh pendirinya, Sri Sultan Hamengkubuwono I. Beliau mendirikan kota yang penuh dengan nilai filosofis kehidupan, nilai kebudayaan yang luar biasa.