Anomali Pencegahan Kejahatan: Represi dalam Regulasi

Rama Swahuda
Sarjana Kriminologi
Konten dari Pengguna
2 Juni 2019 6:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rama Swahuda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pencegahan kejahatan. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pencegahan kejahatan. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini warga Indonesia meributkan sebuah putusan yang pada dasarnya dilakukan sebagai upaya pencegahan. Pembatasan penggunaan media sosial pada era masyarakat informasi ini menjadi polemik yang cukup serius. Revolusi industri 4.0 menjadikan konsumsi informasi dan telekomunikasi sebagai ‘makanan’ pokok masyarakat. Alhasil, putusan tersebut dinilai berlebihan oleh sejumlah pihak.
Ini memicu sebuah pertanyaan besar. Putusan tersebut sejatinya dilakukan dalam rangka mencegah peradangan konflik kerusuhan 22 Mei. Hoaks atau berita bohong yang mengalir bebas di media sosial menjadi virus laten yang merusak keguyuban masyarakat. Lantas, mengapa muncul pro-kontra pada kebijakan pembatasan media sosial dalam masyarakat?

Mengintip Sifat Pencegahan Kejahatan

Definisi pencegahan kejahatan sendiri beragam. Beberapa ahli sepakat bahwa pencegahan kejahatan merupakan upaya mereduksi faktor risiko terjadinya sebuah tindak kejahatan. Dilihat dari sifatnya, maka pencegahan kejahatan dapat dibagi menjadi dua, yakni: bersifat represif dan non-represif.
Kumpulan definisi pencegahan kejahatan. Foto: olahan pribadi
Pencegahan kejahatan yang bersifat non-represif dapat berbentuk asesmen risiko kejahatan dan sosialisasi program, atau sosialisasi bentuk tindak kejahatan. Asesmen risiko kejahatan melakukan analisis terhadap indikator terjadinya sebuah tindak kejahatan. Cohen dan Felson dalam buku Crime Prevention & Community Safety: Politics, Policies, and Practices menerangkan setidaknya terdapat empat indikator yang menyebabkan sebuah tindak kejahatan terjadi:
ADVERTISEMENT
1. Calon pelaku kejahatan dengan motif kejahatannya;
2. Kemampuan dan alat yang dibutuhkan dalam melakukan kejahatan;
3. Target dari pelaku kejahatan;
4. Kesempatan dalam melakukan kejahatan.
Keempat aspek tersebut kemudian disederhanakan ke dalam dua situasi, yakni situasional dan non-situasional. Kedua kondisi tersebut menjelaskan perbedaan antara kejahatan yang terjadi secara spontan, dan kejahatan yang direncanakan. Adapun contoh dari pencegahan kejahatan non-represif berupa asesmen risiko kejahatan seperti data wilayah rawan kejahatan hingga sosialisasi modus kejahatan.
Sifat kedua pencegahan kejahatan yang represif dapat berbentuk regulasi atau pemberian hukuman tertentu. Salah satu ciri dari regulasi tersebut adalah pembatasan perilaku seseorang dalam kondisi tertentu, seperti batasan jam malam, imbauan wajib lapor pada tamu, atau keberadaan polisi tidur di jalanan. Dapat disimpulkan bahwa represi yang dihasilkan dari regulasi pencegahan kejahatan tidak lain dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan.
ADVERTISEMENT

Anomali dalam Kebijakan Pencegahan Kejahatan

Dengan intaian angkara dalam tubuh masyarakat, keamanan menjadi kebutuhan mutlak. Perlu diketahui bahwa keamanan tidak tercipta begitu saja. Istilah ‘tunduk pada hukum’ atau ‘taat hukum’ perlu diindahkan demi terciptanya keamanan. Namun, makna kedua istilah tersebut dewasa ini menjadi abu-abu, terkesan represif, mengekang, dan berlebihan. Pengabaian terhadap regulasi yang seyogianya mampu mencegah kebengisan manusia itu pun terjadi.
Pengabaian aturan ini kemudian menambah daftar masalah. Keberadaan sebuah program atau kebijakan pencegahan kejahatan kerap dipandang sebelah mata. Bagai acar dalam nasi goreng, keberadaannya hanya diindahkan oleh pencintanya. Hasil pencegahan kejahatan yang terbilang ‘kasat mata’ itu hanya dapat dirasakan sebagian orang. Bahkan dalam sejumlah kasus, manfaat pencegahan kejahatan hanya dapat dirasakan apabila kejahatan sudah terjadi.
ADVERTISEMENT
Polemik pembatasan media sosial beberapa waktu lalu merupakan contoh konkret anomali yang muncul dari represi pencegahan kejahatan. Bagaimana tidak? ‘Kebutuhan primer’ masyarakat modern saat itu dibatasi. Meskipun regulasi tersebut diputuskan dengan menimbang ancaman hoaks yang mampu merobek ukhuwah masyarakat, namun regulasi tersebut tetap mendapat respons negatif dari sejumlah pihak.
Untuk memahami hal tersebut, regulasi tersebut dapat dilihat sebagai koin yang memiliki dua sisi: Fungsinya sebagai upaya pencegahan kejahatan yang lebih serius dan sifatnya yang mengancam sebagian pihak.

Dua Wajah Kebijakan Pencegahan Kejahatan

Pembatasan media sosial tersebut dilakukan dalam rangka mencegah pelaku kejahatan (penyebar hoaks dan provokator) untuk memperparah situasi. Dalam kondisi chaos kerusuhan 22 Mei tersebut, melakukan provokasi terhadap sejumlah pihak terkesan effortless jika media sosial menjadi senjata.
ADVERTISEMENT
Sulitnya verifikasi berita hoaks, penyebaran berita yang cepat, dan sumber berita yang abstain memudahkan oknum kerusuhan untuk mencari simpatisan dan memperkeruh keadaan.
Sebagaimana empat aspek kejahatan yang sudah dibahas sebelumnya, maka tugas kebijakan pencegahan kejahatan di sini adalah melakukan intervensi terhadap faktor risiko kejahatan yang dalam hal ini adalah alat melakukan kejahatan dan kesempatan.
Pembatasan media sosial punya andil dalam melindungi masyarakat, meski membatasi sejumlah aktivitas masyarakat di media sosial. Foto: olahan pribadi
Namun, sisi lain kehadiran kebijakan ini merenggut kebebasan sejumlah pihak. Kita tidak bisa menutup mata bahwa regulasi ini juga membawa kerugian bagi sejumlah pihak, seperti pedagang online yang tidak bisa beraktivitas seperti sedia kala.
Sifat represif kebijakan tersebut mendorong masyarakat untuk berinovasi. Virtual Private Network (VPN) digunakan sebagai jalan keluar untuk menerobos iktikad baik penggawa keamanan negara tersebut. Namun, alih-alih mendapatkan keuntungan, sejumlah pengguna VPN justru menambah kasus baru. Ironinya, kasus tersebut dijadikan bahan untuk kembali menuntut regulasi pembatasan media sosial tersebut.
ADVERTISEMENT
Polemik pro-kontra regulasi pencegahan kejahatan ini pada dasarnya wajar. Anomali itu muncul akibat gesekan antara kepentingan dengan kebijakan. Sebagai masyarakat yang bijak, ada baiknya meninjau kembali respons yang kita berikan terhadap regulasi pencegahan kejahatan yang ada, bahwa represi yang dilakukan terkadang menimbang keselamatan nyawa yang lebih banyak.
Keberhasilan sebuah program, kebijakan, dan regulasi yang ada, juga digantungkan pada partisipasi masyarakatnya.