Konten dari Pengguna

Ondel-ondel, Penista atau Penyintas?

Rama Swahuda
Sarjana Kriminologi
12 Mei 2019 12:40 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rama Swahuda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Mengintip Catatan Harian Ondel-ondel
Senyum ondel-ondel di malam hari. Dok. pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Senyum ondel-ondel di malam hari. Dok. pribadi
Jeritan ‘tean´ yang keluar dari mulut toa itu sendu dan sayu. Semakin jauh, terkesan semakin sumbang. Lantunan musik itu mengiringi sesosok ondel-ondel yang siap menghibur siapa pun yang disambanginya. Kurang lebih seperti itu kesan saya terhadap para pemain ondel-ondel jalanan.
Kerap kita menjumpai sesosok ondel-ondel yang tengah menari di pinggir jalanan Kota Depok. Mungkin tidak hanya di Depok, kota lain pun begitu. Sering saya bertanya-tanya, dari mana asal rombongan pengampu warisan budaya Betawi ini? Terlebih, mereka yang mengarak ‘nyak-babe’ itu merupakan anak-anak yang masih belia.
Sore itu (3/5), saya terdorong untuk mengetahui lebih dalam perihal salah satu warisan budaya Betawi yang sering berkeliaran. Waktu menunjukkan pukul 16:00 WIB ketika saya menemukan sekelompok remaja tanggung berkumpul bersama di pinggir Jalan KH Usman, Kukusan Beji, Depok. Ada yang berbeda dari mereka. Tiga buah ondel-ondel berwarna merah, kuning, dan hijau teronggok di dekat mereka.
ADVERTISEMENT
Para pemain ondel-ondel jalanan yang sering kita lihat di pinggir jalan itu tidak datang dari satu tempat yang sama. Ondel-ondel tersebut berasal dari tempat yang mereka sebut sebagai ‘sanggar’, atau tempat mereka mendapatkan (dalam konteks ini menyewa) ondel-ondel tersebut, untuk mereka gunakan sebagai media mencari pundi-pundi uang.
Mereka menempuh ratusan kilometer untuk mengais rezeki tiap harinya. Salah satu rute yang saya tempuh bersama pemain ondel-ondel jalanan hari itu adalah rute Depok-Pondok Labu. Mereka menyasar gang-gang sempit yang ramai anak-anak kecil bermain dan berkeliaran di sana. Saya tidak habis pikir, anak-anak di sana sangat menggandrungi ondel-ondel tersebut.
Anak-anak berjalan mengikuti ondel-ondel. Foto: dok. pribadi
Menyapa, menari, dan bergoyang. Lantunan musik khas ondel-ondel yang dimainkan dengan tean berhasil menghibur sejumlah anak-anak yang ditemui. Makna dari kata menggandrungi di sini, mungkin agak sedikit berbeda.
ADVERTISEMENT
Sapaan, teriakan, bahkan ikut menari, merupakan salah satu respons anak-anak itu terhadap ondel-ondel. Namun, tak jarang dari mereka yang mengejar, mengejek, bahkan mengajak berkelahi. Inilah makna ‘menggandrungi’ tersebut.
Di lain sisi, kehadiran ondel-ondel ini membuat sebagian warga resah. Suara musik yang terkadang begitu keras cukup mengganggu. Selain itu, para pengendara kendaraan kerap meneriaki nyak-babe untuk minggir dari jalanan, karena menyebabkan kemacetan.
Tidak heran bila Dinas Sosial kerap menertibkan ‘biang kerok’ ini. Dilematis. Ya, memang seperti itu hidup mereka. Di satu sisi mereka menghibur. Namun, di sisi lain, keberadaannya mengganggu.
Namun satu hal yang menjadi sorotan di sini. Mereka ada, karena kondisi ekonomi yang mencekik. Kebanyakan mereka masih sekolah. Untuk mencari uang jajan, ini jalan yang mereka tempuh. Terlepas dari apa yang mereka gunakan dengan uang itu, itulah fakta.
Wajah ceria ondel-ondel, meski ia harus berjalan tanpa alas kaki. Foto: dok. pribadi
ADVERTISEMENT
Penista atau Penyintas?
Terlintas dalam benak saya, keberadaan mereka dengan alunan tean dan sosok ikon khas Betawi tersebut berhasil melestarikan budaya ondel-ondel, meski secara tidak langsung. Berapa banyak dari kita yang mau menyambangi museum ondel-ondel untuk mempelajari mereka? Atau minimal, membaca sejarahnya? Mereka seakan memaksa kita untuk menyadari keberadaan mereka.
Bagai seorang penyintas, anak-anak ini membawa misi budaya: melestarikan budaya ondel-ondel. Saya tahu, ini terdengar sangat klise. Faktanya, bagai serigala berbulu domba, mereka mengenakan warisan budaya ondel-ondel untuk mencari pendapatan.
Bukankah justru ini mencoreng wajah warisan budaya Betawi itu? Bagaimana dengan mereka yang merasa terganggu dengan kehadirannya?
Secara konvensional, ondel-ondel digunakan dalam acara-acara kebudayaan atau perayaan tertentu, seperti sunatan, pernikahan adat betawi, atau festival budaya Betawi. Mereka menggunakan alat musik tradisional, seperti gong dan tean. Ini salah satu sebabnya, ondel-ondel jalanan dicap sebagai aktivitas ilegal. Setidaknya, itu pengakuan salah seorang pemain ondel-ondel yang sempat saya temui.
ADVERTISEMENT
Polemik ini menimbulkan pertanyaan perihal status mereka. Seakan hukum memiliki dua wajah, yakni hukum positif yang melabeli mereka sebagai pengganggu ketertiban umum dan hukum masyarakat yang membolehkan peredaran mereka sebagai bentuk hiburan.
Lantas, apa status mereka?
Memahami perilaku mereka menggunakan pemikiran Merton, aksi pemain ondel-ondel merupakan inovasi dalam meraih tujuan mereka, yakni kebahagian dalam bidang materi. Dalam teori anomi Merton, inovasi diartikan sebagai sebuah tindakan yang menyalahi aturan untuk meraih kebahagiaan materi. Setiap individu memiliki peluang, namun tidak semua memiliki kesempatan yang sama.
Hal itu yang dirasakan oleh pemain ondel-ondel jalanan. Keterbatasan kemampuan, kondisi finansial, bahkan akses pendidikan yang kurang menjadi beberapa alasan mereka untuk menekuni bidang tersebut. Dari sekian banyak opsi, bermain ondel-ondel merupakan pilihan mereka.
Kolong fly over tol Desari menjadi saksi bisu pertemuan kami. Foto: dok. pribadi
Ini cukup rasional. Image ondel-ondel yang kental dengan budaya Betawi menjadikannya abu-abu di mata masyarakat, seakan mereka tengah menghidupkan warisan budaya betawi. Unik, tidak seperti pengamen pada umumnya, sehingga memiliki peluang pendapatan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah mengamen menggunakan ondel-ondel merupakan tindak pidana?
Boleh jadi, sebuah tindak penyimpangan merupakan konstruksi dari masyarakat. Konsep-konsep perumusan penyimpangan dan kejahatan muncul, ketika muncul konflik dalam sebagian masyarakat. Pemerintah kemudian sebagai pihak penguasa menegaskan bahwa sebuah penyimpangan merupakan sebuah penyimpangan dengan tindakan hukum.
Penetapan ondel-ondel ‘liar’ sebagai aktivitas yang mengganggu ketertiban umum masih menjadi polemik. Pemprov DKI menilai aktivitas mengamen menggunakan ondel-ondel itu mengganggu dan meresahkan masyarakat. Prakteknya di lapangan, penertiban ini tetap dilakukan. Ini semakin menegaskan aktivitas tersebut memang sebuah pelanggaran.
Terlepas dari polemik itu, pilihan mereka untuk memanjak ondel-ondel merupakan hal yang cukup rasional, ketimbang menjadi pengangguran, atau bahkan melakukan tindak kriminal.
ADVERTISEMENT
Sudah lama polemik ini hidup, namun terlihat belum ada solusi. Meski mengganggu, mereka sempat menjadi penghibur masyarakat. Dilematis. Penyintas atau penista? Saya kembalikan kepada Anda.
Ungkap catatan harian ondel-ondel di sini.