Konten dari Pengguna

Akhirnya Aku Jadi Silent Reader

Rakhmasari Kurnianingtyas
Seorang ibu-ibu PNS Kemenkeu yang mengusir jenuh dengan menulis
10 Maret 2022 20:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rakhmasari Kurnianingtyas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perpesanan (pexels/anton)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perpesanan (pexels/anton)
ADVERTISEMENT
Aku tersenyum lebar sambil memegangi ponselku. Postingan ini really make my day... Lucu…
ADVERTISEMENT
Klik klik. Share.
Aku membagikan tautan itu ke grup kantor.
Sambil menunggu balasan aku masih terus membuka akun-akun yang lain siapa tahu ada yang lucu lagi. Lucu versiku biasanya tingkah polos bocil, kejadian-kejadian gak sengaja yang terekam kamera atau orang-orang dewasa yang sengaja bertingkah untuk memancing tertawa netizen dengan mempermalukan diri sendiri.
Kuintip lagi aplikasi pesan instan.
Krik... Krik... Krik...
Belum ada juga yang menanggapi di grup tentang hal yang aku posting tadi. Aku melanjutkan aktivitasku yang lain dan kutinggalkan ponselku sejenak.
Saat sudah ada waktu senggang kuambil lagi ponsel untuk mengecek pesan-pesan yang masuk.
Kuintip lagi grupku. Dan masih seperti tadi pagi waktu aku tinggalkan.
Ada rasa kecewa dan sedih lewat sebentar di hatiku. Sebenarnya hal-hal seperti ini sudah sering kualami, tapi tiap kali terulang masih saja rasa seperti itu yang muncul.
ADVERTISEMENT
Memang sejak pandemi dan mengharuskan kita lebih banyak di rumah, aku merasa hubungan sosialku banyak berubah. Dari yang setiap hari bertemu di kantor sekarang hanya lewat ponsel. Itupun lebih banyak membahas soal pekerjaan.
Tidak terasa sudah 2 tahun kita menjalani hidup seperti ini...
Rasa takut, khawatir, was-was, bosan dan jenuh dengan keadaan di awal-awal sudah berubah jadi hambar dan menerima saja apa adanya.
Yang menjadi terasa berbeda adalah pola komunikasi yang sudah terbentuk secara alami menyesuaikan keadaan. Intensitas pertemuan fisik telah tergantikan melalui gadget. Entah itu hanya sekadar pesan ataupun visual. Semua kita lakukan secara online.
Di awal-awal semua masih saling menguatkan. Semua masih saling memberi semangat.
Tidak apa-apa sementara kita begini. Yang penting masih tahu kabar masing-masing...
ADVERTISEMENT
Tidak masalah hanya lewat ponsel..
Yang penting rindu kita bisa sedikit terobati...
Namun... Lama-lama semua berubah.
Sedikit demi sedikit berkurang.
Teman yang tadinya fast response jadi sering menghilang. Kawan yang tadinya bisa setiap saat bercerita apa saja, berubah menjawab secukupnya.
Grup menjadi sepi dan tanpa nyawa....
Bahkan untuk membalas dengan satu ketikan emoticon saja sudah seperti berat sekali jarinya mengetik.
Akhirnya aku berpikir, ya sudahlah…
Orang lain sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Maka carilah kesibukanmu sendiri juga.
Mungkin pandemi telah menurunkan derajat kebutuhan orang untuk bersosialisasi. Hanya benar-benar dengan orang terdekat lah kita akhirnya bisa menjadi diri sendiri. Tanpa harus memaksakan diri menerima keadaan atau memaksa orang untuk memahami kebutuhan kita. Pandemi sudah menyeleksi mana teman dekat dan mana teman yang terpaksa dekat.
ADVERTISEMENT
Tetapi sebenarnya kalau kita renungkan lagi, dunia nyata dan dunia maya begitu berbeda. Ada banyak alasan orang untuk tidak terlalu aktif di grup chat, tetapi di saat bertemu hebohnya kayak mak-mak yang pengin segera diskusi gosip artis yang baru dibacanya di media sosial. Jadi keputusan orang untuk menjadi silent reader di grup chat bisa jadi sebenarnya tidak mencerminkan dirinya yang sebenarnya di dunia nyata.
Jadi… terimalah apa adanya semua teman di grup chat itu.
Ada satu quote pernah kubaca:
Berhentilah menjadi "selalu ada" untuk orang yang bahkan menempatkanmu pada prioritas terakhir.
Jadi aku pikir sekarang aku juga mau menjadi silent reader juga di grup. 😊