Konten dari Pengguna

Tebak Sasaran Subsidi Tiket KRL Berbasis NIK

Rama Permana
PhD Candidate bidang Sustainable Travel di Bournemouth University dan Chartered Member Doctrine UK.
1 September 2024 9:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rama Permana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi KRL. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KRL. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Kegelisahan tidak henti-hentinya menghantam pengguna Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek. Setelah berdesakan akibat perubahan rute dan kepadatan di stasiun Manggarai, pejuang rupiah di Jakarta juga sempat terancam dampak turunnya daya angkut karena masalah impor KRL. Kini, para komuter kembali mencemaskan rencana subsidi tiket KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK).
ADVERTISEMENT
Sebagai kewajiban layanan publik atau Public Service Obligation (PSO), pemerintah menginginkan subsidi agar lebih tepat sasaran. Dengan berlandaskan NIK, maka subsidi akan menyasar kelas bawah sebagai penerima yang dianggap lebih berhak. Di sisi lain, sebagian komuter menganggap tarif berdasarkan kemampuan ekonomi bertentangan dengan prinsip layanan publik yang inklusif.
Subsidi skema baru ini malah berpotensi meningkatkan kemacetan. Meskipun masih akan dibahas Kementerian Perhubungan, sebagian komuter yang merupakan kelas menengah berspekulasi tentang membengkaknya ongkos KRL. Dampaknya, komuter bisa beralih meninggalkan KRL dan kembali menggunakan kendaraan pribadinya.

Subsidi Transportasi Publik

Jabodetabek justru perlu terus memperbaiki transportasinya agar setara dengan kota-kota maju lain di dunia. Hampir semua layanan transportasi publik masih mengandalkan subsidi pemerintah. Misalnya, dilansir dari laporan keuangan terakhirnya, Île-de-France Mobilités Paris menerima 14% dari pendapatannya berupa subsidi pemerintah, Transport for London sebesar 38%, dan disusul Transmilenio Bogota sebanyak 40%.
Layanan trem dan penyewaan sepeda yang terintegrasi di Dijon, Prancis.
Membedakan tarif sesuai kemampuan ekonomi terbukti kurang efektif. Kota Bogota pernah menerapkan subsidi untuk kelas bawah tahun 2017. Hasilnya, subsidi tiket KRL berbasis NIK hanya meningkatkan jumlah komuter kelas bawah dalam jangka pendek. Namun, efektivitas subsidinya menurun dalam jangka panjang, yakni tidak ada perbedaan signifikan antar kelompok ekonomi (Guzman dan Hessel, 2022).
ADVERTISEMENT
Rencana kebijakan ini juga datang pada memontum yang tidak tepat. Subsidi tiket KRL berbasis NIK akan mendiskriminasi kelas menengah Indonesia yang jumlahnya baru saja merosot. Sementara itu, masyarakat kelas atas masih sulit beralih menggunakan transportasi publik karena banyaknya insentif kendaraan pribadi.
KRL datang di Stasiun Tebet

Alternatif tiket KRL berbasis NIK

Alih-alih menyesuaikan subsidi berdasarkan NIK, pemerintah mempunyai berbagai instrumen yang bisa lebih efektif mengurangi kemacetan. Transportasi publik biasanya mengotak-atik tarif berdasarkan usia penumpang dan frekuensi penggunaan. Misalnya, diskon tarif di Inggris hanya berlaku untuk tiket langganan, pelajar, dan lansia. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, pemerintah wajib memberikan tarif yang terjangkau.
Instrumen potensial lainnya adalah mengurangi insentif kendaraan pribadi. Subsidi tepat sasaran seharusnya diterapkan untuk bahan bakar minyak (BBM), membidik kendaraan untuk kegiatan usaha atau produksi, logistik, dan komersil sebagai penerimanya. Selain itu, rasio uang muka kredit dan pembiayaan kendaraan bermotor pribadi dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/2/PBI/2021 harus kembali dinaikkan, bukan nol persen.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pajak Kendaraan Bermotor Listrik Bertenaga Baterai (KBLBB) sebaiknya tidak perlu diberikan keringanan. Toh, kepemilikan kendaraan listrik pribadi tidak akan mengurangi kemacetan di jalan dan menghilangkan polusi energi di sisi hulu (pembangkit) yang masih didominasi batubara. Insentif ini kontradiktif karena dinikmati oleh kelas menengah atas dan kelas atas saja tanpa efek limpahan (spillover effect) yang jelas.
Komuter Bodebek juga tidak bisa dipaksa bekerja di Bodebek saja, sebab mereka saling membutuhkan dengan perkantoran di Jakarta. Sehingga, pemerintah harus mengembalikan transportasi publik –termasuk KRL– kepada fungsi dasarnya, sebagai tempat yang inklusif bagi semua tanpa segregasi ekonomi. Seperti kutipan populer dari mantan wali kota Bogota, Enrique Peñalosa, berikut ini.
ADVERTISEMENT
Kita berharap pemerintah mempertimbangkan ulang komponen subsidi agar lebih tepat sasaran, bukan sekadar tebak sasaran. Dengan demikian, PSO yang bersumber dari uang pajak menjadi tepat manfaat untuk layanan publik dengan inklusif. Semoga kelas menengah sebagai pengungkit ekonomi negeri juga bisa keluar dari berbagai himpitan yang datang terus silih berganti.