Apa yang Terjadi bila Kamu Terlalu ‘Keras’ pada Dirimu Sendiri?

Rama Swahuda
Sarjana Kriminologi
Konten dari Pengguna
27 Juli 2019 0:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rama Swahuda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi sisi lain dari kontrol diri. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sisi lain dari kontrol diri. Foto: Pixabay
Kerap kali kita beranggapan bahwa perilaku seperti mabuk-mabukan, pelanggaran lalu lintas, perkelahian, hingga pembunuhan disebabkan oleh kegagalan individu dalam menahan dirinya. Atau, lingkungan menjadi kambing hitam di balik perilaku tersebut.
ADVERTISEMENT
Lantas pertanyaannya, apabila seseorang hidup dalam lingkungan yang baik, memiliki kontrol diri yang baik pula, apakah ia akan terlepas dari jerat rayuan angkara?
Faktanya, tidak selalu seperti itu. Sejumlah penelitian menjelaskan bahwa terlalu keras dalam kontrol diri dapat menyebabkan penyimpangan. Ini jelas berseberangan dengan anggapan ‘lingkungan baik, menciptakan individu yang baik’. Premis ini tidak salah dan bukan tanpa dasar. Beberapa teori sudah menjelaskan bahwa salah satu sebab orang tidak melakukan kejahatan adalah lingkungan yang ‘positif’ dan kontrol diri yang kuat.
Salah satunya, Travis Hirschi, seorang sosiolog yang juga berkontribusi dalam bidang kriminologi, mengembangkan sebuah teori perihal peranan lingkungan dalam mencegah penyimpangan. Ia berargumen bahwa semakin banyak keterlibatan seorang individu dalam sebuah institusi yang patuh hukum, maka semakin kecil kemungkinannya untuk melakukan pelanggaran.
ADVERTISEMENT
Dalam pengembangan teorinya, Hirchi bersama Gottfredson berargumen bahwa individu memiliki kontrol diri yang mampu mencegah dirinya dari melakukan kejahatan. Tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungannya, manusia memiliki kemampuan untuk menimbang keputusannya untuk melakukan kejahatan atau tidak. Semakin kuat kontrol dirinya, maka semakin kecil kemungkinan seorang individu akan melakukan kejahatan.
Namun sepertinya, anggapan ‘semakin banyak, semakin baik’ tidak berlaku pada konteks kontrol diri. Ini menjelaskan bahwa tidak selalu orang yang tinggal dalam sebuah komunitas dengan kontrol sosial yang baik, tidak akan melakukan kejahatan.
Sisi Gelap dari Kontrol Diri
Sebagian besar orang beranggapan, mampu menahan diri dari godaan untuk melakukan tindakan yang merugikan merupakan hal baik. Misal, menahan diri dari membeli barang yang tidak perlu (boros), konsisten dalam diet, atau bahkan menahan diri untuk tidak menerobos lampu merah. Namun, terlalu keras dalam mengontrol diri justru dapat menyebabkan katastrofe.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dilakukan oleh Edwin I. Megargee pada tahun 1966 menjelaskan mengapa orang berkelakuan ‘baik’ dapat menjadi seorang pembunuh. Fungsi kontrol diri yang sejatinya adalah menyaring impuls tindakan menyimpang menjadi bumerang bagi majikannya.
Dalam kasus over-controlled atau terlalu keras dalam kontrol diri, impuls tindakan menyimpang yang terakumulasi dan tersimpan dalam waktu yang lama dapat menjadi bom waktu. Ia dapat meledak ketika dipicu oleh suatu hal, yang tak jarang menyebabkan kekerasan atau pembunuhan.
Poin yang harus digarisbawahi di sini ialah akumulasi dari impuls untuk melanggar aturan yang ia buat sendiri. Seseorang yang terlalu keras dengan dirinya dalam hal kontrol diri dapat menjadi gelap mata ketika sampai pada titik ia berkata ‘cukup’. Hal ini dapat disebabkan oleh dua hal, yakni dirinya yang mulai menolak aturan yang ia buat, dan provokasi dari eksternal yang membuatnya jengah.
ADVERTISEMENT
Jason Luoma, seorang peneliti dari Portland Psychoteraphy, menjelaskan ciri-ciri orang yang terlalu keras dalam kontrol dirinya:
1. Perfeksionis.
2. Terlalu waspada.
3. Memiliki aturan yang ketat yang ia yakini harus diterapkan setiap waktu.
4. Cenderung menyembunyikan perasaannya.
5. Menjaga jarak dari orang lain.
6. Berupaya meraih goals dan visi yang ia targetkan.
Meski memiliki beberapa dampak positif, terlalu keras dalam mengontrol diri memiliki sejumlah masalah. Orang yang keras dalam mengontrol dirinya cenderung kaku dan tidak bisa santai.
Ini kemudian menyebabkan ia mudah tertekan dan depresi ketika menanggapi provokasi dari luar. Selain itu, menurut Luoma, orang-orang seperti ini memiliki permasalahan dalam lingkungan sosialnya. Mereka sibuk dengan aturan dirinya sehingga mengakibatkan perilaku yang cenderung berbeda dengan orang sekitarnya. Dalam kasus yang ekstrem, ia menderita kesepian yang akut.
Dilema kontrol diri. Foto: Pixabay
Dilema Kontrol Diri
ADVERTISEMENT
Dilematis, memang. Kita beranggapan bahwa kontrol diri yang baik dapat menyelamatkan diri dari tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Namun, sejumlah penelitian justru mengatakan hal sebaliknya. Manusia belum bisa lepas dari bujuk rayu perbuatan bejat.
Oleh karena itu, perlu kita ketahui faktor dan kondisi yang menyebabkan seseorang lepas kendali akan kontrol dirinya. Dalam penelitian Wilkowski dan koleganya pada tahun 2018, setidaknya ada dua aspek yang dapat mempengaruhi kontrol diri, yakni: rencana berjalan sesuai ekspektasi, dan kegagalan.
Faktor pertama. Sebagaimana sebelumnya sudah disinggung, orang dengan kontrol diri yang tinggi memiliki aturan dan goals yang ingin mereka capai. Ketika aturan dan goals ini tercapai, kondisi kontrol diri mereka dikategorikan aman.
ADVERTISEMENT
Namun sebaliknya, ketika rencana tidak berjalan sebagaimana semestinya, individu tersebut cenderung merasa tertekan sehingga memengaruhi kontrol dirinya. Ini menjelaskan, aturan yang terlalu ketat untuk diri sendiri, serta goals yang terlalu tinggi kadang dapat menjelaskan mengapa orang mudah stres.
Faktor kedua, yakni provokasi, dapat diibaratkan seperti menuangkan air ke dalam sebuah wadah. Dianalogikan, semakin besar wadah seseorang, maka semakin tinggi pula kontrol diri yang mereka punya. Begitu pula ketika wadah tersebut pecah. Semakin besar wadahnya, maka semakin deras air yang mengalir keluar.
Analogi itu menjelaskan mengapa tindakan orang ‘sabar’ yang marah terlihat lebih ekstrem. Ungkapan yang bisa menjelaskan ini adalah “hati-hati jika orang sabar sudah marah.”
Sebagai penutup, dalam kacamata post-modern, tidak semua faktor determinis dapat menjelaskan sebuah perilaku. Maksudnya, faktor A tidak selalu menyebabkan B, atau sebaliknya. Banyak aspek lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam menjelaskan sebuah fenomena, seperti tidak selalu orang yang hidup dalam lingkungan baik tidak akan melakukan kejahatan, atau kontrol diri yang tinggi menyebabkan orang tidak melakukan kejahatan.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah manusia, makhluk sosial yang dinamis. Tempat segala salah dan khilaf.